“Tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta”
Mungkin pribahasa ini juga cocok bagi mereka:
- yang memandang madzhab-madzhab fiqih sebagai momok yang harus dijauhkan karena banyaknya perbedaan diantara mereka yang memicu perpecahan.
- yang sering sekali menganggap bahwa madzhab-madzhab fiqih itu sudah terlalu jauh meninggalkan Quran dan sunnah, karena terlalu banyak berdalil dengan akal para imam mereka sendiri. Beranggapan seakan-akan para imam madzhab tidak mengerti ayat dan hadits.
- yang memandang madzhab fiqih sebagai sesuatu yang tidak perlu, karena yang dibutuhkan itu ialah mengerjakan segala sesuatu dalam ibadah dengan dalil al-Quran dan Sunnah saja tanpa harus melauli madzhab.
- yang benci dengan fiqih itu sendiri, madzhab lebih khususnya. Karena beranggapan madzhab fiqih hasil olahan manusia yang ‘bisa salah’, berbeda dengan al-Quran dan sunnah yang memang turun dari Allah swt melalui manusia yang makshum dari kesalahan, Muhammad saw.
Mereka tanpa sadar bahwa mereka juga memahami al-Quran dan sunnah dengan pamahaman mereka sendiri yang sejatinya adalah mereka manusia yang sangat rentan terjerumus dalam kesalahan.
Harusnya mereka sadar, kalau saja bukan karena para imam tersebut, mereka pastinya tidak akan tahu bagaimana caranya beribadah kepada Allah swt? Anehnya mereka masih bisa mengejek fatwa-fatwa para imam!?
Mungkin Karena Tidak Kenal
Mungkin kebencian mereka itu karena memang mereka tidak tahu atau tidak mau tahu tentang siapa itu imam-imam madzhab fiqih. Seandainya mereka tahu dan mempelajarinya, bagaimana terbentuknya madzhab fiqih itu sendiri, siapa imam-imam madzhab yang memang diakui sejagad ini, niscaya bukan benci yang ada, tapi justru cinta yang akhirnya membawa mau ber-husnudzonn kepada para imam madzhab fiqih itu sendiri.
Jadi, obat satu-satunya ya harus mengenal dulu siapa mereka sebetulnya? Bagaimana proses terbentuknya madzhab itu sendiri? Lalu bagaimana Allah swt menjadikan mereka punggawa-punggawa yang membumikan syariat-Nya di muka bumi? Lalu seperti apa perjuangan mereka membentengi umat dari serbuan pemikiran yang menggerus syari'ah di setiap zaman mereka hidup? Ini yang semuanya mesti di kaji.
Para imam madzhab bukan tidak mengerti ayat dan hadits, justru mereka adalah orang-orang yang paling mengerti ayat dan hadits di zamannya. Meninggalkannya mereka akan ayat dan hadits yang secara kasat mata kita itu adalah dalil yang shahih, itu bukan berarti mereka tidak mengerti. Justru kita yang tidak mengerti bagaimana cara mereka beristimbath dan berdalil atas sebuah hukum.
Maka menjadi penting untuk kita mengetahui bagaimana terbentuknya madzhab fiqih itu sendiri dan bagaimana mereka berdalil dalam setiap hukumnya.
Ibnu Mas’ud : Imam Ahli Fiqih Iraq
Mestinya kita tahu proses pengutusan sayyidina Ibnu Mas’ud (32 H) oleh sayyidina Umar bin Khaththab (23 H) ke Kuffah sebagai qadhi (Hakim) ketika Islam sudah mulai berkembang sampai Persia. Dari sinilah bibit madzhab fiqih mulai ter-design.
Karena seorang hakim, mau tidak mau pasti berijtihad. Bagaimana tidak? toh setiap hari sayyidina Ibnu Mas’ud selalu dihadapkan kepada suatu masalah masyarakat. Apakah seorang hakim diam saja tanpa menggunakan akalnya untuk memberika solusi bagi konsekuennya?
Dari ijtihad-ijtihad sayyidina Ibnu Mas’ud ini menjadi patokan dasar fiqihmadrasah al-Kufa, (yang nantinya akan menjadi madzhab hanafi) yang dikumpulkan dan diamalkan kembali oleh Alqamah bin Qais (62 H).
Dari Alqamah, kemudian warisan fiqih kufah itu diwariskan kepada muridnya, yaitu Ibrahim Al-Nakho’i (96 H), lalu turun lagi ke murid beliau, yaitu Hammad bin Abi Sulaiman (120 H), dan akhirnya sampai kepada Imam Abu Hanifah Al-Nukman bin Tsabit (150 H).
Umar dan Ibnu Umar : Bibit Fiqih Ahli Madinah
Begitu pun dengan apa yang dilakukan oleh sayyidina Umar bin Khathtab itu sendiri ketika menjawab khalifah sekaligus qadhi (hakim) di madinah. Tentu banyak masalah yang dihadapi, banyak pengaduan dan banyak problem keagamaa yang mesti dicari jalan keluarnya ketika itu.
Itu kenapa yang banyak kita dengar dari kalangan sahabat ialah sayyidina Umar yang paling banyak ijtihadnya. Ya tentu. Karena beliau adalah Hakim dan khalifah, terlebih lagi bahwa masa kepimpinannya jauh lebih lama dibanding khalifah yang lain.
Tentu banyak masalah yang dipecahkan oleh beliau dengan ijtihad-ijtihadnya. Tentu itu pada masalah yang memang tidak tersentuh secara langsung oleh al-Quran dan hadits. Karena tidak mungkin seorang khalifah berijtihad pada sesuatu yang sudah ada ketetapnnya dalam 2 teks suci itu.
Nah, ijtihad-ijtihad Umar bin Khthtab inilah yang disebut dengan istilahmaslahah [المصلحة] dalam ilmu ushul, yang menjadi patokan dan rujukan terbentuk madrasah fiqih Ahli Madinah (yang kemudian menjadi madzhab Al-Maliki). Dan kemudian juga diwarisi oleh anaknya sendiri, yaitu Abdullah bin Umar (74 H).
Setelah itulah muncul beberapa hali fiqih madinah yang hampir kesemuanya menjadi penesehat khalifah Umar bin Abdul Aziz (101 H). para ahli fiqih madinah ini, sering disebut oleh para sejarawan dengan sebutan 7 Ahli fiqih madinah. Mereka inilah yang menjadi cikal bakal terbentuknya madzhab Imam Malik bin Anas, karena memang Imam Malik mewarisi ijtihad-ijtihad mereka.
Kenal dan Cinta
Intinya memang ketika mempelajari suatu pendapat madzhab, tidak cukup hanya melihat luarannya saja, tidak cukup hanya melihat fatwanya saja. Perlu didalami juga bagaimana proses terbentuknya madzhab itu sendiri, dan bagaimana metode yang dipakai dalam mengistinbath sebuah hukum. Sehingga kita tidak gampang mencela sebuah hasil ijtihad yang dilakukan oleh para imam itu.
Kita mempelajari ushul Al-Madzahib, dan bagaimana masa-masa ijtihad dari zaman sahabat, Tabi’in, sampai terbuntuknya madrasah Al-Kufah dan juga Madrasah Al-Hijaz, yang kemudian menelurkan banyak mujtahid serta para ahli fiqih serta madzhab-madzhab fiqih yang terbentuk.
Kalau kita mempelajari sejarahnya para Imam madzhab, kita akan tahu bagaimana mulianya mereka memperjuangkan syariah dan membumikan syariah di bumi Allah ini. dan kita juga tahu apa hikmah kenapa Allah memilih mereka untuk menjaga syariah-Nya. itu yang akhirnya membuat kita cinta mereka, yang dengan cinta ini akhirnya kita bisa menghargai ijtihad dan fatwa ulama itu sehingga tidak gampang mencela.
Tidak asal berbicara: “mereka juga manusia yang bisa salah!”
0 comments :
Post a Comment