1. Imam Al Bukhari
Beberapa ulama menyebutkan bahwa penyandaraan pendapat yang menolak hadits dhaif untuk fadhail terhadap Imam Bukhari adalah kurang tepat, karena beliau juga menjadikan ∙hadits∙ dhaif untuk hujjah. Ini dapat dilihat dari kitab beliau Al Adab Al Mufrad, yang bercampur antara ∙hadits∙ shahih dan dhaif. Dan beliau berhujjah dengan∙hadits∙ itu, mengenai disyariatkannya amalan-amalan. Ini boleh dilihat dari judul bab yang beliau tulis.
Syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah :
Beliau telah menulis masalah ini dalam komentar beliau terhadap kitab Dhafar Al Amani, karya Imam Al Laknawi (hal. 182-186), dengan merujuk kitab Fadhullah As Shamad fi Taudhih Al Adab Al Mufrad, karya Syeikh Fadhlullah Al Haidar Al Abadi Al Hindi, ulama hadits dari India yang wafat pada tahun1399 H.
Tidak hanya dalam Al Adab Al Mufrad, dalam Shahihnya pun perkara hampir serupa terjadi. Ibnu Hajar Al Asqalani menyebutkan dalam Hadyu As Sari (2/162), saat menyebutkan perawi bernama Muhammad bin Abdurrahman At Tufawi, yang oleh Abu Zur’ah dikatakan “mungkarul ∙hadits∙” beliau mengatakan bahwa dalam Shahih Al Bukhari ada 3 ∙hadits∙ yang diriwayatkan oleh perawi tersebut dan semuanya dalam masalah riqaq (∙hadits akhlak dan motivasi), dan ini tergolong gharaib dalam Shahih Al Bukhari, hingga Ibnu Hajar mengatakan,”Seolah-olah Bukhari tidak memperketat, karena termasuk ∙hadits∙ targhib wa tarhib”.
2. Imam Muslim
Adapun perkataan Imam Muslim dalam muqadimah As Shahih, tidak boleh diertikan sebagai larangan mutlak atas penggunaan hadits dhaif dalam fadhail. Imam Muslim mengatakan dalam muqadimah Shahih beliau,”
Dan ketahuilah-wafaqakallah-bahwa wajib bagi siapa saja untuk membezakan antara shahih riwayat dan saqimnya, serta orang-orang tsiqah yang menukilnya daripada mereka yang tertuduh (memalsukan). Tidak meriwayatkan darinya (periwayatan), kecuali yang diketahui keshahihan outputnya dan yang terjaga para periwatnya, serta berhati-hati terhadap periwayatan mereka yang tertuduh, dan para ahli bid’ah yang fanatik.”
(Muslim dengan Syarh An Nawawi (1/96))
Syeikh Dr. Mahmud Said, ulama hadits dari Mesir mengomentari perkataan Imam Muslim di atas. Dalam At Ta’rif (1/99) beliau mengatakan,”maknanya, wajib bagi siapa saja yang ingin menyendirikan hadits shahih dan mengetahui perbezaan antara shahih…” Artinya, himbauan Imam Muslim di atas untuk mereka yang ingin menyendirikan hadits shahih.
Beliau juga memandang bahwa tidak seorang hafidz pun yang telah melakukan rihlah (mencari ∙hadits∙) meninggalkan periwayatan para perawi dhaif, hatta Imam Muslim. Karena itu, Imam Muslim memasukkan perawi lemah dan matruk, yang menurut Muslimatergolong jenis khabar kelompok ketiga, ke dalam Shahih Muslim untuk mutaba’ah dan syawahid. Dengan demikian, pernyataan Muslim di atas tidak berlaku mutlak.
Ibnu Taimiyah berkata dalam Majmu Fatawanya:
"Dan (hadits) dho'if: yang diriwayatkan oleh orang yang belum diketahui kebenarannya (kejujuran), baik itu karena buruk hafalannya atau karena diduga (berdusta), akan tetapi mungkin juga dia benar (jujur) di situ, karena orang yang fasik adakalanya jujur dan orang yang keliru adakalanya hafaz."
3. Imam Suyuthi berkata dalam Tadribur Rowi tentang hadits ghair maqbul (tidak diterima):
"Maknanya: tidak shahih sanadnya berdasarkan syarat yang telah disebutkan, bukan berarti ia adalah kedustaan secara nyata, karena masih ada peluang kejujuran seorang pendusta dan kebenaran orang yang sering salah."
4. Imam Nawawi berkata dalam Al-Majmu' (3/226)
Beberapa ulama menyebutkan bahwa penyandaraan pendapat yang menolak hadits dhaif untuk fadhail terhadap Imam Bukhari adalah kurang tepat, karena beliau juga menjadikan ∙hadits∙ dhaif untuk hujjah. Ini dapat dilihat dari kitab beliau Al Adab Al Mufrad, yang bercampur antara ∙hadits∙ shahih dan dhaif. Dan beliau berhujjah dengan∙hadits∙ itu, mengenai disyariatkannya amalan-amalan. Ini boleh dilihat dari judul bab yang beliau tulis.
Syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah :
Beliau telah menulis masalah ini dalam komentar beliau terhadap kitab Dhafar Al Amani, karya Imam Al Laknawi (hal. 182-186), dengan merujuk kitab Fadhullah As Shamad fi Taudhih Al Adab Al Mufrad, karya Syeikh Fadhlullah Al Haidar Al Abadi Al Hindi, ulama hadits dari India yang wafat pada tahun1399 H.
Tidak hanya dalam Al Adab Al Mufrad, dalam Shahihnya pun perkara hampir serupa terjadi. Ibnu Hajar Al Asqalani menyebutkan dalam Hadyu As Sari (2/162), saat menyebutkan perawi bernama Muhammad bin Abdurrahman At Tufawi, yang oleh Abu Zur’ah dikatakan “mungkarul ∙hadits∙” beliau mengatakan bahwa dalam Shahih Al Bukhari ada 3 ∙hadits∙ yang diriwayatkan oleh perawi tersebut dan semuanya dalam masalah riqaq (∙hadits akhlak dan motivasi), dan ini tergolong gharaib dalam Shahih Al Bukhari, hingga Ibnu Hajar mengatakan,”Seolah-olah Bukhari tidak memperketat, karena termasuk ∙hadits∙ targhib wa tarhib”.
2. Imam Muslim
Adapun perkataan Imam Muslim dalam muqadimah As Shahih, tidak boleh diertikan sebagai larangan mutlak atas penggunaan hadits dhaif dalam fadhail. Imam Muslim mengatakan dalam muqadimah Shahih beliau,”
Dan ketahuilah-wafaqakallah-bahwa wajib bagi siapa saja untuk membezakan antara shahih riwayat dan saqimnya, serta orang-orang tsiqah yang menukilnya daripada mereka yang tertuduh (memalsukan). Tidak meriwayatkan darinya (periwayatan), kecuali yang diketahui keshahihan outputnya dan yang terjaga para periwatnya, serta berhati-hati terhadap periwayatan mereka yang tertuduh, dan para ahli bid’ah yang fanatik.”
(Muslim dengan Syarh An Nawawi (1/96))
Syeikh Dr. Mahmud Said, ulama hadits dari Mesir mengomentari perkataan Imam Muslim di atas. Dalam At Ta’rif (1/99) beliau mengatakan,”maknanya, wajib bagi siapa saja yang ingin menyendirikan hadits shahih dan mengetahui perbezaan antara shahih…” Artinya, himbauan Imam Muslim di atas untuk mereka yang ingin menyendirikan hadits shahih.
Beliau juga memandang bahwa tidak seorang hafidz pun yang telah melakukan rihlah (mencari ∙hadits∙) meninggalkan periwayatan para perawi dhaif, hatta Imam Muslim. Karena itu, Imam Muslim memasukkan perawi lemah dan matruk, yang menurut Muslimatergolong jenis khabar kelompok ketiga, ke dalam Shahih Muslim untuk mutaba’ah dan syawahid. Dengan demikian, pernyataan Muslim di atas tidak berlaku mutlak.
Ibnu Taimiyah berkata dalam Majmu Fatawanya:
والضعيف: الذي رواه من لم يعلم صدقه إما لسوء حفظه وإما لاتهامه، ولكن يمكن أن يكون صادقا فيه فإن الفاسق قد يصدق والغالط قد يحفظ
"Dan (hadits) dho'if: yang diriwayatkan oleh orang yang belum diketahui kebenarannya (kejujuran), baik itu karena buruk hafalannya atau karena diduga (berdusta), akan tetapi mungkin juga dia benar (jujur) di situ, karena orang yang fasik adakalanya jujur dan orang yang keliru adakalanya hafaz."
3. Imam Suyuthi berkata dalam Tadribur Rowi tentang hadits ghair maqbul (tidak diterima):
معناه لم يصح إسناده على الشرط المذكور لا أنه كذب في نفس الأمر لجواز صدق الكاذب وإصابة من هو كثير الخطأ
"Maknanya: tidak shahih sanadnya berdasarkan syarat yang telah disebutkan, bukan berarti ia adalah kedustaan secara nyata, karena masih ada peluang kejujuran seorang pendusta dan kebenaran orang yang sering salah."
4. Imam Nawawi berkata dalam Al-Majmu' (3/226)
وقد قدمنا اتفاق العلماء على العمل بالحديث الضعيف في فضائل الأعمال دون الحلال والحرام
"Telah kami paparkan kesepakatan para ulama mengenai(bolehnya) beramal dengan hadits dha'if dalam Fadha'il A'mal (keutamaan amalan), bukan halal dan haram."
Dalam Mawahib Al-Jalil (1/17) disebutkan:
Dalam Mawahib Al-Jalil (1/17) disebutkan:
فقد اتفق العلماء على جواز العمل بالحديث الضعيف في فضائل الأعمال
“Para ulama telah bersepakat mengenai bolehnya beramal dengan hadits dha’if dalam hal Fadha’il A’mal.”
5. Mulla Ali Al-Qari berkata dalam Al-Hazh Al-Aufar sebagaimana dalam Al-Ajwibah Al-Fadhilah karangan Al-Laknawi hal. 36:
الحديث الضعيف معتبر في فضائل الأعمال عند جميع العلماء من أرباب الكمال
“Hadits dha’if itu dijadikan I’tibar dalam Fadha’il A’mal menurut seluruh ulama…”
Ia juga berkata:
الضعيف يعمل به في فضائل الأعمال اتفاقا
"(Hadits) dhaif diamalkan dalam hal fadhoil (keutamaan) amal secara ittifaq (kesepakatan ulama)."
6. Ibnu Hajar Al Haitami berkata:
قد اتفق العلماء على جواز العمل بالحديث الضعيف فى فضائل الأعمال؛ لأنه إن كان صحيحا فى نفس الأمر، فقد أعطى حقه من العمل به، وإلا لم يترتب على العمل به مفسدةُ تحليل ولا تحريم ولا ضياع حق للغير
“Para ulama telah bersepakat tentang kebolehan beramal dengan hadits dhaif dalam hal keutamaan amal, karena seaindainya hadits itu ternyata shahih, maka ia telah memberikan haknya yaitu berupa amal, dan jika tidak, maka beramal dengannya tidak berdampak penghalalan atau pengharaman atau hilangnya hak orang lain.”
Ia juga berkata:
Ia juga berkata:
وقد تقرر أن الحديث الضعيف والمرسل والمنقطع والمعضل والموقوف يعمل بها في فضائل الأعمال إجماعا
“Telah tetap bahwa hadits dhaif, mursal, munqathi’, mu’dhol dan mauquf diamalkan dalam hal keutamaan amal secara ijma’.”
Ia juga berkata:
فإن قلت هذا الحديث المذكور سنده ضعيف فكيف يحتج به ؟ قلت : الذي أطبق عليه أئمتنا الفقهاء والأصوليون والحفاظ أن الحديث الضعيف حجة في المناقب كما أنه بإجماع من يعتد به حجة في فضائل الأعمال، وإذا ثبت أنه حجة في ذلك لم تبق شبهة لمعاند ومطعن لحاسد بل وجب على كل من فيه أهلية أن يقر هذا الحق في نصابه
“Jika anda bertanya: hadits tersebut sanadnya dhoif, bagaimana dijadikan hujjah? Maka saya jawab: Yang menjadi ketetapan para imam kita baik dari kalangan Fuqoha, Ushuliyin dan Huffazh yaitu hadits dhoif hujjah dalam hal manaqib (biografi) sebagaimana ia juga hujjah dalam hal keutamaan amal menurut ijma para ulama. Jika telah tetap bahwa ia hujjah dalam hal itu, tidak tersisa lagi syubhat bagi orang yang menentang atau hujatan bagi orang yang hasad. Bahkan wajib bagi setiap orang yang memiliki keahlian mengakui kebenaran ini sesuai kadarnya.”
Wallahua'lam bissowab
oleh: Ustaz Danang Kuncoro Wicaksono
0 comments :
Post a Comment