Syeikh Muhammad Nuruddin Marbu al-Banjari al-Makki dikenal sebagai ulama yang memiliki banyak sanad. Bukan hanya di bidang Hadits, tapi setiap kitab yang dipelajarinya, sanadnya bersambung kepada pengarang kitab tersebut. Dalam tradisi keilmuan Islam, sanad itu penting. “Menurut ulama salaf, sanad dianggap sebagai bagian dari agama sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Al-Mubarok,” jelasnya.
Syeikh Nuruddin punya banyak sanad, karena ia termasuk orang yang senang belajar secara talaqqi (langsung dibawah bimbingan seorang guru) kepada para ulama yang memiliki sanad.
Ada sekitar 35 ulama kenamaan yang pernah menjadi gurunya sewaktu ia belajar di Mekkah dan Mesir. Di antara ulama itu adalah:
- Syeikh Al-Allamah Hasan Masshath yang mendapat gelar Syeiku-ul-ulama’ rahimahullah,
- Syeikh Al-Allamah Muhamad Yasin Al-Fadani rahimahullah yang mendapat julukan Syeikhul Hadits Wa Musnidud Dunya,
- Syeikh Ismail Usman Zien rahimahullah yang digelari Alfaqih Ad-Darrakah,
- Syeikh Abd. Karim Banjar hafizohullah, Syeikh Suhaili Al-Anfenani,
- As-Sayyed Mohd. Alwi Al-Maliki,
- Syeikh Said Al-Bakistani dan sebagainya.
Tradisi sanad itu sekarang ini oleh Syeikh Nuruddin diakui lemah karena orang lebih senang belajar secara instant. Sedang belajar secara talaqqi itu memerlukan kesabaran tersendiri. “Sekarang ini maunya serba cepat dalam mencari ilmu,” katanya lagi.
Padahal, menurutnya, para ulama dulu sangat sabar mencari ilmu. Mereka rela berlama-lama belajar kepada seorang ulama sampai tamat. Bukan hanya itu, mereka juga harus mempersiapkan mental yang kuat ketika harus disuruh atau dibentak oleh sang guru. “Kalau anak sekarang dibentak langsung lari,” jelasnya.
Tradisi mencari ilmu dengan menjaga sanad sudah amat langka saat ini, bagaimana komentar Ustadz?
Sebenarnya tradisi itu masih ada di pesantren-pesantren kita. Hanya saja, para santri tidak menanyakan sanad kitab yang dipelajarinya. Mereka tidak peduli melalui siapa saja mendapatkan pengetahuan tentang kitab itu, hingga sampai kepada penulisnya.
Bisa juga karena si kiai tidak terlalu memperhatikan masalah itu. Atau mereka memang belum sempat mendapatkan ijazah tentang periwayatan kitab tersebut.
Di Indonesia, ulama yang memperhatikan sanad itu bisa dihitung jari. Apalagi setelah wafatnya Syeikh Yasin Al Fadani, sebagai seorang musnid. Setelah itu tidak ada lagi ijazah, yang dampaknya kita tidak tahu ilmu yang dipelajari sampai kepada siapa sanadnya.
Pengalaman Ustadz sendiri, dalam memperoleh sanad bagaimana?
Seingat saya, sewaktu belajar di Makkah tahun 80-an, saya mengkaji kitab dengan cara talaqqi, istilahnya dari kulit ke kulit (dari sampul awal hingga sampul akhir).
Nah, setelah itu kita diijazahi. Dengan begitu saya tahu membaca Shahih Al Bukhari dari guru saya, fulan bin fulan, hingga terus sampai kepada Imam Al Bukhari.
Apa sebenarnya fungsi dari sanad sendiri?
Ini terkait dengan masalah tradisi para ulama salaf ketika hendak memberi syarah (komentar) terhadap sebuah Hadits. Kita harus tahu siapa orang yang mensyarah Hadits, atau khasiyah (catatan kaki). Sebab banyak orang bisa memahami sebuah Hadits tapi tidak bisa mengungkapkan dan tidak tepat memaknainya. Inilah sebagian manfaat, min fawaidi at talaqi, supaya kita memaknai hadits itu tepat, walau tidak dijamin 100 persen.
Tapi insya Allah dengan talaqqi pemahaman kita tidak akan lepas dari maksud dan tujuan penulis. Jadi bisa kita katakan al haqiqah ala ma’na shohih.
Kalau begitu, apa dampak negatif jika belajar tanpa didampingi seoarang guru?
Kalau dulu, yang namanya syeikh takharuj, amat menentukan sekali. Dari periwayatan ilmunya bisa diketahui sejauh mana pemahamannya. Akan tetapi jika belajar melalui majalah, internet, CD, atau televisi, sulit diukur pemahamannya. Tapi mereka sudah berani berfatwa sehingga sekan-akan ia siap menjawab semua masalah dalam satu waktu.
Di Indonesia banyak orang-orang terlalu berani berfatwa. Ini berbeda dengan tradisi para salafuna as shalih. Jika ada pertanyaan, maka masing-masing saling menunjuk. Bukan karana tidak mengerti, akan tetapi mereka amat hati-hati. Sebab, jangan-jangan ada yang lebih pandai dan lebih berilmu. Lha kita sekarang hubbu tashadur, pingin berada di depan. Kadang-kadang hal-hal yang di luar bidangnya sudah berani berfatwa.
Apa akibat bagi orang yang bukan bidangnya tapi sudah berani berfatwa?
Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Sayidina Ibnu Umar disebutkan bahwa orang yang paling berani mengeluarkan fatwa adalah orang yang menjerumuskan diri ke neraka jahanam. Ajra’ukum ala al fatwa, ajra’ukum ala nari jahanam. Oleh karena itu, para sahabat saling tadafuk (mempersilakan yang lain) dalam fatwa.
Kalau dalam fatwa mereka seperti itu, tapi kalau dalam ibadah mereka akan berlomba-lomba. Jika masalah fatwa, mereka ayakfihi ghoiruhu (menyukupkan dengan orang lain). Misalkan, Ibnu Abi Laila bertanya kepada Abu Hanifah, tapi beliau menyuruh orang tersebut bertanya kepada Zufar. Oleh Zufar disuruh tanya kepada Sofyan At Tsauri. At Tsauri menyuruh bertanya kepada Abu Hanifah.
Akhlak seperti ini sudah sedikit di negeri ini. Banyak orang yang dari segi usia, ilmu, dan pengalaman masih muda, tapi sudah berani berfatwa. Bukan hanya itu, ia juga seenaknya memvonis orang lain mubtadi’ (orang yang berbuat bid’ah), dhaal (sesat) dan lain-lain. Padahal mencela mukmin itu fasiq, apalagi mengkafirkan. Anehnya yang ia sesatkan itu masih dalam batas khilafiah.
Bagaimana pengalaman Ustadz berguru kepada beberapa ulama di Mesir?
Kalau di Mesir biasanya masyayikh yang pakai jubbah yang mengalami belajar secara talaqqi kepada para masayikh sebelumnya di masjid Al Azhar, yang dinamakan al jami’ bukan al jami’ah. Syaikh Muntashir pada waktu itu kalau mengajar tafsir hanya membawa mushaf saja, tidak pernah pakai kitab. Demikian juga Syeikh Sya’rawi tidak pegang al-Qur’an. Orang yang mengajilah yang membawa al-Qur’an. Beliau-beliau ini tidak membawa tafsir karena sudah hafal.
Bagi orang yang tidak pernah talaqqi, dia tidak akan merasakan pancaran nur saat bertemu dengan masyayikh. Ada kiai yang menyuruh baca sekali, dua kali, dan tiga kali, tapi dia tidak menerangkan. Nah, kadang tanpa keterangan itu santri bisa paham sendiri.
Bagaimana Ustadz melihat para pencari ilmu saat ini?
Adab mahasiswa terhadap para dosen sudah tidak ada. Ijlal (memuliakan) masyayih juga tidak ada. Juga penghargaan terhadap karya dan penulis para ulama tidak ada. Itu yang kita rasakan.
Pada jaman saya di Mesir, sudah ada mahasisiwa yang meminta dosennya berhenti, “duktur kifayah ba’ah, dza sa’atain kholas “ (Pak dosen, sudah cukup. Ini sudah dua jam, kapan berhentinya!). Inilah yang menyebabkan faktor keberkahan ilmu itu lenyap.
Jadi, keberkahan ilmu itu tidak diindikasikan dari bisa menulis, ceramah, atau terjun ke masyarakat. Kalau sekadar itu siapa saja bisa melakukannya. Akan tetapi yang namanya keberkahan ilmu itu berhubungan dengan kehidupan. Ia betul-betul mengawal perjalanan hidup.
Jadi, sebelum menyuruh, kita harus sudah disuruh dan mengerjakan. Sebelum melarang, kita harus sudah tinggalkan. Inilah namanya dakwah bil hal yang pengaruhnya cukup kuat.
Kadang ada sebuah masalah yang sudah dijelaskan, dikupas dengan tuntas, tapi tidak berdampak apa-apa. Orang berbicara tasawuf, tapi ia meninggalkan tasawuf .
Lain hal dengan ulama-ulama terdahulu. Kadang hanya dijelaskan dan disuruh baca. Ini yang saya rasakan dengan Syaikh Isamil, Syaikh Yasin, dan Syaikh Hasan Masyat yang tidak sama mengajarnya dan sedikit penjelasanya. Tapi alhamdulillah, kawan-kawan yang di Makkah semuanya menjadi kiai, khususnya yang berada di Madura.
Apakah bisa dikatakan bahwa hanya bertemu dengan guru sudah membantu sebuah pamahaman?
Sering kali kita belum bertanya ternyata sudah mendapat jawaban. Ada yang ingin kita tanyakan tentang malabis (masalah pakaian), adab naum, adab al aql (makan), adab al masyi (berjalan), jilsah (duduk), atau ibadah. Kadang kita sudah mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan, akan tetapi dengan duduk saja sudah memahami keterangan guru. Saya rasa sudah jarang ada ulama yang memiliki ittishal ruhi (hubungan ruh), itishal batin (hubungan batin), dan mampu memperolah jawaban pertanyaan-pertanyaannya tanpa harus bertanya terlebih dahulu.
Siapa contohnya?
Contohnya, Syaikh Abu Hasan Ali An Nadawi. Ia tergolong murid paling bebal dan susah memahami sesuatu. Suatu ketika kebetulan orangtua guru beliau sakit sehingga pengajian hendak diliburkan. Melihat hal itu Syeikh Abu Hasan berkata kepada gurunya, ”Syeikh ngajar saja, biar persoalan orangtua saya yang nangani.”
Akhirnya Abu Hasan ini yang merawat orangtua gurunya. Di saat pengajian selesai dan si guru masuk ruangan, ia melihat Abu Hasan membersihkan kotoran orangtuanya yang sedang buang air. Akhirnya si Syaikh meneteskan air mata dan mengucapkan barakallah fik (semoga Allah memberkatimu) dan mendoakannya.
Akhirnya, seperti diceritakan sendiri oleh Syeikh Abu Hasan Ali An Nadawi bahwa sejak itu pikirannya menjadi terbuka, sehingga para ulama Mesir terkagum-kagum dengan tulisan An Nadwadi dan karya-karyanya. Padahal beliau masih berumur 19 tahun. Di antaranya yang kagum adalah Syeikh Yusuf Qaradhawi, As Sya’rawi, dan Sayyid Qutub.
Orangtua biasanya kasihan dengan kesehatan fisik kita. Tapi guru itu kasihan dengan ilmu kita. Sehingga kalau kita belajar dengan seorang guru, maka ilmu akan lebih mudah diserap dan berdampak.
Ilmu terserap tidak hanya karena pengajian kita, tapi doa dan munajat para guru. Dalam buku-buku ulama klasik biasanya tertulis, i’lam hadaniya Allah wa iyakum (ketahuilah, semoga Allah memberi hidayah kepada saya dan diri kalian). Itu doa untuk pembaca kitab. Nah, mana ada majalah yang seperti itu?
Apakah talaqqi terlalu susah, sehingga banyak yang lari dengan membaca buku sendiri?
Tak susah juga, mungkin karena para masyayih sekarang tidak ada waktu untuk meluangkan diri mengajar dengan tradisi seperti itu. Yang bisa seperti itu biasanya kiai-kiai zuhud, yang merasa cukup dengan keadaan apa adanya. Sedang bagi kiai yang hidupnya harus menyesuaikan keadaan, tidak ada waktu untuk itu.
Masayikh–masayikh ana (saya) di Mekkah itu keperluannya sudah dipenuhi. Sehingga mereka tidak hanya menyumbangkan ilmu, tapi juga materi. Ngaji di sana digaji, bagaimana tak betah? Kalau pas zakat setiap guru memberi 500 real. Kalau lima guru saja sudah hampir 3.000 real atau Rp 7 juta. Nah, sekarang mana ada masyayikh seperti itu.
Sekarang malah sebaliknya, santri yang dikuras. Jadi sudah susah ditemukan seorang syeikh yang memiliki waktu untuk talaqqi, padahal kalau dulu sampai imla’ hadits.
Imam Yahya Ibnu Ma’in itu punya harta besarnya satu milyar dirham. Semuanya diinfaqkan untuk mencari ilmu, hingga sandal saja tidak punya. Jadi dulu duit dihabiskan untuk ilmu, kalau sekarang sebaliknya, ilmu untuk cari uang.
Sumber: Suara Hidayatullah Mei 2008
0 comments :
Post a Comment