بَدَأَ الْإِسْلَا مُ غَرِيبًا وَسَيَعُود ُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَ اءِ
"Islam dimulai dalam keadaan asing dan akan kembali asing sebagaiman a awalnya, maka thuuba (beruntung lah) orang-oran g yang asing." (HR Muslim).
Sebagian pihak turut menjadikan hadith Ghuraba’ ini dalam menolak konsep As-Sawad Al-A’zhom sebagai majoritas ulama Islam sejak zaman ke zaman, padahal hadith Ghuraba’ menceritakan tentang kurangnya dari kalangan masyarakat Islam sendiri yang mengamalkan agama Islam secara sempurna walaupun ketika itu mereka sudah banyak. itu sama sekali tidak bertentangan dengan majoritas para ulama’ yang masih berpegang kepada manhaj dan asas kebenaran dalam agama.
Lihatlah perkataan Imam As-Sindi dalam mensyarahkan hadith Al-Ghuraba’ dengan berkata:
بِقِلَّةِ مَنْ يَقُوم بِهِ وَيُعِين عَلَيْهِ وَإِنْ كَانَ أَهْله كَثِيرً
Maksudnya: “((Akan kembali asing)) yakni dengan sedikitnya orang yang mendirikannya (mengamalkannya) dan membantunya walaupun banyak ahlinya (penganut agama Islam).” [Syarah Sunan Ibn Majah: no: 3976]
Hadith ini juga tidak menafikan sama sekali akan konsep kebenaran yang tetap bersama dengan majoritas ulama’ Islam yang memimpin majoritas umat Islam sebagaimana yang disebut dalam hadith As-Sawad Al-A’zhom. Ini kerana, kedua hadith (hadith As-Sawad Al-A’zhom dengan hadith Al-Ghuraba’) menerangkan dua konteks yang berbeza. Hadith As-Sawad Al-A’zhom menjelaskan tentang majoritas ulama’ Islam yang memimpin majoritas umat Islam dalam bidang agama yang tidak akan sesat dalam masalah usul agama, sedangkan hadith Al-Ghuraba’ menceritakan tentang sedikitnya orang Islam yang mengamalkan agama dengan sempurna. Jadi, sangat berbeda antara “berpegang kepada kebenaran pada perkara usul” dengan “mengamalkannya secara sempurna”. Bahkan, berbeda juga antara membandingkan keseluruhan masyarakat Islam dengan majoritas ulama’ Islam sejak zaman ke zaman yang disebut sebagai As-Sawad Al-A’zhom itu sendiri.
Oleh sebab itulah dalam Musnad Imam Ahmad ada menyebut syarah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam tentang Al-Ghuraba’ yaitu :
الذين يصلحون إذا فسد الناس
Maksudnya: “Mereka yang melakukan kebaikan ketika manusia sudah rosak (banyak melakukan keburukan)”. [hadith riwayat Imam Ahmad, no: 16049]
Dalam hadith Mursal pula ada menyebut maksud Al-Ghuraba’, bahawasanya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الذين يزيدون اذا نقص الناس
Maksudnya: “Mereka yang bertambah (amalan ibadah mereka) ketika manusia berkurang (amalan mereka)” [Madarij As-Salikin: 3/203]
Dalam suatu penjelasan yang lain berbunyi:
الذين يحيون سنتي ويعلمونها عباد الله
Maksudnya: “(Al-Ghuraba’) adalah mereka yang menghidupkan sunnahku dan mengajarkannya kepada para hamba Allah”. [riwayat Imam Al-Bazzar (no:3287) dalam Kasyf Al-Astar, Imam Al-Khatib dalam Syarf Ashab Al-Hadith (m/s: 38) dan Ibn Abdil Bar dalam Jami’e Bayan Al-Ilm]
Maksudnya, mereka (Al-Ghuraba’) yang mengamalkan ajaran murni Islam secara lengkap dan sempurna kerana kesempurnaan iman mereka, di banding dengan banyaknya manusia yang sudah tidak lagi mau mengamalkan ajaran Islam secara sempurna. Namun, aqidah dan kebenaran tetap bersama dengan majoritas ulama’ Islam dan majoritas umat Islam yang mengikut para ulama’ tersebut. Oleh karena itu, konsep Al-Ghuraba’ dalam hadith ini sedikit pun tidak menolak maksud As-Sawad Al-A’zhom dengan makna majoritas ulama’ Islam yang memimpin bidang agama majoritas umat Islam sejak zaman ke zaman secara keseluruhan dari zaman awal Islam sehingga hari ini atau lebih dikenali sebagai manhaj arus perdana.
Rasulullah -shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
لا تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق لا يضرهم من خذلهم حتى يأتي أمر الله
Maksudnya: Sentiasa satu golongan daripada umatku akan menonjol (terdhahir) di atas kebenaran yang tidak dapat dimudaratkan oleh mereka yang mencoba menyaingi golongan tersebut sehingga datangnya urusan Allah (Hari Kiamat). [Hadith riwayat Imam Muslim, no: 3544]
Imam An-Nawawi r.a. juga mensyarahkan hadith ini dengan menyebut:
وَأَمَّا هَذِهِ الطَّائِفَة فَقَالَ الْبُخَارِيّ : هُمْ أَهْل الْعِلْم , وَقَالَ أَحْمَد بْن حَنْبَل : إِنْ لَمْ يَكُونُوا أَهْل الْحَدِيث فَلَا أَدْرِي مَنْ هُمْ ؟ قَالَ الْقَاضِي عِيَاض : إِنَّمَا أَرَادَ أَحْمَد أَهْل السُّنَّة وَالْجَمَاعَة , وَمَنْ يَعْتَقِد مَذْهَب أَهْل الْحَدِيث , قُلْت : وَيَحْتَمِل أَنَّ هَذِهِ الطَّائِفَة مُفَرَّقَة بَيْن أَنْوَاع الْمُؤْمِنِينَ مِنْهُمْ شُجْعَان مُقَاتِلُونَ , وَمِنْهُمْ فُقَهَاء , وَمِنْهُمْ مُحَدِّثُونَ , وَمِنْهُمْ زُهَّاد وَآمِرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَنَاهُونَ عَنْ الْمُنْكَر , وَمِنْهُمْ أَهْل أَنْوَاع أُخْرَى مِنْ الْخَيْر , وَلَا يَلْزَم أَنْ يَكُونُوا مُجْتَمعِينَ بَلْ قَدْ يَكُونُونَ مُتَفَرِّقِينَ فِي أَقْطَار الْأَرْض
Maksudnya: “Adapun At-Tho’ifah ini maka: Imam Al-Bukhari berkata: Mereka adalah ahli ilmu.Imam Ahmad bin Hanbal r.a. berkata: Kalau mereka bukan ahli hadith, maka saya tidak tahu siapa mereka. Imam Al-Qadhi Iyadh Al-Maliki berkata: Imam Ahmad berkata mereka adalah Ahlus-Sunnah wal Jamaah dan mereka yang berpegang dengan mazhab ahli hadith. Saya katakan (Imam An-Nawawi): Golongan ini membawa maksud pelbagai jenis orang-orang beriman yang berbeda yang mana antara mereka adalah para pejuang yang berani, para fuqaha’, para ahli hadith, ahli zuhud, mereka yang mengajak kepada kebaikan dan mencegah keburukan dan sebahagian mereka adalah mereka yang dari golongan-golongan lain dalam kebaikan. Mereka ini tidak semestinya berhimpun (di sesuatu tempat atau dalam sesuatu golongan) tetapi boleh jadi terpisah-pisah di seluruh pelosuk dunia.” [Syarah Imam An-Nawawi kepada hadith tersebut]
Jadi, Imam An-Nawawi r.a. sendiri menceritakan tentang golongan yang banyak yang sentiasa menonjol dalam masyarakat Islam dan tidak pernah dikalahkan oleh pihak manapun pihak menyalahi mereka. Golongan tersebut adalah ahli ilmu dan para ulama’ yang berpegang kepada manhaj yang benar dalam perkara-perkara usul.
0 comments :
Post a Comment