Mazhab pertama, mereka mengatakan bahwa hadis dhaif boleh diamalkan secara mutlak, baik dalam masalah halal, haram, fardh maupun wajib dengan syarat tidak ditemukan hadis lain dalam bab tersebut. Pendapat ini dipilih oleh beberapa ulama seperti Imam Ahmad, Abu Dawud dan lain-lain.
Yang dimaksud dengan hadis dhaif di sini adalah hadis yang kadar kedhaifannya tidak parah — karena sudah jelas bahwa hadis yang keadaannya demikian pasti ditinggalkan oleh para ulama — dan juga tidak ada hadis lain yang menyelisihinya.
Adanya kemungkinan bahwa hadis yang dinilai dhaif tersebut mengandung kebenaran sementara tak ada hadis lain yang menyelisihinya, maka hal ini menjadi alasan kuat bahwa hadis tersebut memiliki kemungkinan sahih sehingga boleh diamalkan.
Al-Hafizh Ibnu Mandah meriwayatkan bahwa ia mendengar Muhammad bin Sa’d Al Bawardi berkata: “Konsep yang dipakai oleh Imam Nasa’i adalah bahwa beliau menyebutkan setiap hadis yang tidak ada kesepakatan – dari para ulama — untuk meninggalkannya”. Ibnu Mandah menambahkan, “Demikian pula Abu Dawud menyetujui pendapat tersebut. Beliau menyebutkan riwayat-riwayat lemah (dhaif) jika tidak ditemukan hadis lain dalam suatu bab karena hadis tersebut dianggapnya lebih kuat daripada pendapat murni seseorang”.
Mazhab ini juga diikuti oleh Imam Ahmad, beliau mengatakan: “hadis dhaif lebih aku sukai daripada pendapat pribadi seseorang”, karena beliau tidak beralih kepada Qiyas kecuali setelah dipastikan bahwa benar-benar tidak ada nash.
Beberapa ulama mentakwilkan riwayat-riwayat tersebut dengan mengatakan bahwa yang dimaksud hadis dhaif tersebut bukanlah hadis-hadis dhaif menurut istilah Ilmu Hadis melainkan yang dimaksud adalah hadis hasan, karena hadis tersebut bermakna lemah (dhaif) dibandingkan hadis sahih.
Akan tetapi, menurut kami takwil tersebut bermasalah sebagaimana dikatakan oleh Imam Abu Dawud: “ada beberapa hadis dalam kitabku, As-Sunan yang sanadnya tidak tersambung (terputus), yaitu mursal dan mudallas, hal itu dikarenakan tidak adanya hadis-hadis sahih pada (riwayat) para ahli hadis secara umum yang bersambung (muttashil). Contohnya seperti riwayat Al-Hasan dari Jabir, Al-Hasan dari Abu Hurairah, Al-Hakam dari Muqsim dari Ibnu Abbas…”. Imam Abu Dawud menganggap hadis yang tidak tersambung (sanadnya) boleh diamalkan ketika tidak ditemukan hadis sahih, padahal sebagaimana diketahui bahwasannya hadis munqathi’ (terputus sanadnya) merupakan salah satu jenis hadis dhaif.
Demikian pula jika yang dimaksud dengan hadis dhaif tersebut adalah hadis hasan maka tak ada artinya para Imam mengkhususkan hadis tersebut untuk diamalkan dengan alasan bahwa ia lebih baik daripada Qiyas, karena yang demikian itu telah disepakati mayoritas Ulama.
Mazhab kedua, mereka mengatakan bahwa beramal dengan hadis dhaif hukumnya mustahabb (disukai) dalam hal keutamaan-keutamaan (fadhail). Ini adalah pendapat mayoritas (Jumhur) Ulama ahli hadis, ahli fikih dan lain-lain. Imam Nawawi mengatakan bahwa pendapat ini menjadi kesepakatan di antara para ulama, demikian pula Syaikh Ali Al-Qari dan Ibnu Hajar Al-Haitami.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Asqalani menjelaskan syarat-syarat yang harus dipenuhi, berikut ini cuplikan perkataan beliau:
“Persyaratan yang harus dipenuhi dalam mengamalkan hadis dhaif ada tiga: Pertama, telah disepakati, yaitu bahwa hadis dhaif tersebut tidak parah kedhaifannya. Oleh karena itu, hadis yang diriwayatkan oleh seorang pendusta (kazzab), atau orang yang tertuduh berdusta atau orang yang memiliki kesalahan fatal tidak termasuk dalam kategori ini. Kedua, hadis tersebut harus berada dalam koridor Syariat Islam secara umum. Oleh karena itu, hadis yang sengaja dibuat-buat padahal tidak memiliki dasar sama sekali dalam Syariat Islam tidak dapat diterima. Ketiga, ketika mengamalkan hadis tersebut tidak disertai keyakinan bahwa hadis tersebut benar-benar berasal dari Rasulullah saw, dengan tujuan agar tidak terjadi penyandaran sesuatu yang tidak berasal dari beliau”.
Ibnu Hajar Al-Haitami lebih mengarahkan pada pengamalan hadis dhaif dalam masalah keutamaa-keutamaan amal, beliau menyebutkan: “para ulama telah bersepakat mengenai bolehnya mengamalkan hadis dhaif dalam hal keutamaan-keutamaan amal, karena andaikan hadis tersebut ternyata benar keberadaannya (sahih), maka dengan mengamalkannya berarti hak-hak hadis tersebut telah terpenuhi. Kalaupun tidak demikian – terbukti dhaif — maka hal tersebut tidak akan menimbulkan pengaruh buruk apapun seperti menghalalkan atau mengharamkan sesuatu atau hilangnya hak orang lain”.
Mazhab ketiga, mereka mengatakan bahwa mengamalkan hadis dhaif adalah tidak boleh secara mutlak, baik dalam masalah fadhail amal maupun halal dan haram. Pendapat ini diklaim sebagai pendapat Al-Qadhi Abu Bakr Ibnul Arabi.
Asy-Syihab Al-Khafaji dan Al-Jalal Ad-Dawani juga berpendapat demikian. Beberapa penulis kontemporer lebih cenderung memilih pendapat ini dengan alasan bahwa perkara-perkara tersebut di atas sama hukumnya seperti halal dan haram karena semuanya merupakan perkara syar’i. Lagipula hadis-hadis shahih dan hasan sudah mencukupi dan tidak diperlukan lagi hadis dhaif.
Demikianlah, permasalahan ini mengundang banyak polemik dan perdebatan-perdebatan yang sangat panjang yang insyaallah akan kita kupas di lain tempat. Kendatipun demikian, tampak bahwa pendapat yang bersifat paling menengahi di antara mazhab-mazhab tersebut adalah pendapat kedua. Hal itu dikarenakan kami menimbang persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh para ulama dalam masalah beramal dengan hadis dhaif tersebut yang menunjukkan bahwa hadis dhaif yang menjadi perdebatan di sini bukanlah hadis yang divonis palsu, melainkan hadis yang belum jelas kemungkinan kebenarannya (validitas) sehingga masih menyisakan peluang, dan peluang ini dapat diselesaikan ketika tidak ditemukan hadis lain yang menentangnya atau jika hadis tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip Islam sehingga dibenarkan beramal dengan hadis tersebut demi menjaga hak-haknya.
Adapun anggapan sebagian orang yang mengatakan bahwa beramal dengan hadis dhaif dalam masalah fadhail adalah sama dengan menciptakan ibadah baru dan membuat aturan baru dalam agama yang tidak direstui oleh Allah swt, maka hal itu telah dijawab oleh para ulama, mereka mengatakan bahwa diutamakannya beramal adalah sejalan dengan prinsip-prinsip dasar Islam yang menganjurkan beramal demi menjaga (berhati-hati) dalam masalah agama. Beramal dengan hadis dhaif termasuk dalam kategori ini, dengan demikian tak terdapat penambahan apapun dalam syariat Islam.
Menurut pandangan saya (DR. Nuruddin ‘Eter), seseorang yang mengamati persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh para ulama tersebut menafikan adanya peluang untuk menambah hal-hal baru dalam syariat. Hal itu tampak jelas dari syarat mereka bahwa sebuah hadis dhaif diharuskan tidak keluar dari koridor syariat dan prinsip-prinsip syar’i yang sudah baku secara umum. Oleh karena itu, status hukum asal hal ini adalah legal menurut hukum syar’i, baru kemudian muncullah hadis dhaif tersebut yang tidak bertentangan dengan syariat.
Contoh:
Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya, sebagai berikut:
Abu Ahmad al-Marrar bin Hammuyah mengabarkan kami, ia berkata: Muhammad bin Mushaffa mengabarkan kami, ia berkata: Baqiyyah bin Al-Walid mengabarkan kami dari Tsaur bin Yazid dari Khalid bin Mi’dan dari Abu Umamah dari Rasulullah saw bahwasannya beliau bersabda: “Barangsiapa yang mendirikan shalat pada dua malam hari raya dengan mengharapkan ridha Allah, maka hatinya takkan mati di saat hati-hati yang lain sedang mati”.
Pada sanad tersebut, para perawi adalah Tsiqat, kecuali Tsaur bin Yazid, ia dituduh dengan tuduhan bid’ah Qadariyah. Akan tetapi dalam hal ini ia meriwayatkan hadis yang tidak ada sangkut pautnya dengan kebid’ahannya tersebut sehingga tidak berpengaruh terhadap hadisnya. Muhamad bin Mushaffa adalah seorang yang sangat jujur (Shaduq), ia banyak meriwayatkan hadis sehingga Ibnu Hajar memberikan label “Hafizh” kepadanya. Adz-Dzahabi berkomentar bahwa ia adalah seorang tsiqah masyhur (sangat terpercaya dan populer), akan tetapi dalam riwayat-riwayatnya terdapat riwayat yang munkar. Dalam sanad tersebut juga terdapat Baqiyyah bin Al-Walid, dia termasuk di antara jajaran para imam huffahz yang sangat jujur. Akan tetapi ia sering sekali melakukan tadlis (pengaburan) dari para perawi lemah (dhaif). Imam Muslim menukil riwayatnya hanya sebagai penguat saja (mutaba’ah). Sementara dia (Baqiyyah) tidak menyebutkan secara terus terang bahwa ia benar-benar telah mendengar hadis tersebut, sehingga hadis tersebut dianggap dhaif.
Para ulama berpendapat bahwa menghidupkan dua malam hari raya, baik dengan berzikir maupun ibadah-ibadah lainnya hukumnya sunnah (mustahab) sesuai dengan hadis dhaif ini, karena hadis dhaif boleh diamalkan dalam hal keutamaan-keutamaan amal sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya, Al-Adzkar.
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa qiyamullail (shalat pada malam hari) dan mengisi malam tersebut dengan ibadah adalah sesuai anjuran agama sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah yang mutawatir. Mendekatkan diri kepada Allah dengan cara berdoa, berzikir dan lain sebagainya adalah perkara yang dianjurkan di setiap waktu dan tempat, termasuk dua malam hari raya.
Di sini tampak jelas bahwa hadis tersebut tidaklah membawa ajaran baru, melainkan membawa sesuatu yang bersifat parsial yang sejalan dengan prinsip-prinsip Syariat dan teks-teks syar’I secara umum sehingga tidak diragukan lagi bahwa beramal dengan hadis tersebut hukumnya adalah boleh.
Meriwayatkan Hadis Dhaif
Adapun sekedar meriwayatkan hadis dhaif dalam masalah selain akidah, hukum halal dan haram, seperti dalam masalah anjuran (targhib) dan ancaman (tarhib), kisah, nasehat dan semisalnya, para ulama telah membolehkannya selama hadis tersebut tidak divonis maudhu’ (palsu) atau sejenisnya tanpa menerangkan bahwa hadis tersebut adalah dhaif. Riwayat-riwayat semacam ini sangatlah banyak dan populer. Al-Khatib Al-Baghdadi menyebutkan sejumlah riwayat hadis dhaif dalam kitabnya, Al-Kifayah.
Demikian pula Imam Ahmad, beliau mengatakan: “apabila kami meriwayatkan hadis-hadis dari Rasulullah saw yang berkenaan dengan hukum halal dan haram, sunnah dan hukum-hukum lainnya maka kami memperketat dalam masalah sanad, adapun jika berkenaan dengan fadhail amal ataupun yang tidak berhubungan dengan hukum maka kami mempermudahnya”.
Kendatipun demikian, para ulama tetap memperhatikan sisi ketelitian dalam periwayatan mereka. Mereka tidak meriwayatkan hadis-hadis dhaif dengan ungkapan jazm (pasti) ketika menyebutkan bahwa hadis itu berasal dari Rasulullah saw. Oleh karena itu, seseorang tidak diperbolehkan meriwayatkan hadis dhaif dengan ungkapan: “Rasulullah saw bersabda demikian”, atau “melakukan hal demikian” atau “menyuruh demikian” atau kalimat-kalimat sejenisnya yang memberi kesan jazm (kepastian) bahwa semua itu benar-benar berasal dari Rasulullah saw. Akan tetapi, lafal yang harus digunakan adalah: “diriwayatkan bahwa Rasulullah saw berkata demikian”, atau “terdapat kabar dari Rasulullah bahwa beliau mengatakan demikian”, “diceritakan bahwa beliau berkata demikian” atau kalimat-kalimat sejenisnya.
Adapun riwayat yang masih mengandung keraguan, maka dapat digunakan kalimat: “Rasulullah saw bersabda demikian, dengan asumsi bahwa riwayat ini benar (sahih atau hasan)”.
Akan tetapi para ulama terdahulu sering menggunakan kalimat “ruwiya” untuk hadis-hadis yang sahih dengan asumsi bahwa hadis tersebut sudah sangat populer di kalangan mereka pada waktu itu, sebagaimana akan kita bahas pada bab tersendiri mengenai hadis mu’allaq, insyaallah.
Diterjemahkan dari kitab Manhaj an Naqd fi Ulumil Hadis karya DR. Nuruddin ‘Eter, hal 291-297.
0 comments :
Post a Comment