oleh: Saief Alemdar
Membedakan pengertian antara Syariah Islamiyyah dengan Fiqh Islamy adalah suatu hal yang sangat krusial bagi kita, dimana sering terjadi perselisihan hanya karena masalah sepele yang seharusnya tidak perlu diributkan.
Syariah Islamiyyah adalah teks-teks suci yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad, baik Kitab maupun Sunnah, yang mana sunnah sendiri adalah terjemahan dan praktek dari Quran. Sedangkan Fiqih Islamy adalah hasil konklusi dari pemahaman para Ulama Fiqih atas teks-teks suci tadi.
Sebuah kesalahan ilmiah mencampuradukkan atau tidak membedakan antara Syariah dengan Fiqih. Karena Syariah itu “ma’shumah” alias “tidak bisa salah”, di dalamnya semua kebenaran yang harus kita imani, kita lakukan, dan di dalamnya semua kebaikan dan kemaslahatan kita di dunia dan akhirat.
Sedangkan Fiqih adalah hasil cipta karya para Ulama Fiqih yang berdasarkan pemahaman, kajian, dan telaahan mereka terhadap Syariah. Oleh karena itu, wajar kalau ada perbedaan pendapat di antara mereka dalam satu masalah yang sama, karena setinggi apapun derajat dan keilmuwan mereka, masih tetap saja mereka manusia yang bisa benar dan bisa keliru.
Hal ini tidak berarti kalau Fiqih itu tidak ada harganya dan tidak besar nilainya, bukan demikian, tetapi disini kita maksudkan bahwa Fiqih kita memiliki “qadasah” atau kesakralan sebagaimana yang dimiliki oleh Kitab dan Sunnah. Pada akhirnya Fiqih itu adalah hasil “perasan” pikiran Ulama Fiqih meskipun bersandarkan dan berdasarkan pada Kitab dan Sunnah, oleh karena itu sifatnya debatable, diantara merekapun saling berbeda pendapat, sesuai dengan pemahaman dan dalil yang mereka miliki.
Namun, ada satu poin penting yang harus diperjelas disini, bahwa Fiqih Islami itu memiliki dua jenis hukum:
Pertama: Hukum-hukum yang ditetapkan oleh teks-teks suci tadi secara “qat’i” dan gamblang, artinya ketika membaca teks tersebut jelas tanpa perlu penafsiran atau kajian lagi, seperti kewajiban shalat, kewajiban puasa, kewajiban zakat harta, kewajiban memenuhi janji, keharaman mencuri, keharaman berzina, keharaman nikah sejenis, dan lainnya yang disebut secara gamblang dalam teks-teks suci tadi, yaitu Kitab dan Sunnah Mutawatirah.
Kedua: Hukum-hukum yang didiamkan atau tidak dijelaskan secara gamblang serta multi-interpretasi oleh teks-teks suci tadi, namun dibuka pintu bagi Ulama-ulama untuk berijtihad, sehingga para Ulamapun berijtihad dan hasilnya berbeda-beda. Seperti, perbedaan dalam rukun shalat, apakah fatihah dimulai dari bismillah atau dari “Alhamdulillah…”, apakah niat puasa ramadhan wajib diucapkan setiap malam atau tidak, apakah boleh menghitung awal Ramadhan dan akhirnya dengan hisab falaki atau tidak, berapakan nishab barang curian sehingga seorang pencuri bisa dihukum “hudud”, dan lain sebagainya yang diperselisihkan Ulama Fiqih, bisa direfer ke buku-buku Fiqih komparatif di perpustakaan-perpustakaan Islam. (Al Madkhal Al Fiqhy Al Aam, Prof. Musthafa Zarqa. Rahimahullah).
Buku-buku yang mengkodifikasi Hukum-hukum Islam menghimpun kedua jenis hukum diatas. Ketika kita katakana “Perbedaan Syariah dengan Fiqih”, maka itu dimaksud hukum jenis kedua, dimana dia adalah hukum ijtihadi, yang disarikan oleh ulama-ulama fiqih dari qiyas, istihsan, istishlah serta qawaid fiqhiyyah dan lughawiyyah lainnya.
Jadi, perbedaan pendapat ulama fiqih dalam sebuah masalah merupakan khazanah dan kekayaan intelektual umat Islam yang harus dibanggakan dan dijaga, bukan diributkan atau malah jadi sumber perpecahan, sehingga ketika seorang yang meyakini kebenaran sebuah hukum ijtihadi berada pada pendapat Imam Hanafi, dengan serta merta menyalahkan bahkan menyesatkan pendapat Imam lain, itu tidak boleh.
Ikutlah kata Imam Abu Hanifah saat beliau berkata, “Kalau pendapat dan ijtihad saya bertentangan dengan kebenaran sebuah hadis, maka buang pendapat saya, dan amalkan hadis”. Ikutlah kata Iman Ahmad saat ditanya kenapa shalat dibelakang imam masjid bermazhab Maliki (ada perbedaan beberapa hal terkait membatalkan wudhu antara kedua mazhab itu) beliau berkata, “Bagaimana saya tidak shalat di belakang Imam Darul Hijrah Malik bin Anas!”. Ikutlah kata Imam Auza’i yang selama bertahun-tahun menyebut Imam Abu Hanifah ahli bid’ah (karena belum pernah bertemu dan belum kenal, cuma dengar kata orang) saat beliau berkata setelah membaca risalah Imam Abu Hanifah yang diberikan oleh Imam Ibnu Mubarak, “Ikutilah dia, tidak akan sesat orang yang mengikutinya”. Ikutilah para Imam besar itu saat mereka berkata, “Pendapat saya benar, tapi ada kemungkinan salah. Pendapat orang lain salah, tapi ada kemungkinan benar”.
Selevel Imam Abu Hanifah saja, tidak mampu meyakinkan Imam Imam Malik atas pendapatnya, sehingga tercatat perbedaan ijtihad mereka. Selevel Imam Malik tidak mampu meyakinkan Imam Syafii atas pendapatnya, sehingga tertulis indah perbedaan ijtihad mereka. Selevel Imam Syafii tidak mampu meyakinkan Imam Ahmad atas pendapatnya, sehingga tercatat perbedaan ijtihad mereka. Siapa kita untuk memaksakan pendapat yang kita yakini kepada orang lain? Siapa kita berani-beraninya mengakui hanya pendapat kita saja yang mewakili Syariah dan pendapat orang lain tidak?
Biarlah hukum-hukum ijtihadi itu seperti adanya, mari sama-sama kita jaga dan laksanakan apa yang telah kita sepakati, dan mari kita saling memahami, saling mengerti dan saling menghargai perbedaan yang belum kita sepakati….disinilah letak “Iktilaful Ummah Rahmah”.
Casino Review in 2021: Bonuses, Payouts, Games
ReplyDeleteCasino Review: Is m 2 슬롯 This bet365 korea A Good 파라오도메인 Choice? Read our golden star full Casino Review 2021. Rating: 3.5 · Review by 포커 페이스 뜻 Christopher