Saya terkejut dan bingung beberapa hari kemarin, ketika chat dengan salah seorang anak remaja yang masih dalam jenjang sekolah dari salah satu kota besar di seberang pulau sana. Rudi namanya, katakanlah demikian.
Dia bilang dapat pin Blackberry saya dari internet setelah searching soal artikel syariah. Dia menambahkan kalau memang dia sering mencari-cari artikel agama di mesin pencari gugel itu.
Awalnya chating kami biasa-biasa saja sama seperti kontak-kontak yang lainnya. Bertanya soal beberapa masalah syariah. Tapi makin lama, saya agak heran dan sepertinya khawatir.
Dia tidak saja bertanya, tapi seakan mengkritik syariah karena banyaknya perbedaan di sana sini. Dia menemukan Islam di sekolah tidak seperti yang ia temukan di rumahnya dari kedua orang tua. Berbeda juga apa yang ia temukan di jalanan umum.
Bukan seperti anak kebanyakan yang seumur dengannya, yang saya tangkap dari chat kami tadi siang, sepertinya dia matang sebelum waktunya. Artinya banyak materi agama yang rumit yang seharusnya tidak dan belum layak dilahap tapi sudah terlanjur masuk otaknya lebih dulu.
Dia terlalu lihai untuk mengatakan “Kenapa tidak bersatu, dan kembali kepada Al-Quran?” Dia juga masih terlalu dini dan masih bau kencur untuk mengkritik para Imam mazhab yang berbeda pendapat dalam menentukan hukum-hukum fiqih, yang kebanyakan memang masalah ijtihadiy.
Memang wajar, bahkan sangat wajar sekali jika ada seseorang mempertanyakan adanya perbedaan pandangan. Tapi tidak wajar kalau dia membawa-bawa label “Kembali pada Qur’an dan Sunnah” kemudian meyalahkan para Imam Mujtahid, seakan-akan mereka semua tidak mengerti isi ayat dan kandungan hadits.
Justru mereka orang yang paling mengerti madlul ayat dan hadits dibanding kita-kita yang masih berlabel “Muqollid”, bahkan dengan starata taqlid paling rendah.
Keluar Kandang Macan, Masuk Kandang Singa
Dia bilang “Saya tidak mau terpaku dngn ajaran orang tua da guru saya. Saya mau mencari ajaran yg benar”. Ini yang bikin saya makin khawatir. Dengan umur yang masih segitu, dia begitu yakin untuk tidak ber-taqlid (ikuti) kepada yang memang seharusnya ia taqlid.
Dia menolak untuk menerima sepenuhnya apa yang ia dapatkan dari rumah, juga dari gurunya. Tapi statusnya masih riskan, karena setelah di cek, saya tidak mendapati dia sedang dalam bimbingan salah seorang ustadz atau guru agama. Sama sekali tidak ada.
Dia menolak ajaran orang tua dan murid, tapi dia tidak punya pegangan untuk bisa berdiri dan menjadi sandaran sendiri. Akhirnya, yang dilakukan kembali mencari di jalanan dengan buka laptop, searching gugel dan akhirnya bertemu dengan ratusan bahkan ribuan hal yang sejatinya ia belum siap menerimanya semua.
Ini sama saja seperti ia terbebas dari gangguan macan, tapi malah masuk kandang singa. Diluar dan didalam sama-sama bahayanya.
Yang saya khawatir, nantinya dia besar menjadi muslim yang membenci para imam mazhab dengan seluruh ijtihadnya. Dan kelompok pemuda semacam ini sudah kita temui banyak disekitar kita sekarang.
Dengan dalih “Kembali kapada al-quran dan sunnah”, mereka dengan pongah berani mecemooh para imam, padahal apa yang dipermasalahkan itu memang benar-benar masalah yang sama sekali tidak berdampak negatif kalau kita berbeda didalamnya.
Atau lebih parah lagi, ia menjadi orang yang anti dengan syariahnya sendiri. Karena sejak kecil sudah terlalu matang dengan banyak keraguan di sana sini.
Seperti orang yang belum matang dengan agamanya sendiri tapi kemudian sudah belajar perbandingan agama. Ujung-ujungnya dia jadi Atheism, karena banyak kerancuan yang dia temui.
Sama juga orang yang belum matang fiqih satu mazhab, kemudian dia tiba-tiba belajar perbandingan mazhab. Satu mazhab belum beres, kemudian sudah dibanding-bandingkan. Ujung-ujungnya jadi Liberal, yang menganggap bahwa ijtihad itu terbuka untuk siapa saja dan dimana saja. Jadi sebebas-bebasnya lah dia menfasirkan ini itu.
Harus Belajar Satu Mazhab
Ini kewajiban bagi para orang tua, pendidik, guru, dan seluruh pemangku kepentingan yang bersentuhan langsung dengan anak-anak dalam urusan pendidikan agama.
Yaitu memberikan pengajaran fiqih kepada peserta didik dengan manhaj salah satu mazhab tertentu, tidak dicampuri-campur. Penguatan dengan kedalaman materi satu mazhab membuatnya nanti tidak goyah dan tidak kebingungan.
Dan ini yang memang dipegang oleh para ulama sejagad raya ini. Anak-anak tidak serta merta diajak berfikir tentang ijtihad imam ini dan imam itu. Tapi mereka disodorin fiqih satu mazhab tertentu. Kalau di indonesia yaa mazhab syafi’i.
Karena otak mereka belum siap untuk menerima segala perbedaan. Bagaimana bisa, satu mazhab belum matang, kemudian masuk dalam perbandingan mazhab?
Kemudian jangan biarkan anak-anak kita meluncur sendirian tanpa pembimbing dalam masalah agama. Membiarkannya mencari dengan kesiapan otak yang masih minim, ini suatu mudhorot yang harus dicegah bersama.
Sampai saat ini saya masih tidak memandang gugel sebagai sumber pencarian ilmu yang valid dan aman. Mendatangi guru dan bermuwajahah dengan beliau itu yang diajarkan syariah dan jalan yang paling aman.
Wallahu A’lam
Oleh: ust Ahmad Zarkasih, S.Sy.
0 comments :
Post a Comment