Ketika
kita mem bicarakan madzhab-madzhab fiqih, sejatinya kita tidak hanya
membicarakan Imam Abu Hanifah sendiri, juga tidak Imam Mailk bin Anas
sendirian sebagai “Founder” madzhab al-Malikiyah, tidak juga
membicarakan Imam al-Syafi’i sendiri saja, dan bukan juga kita
membicarakan fatwa-fatwa Imam Ahmad saja sebagai “ikon” madzhab
al-Hanabilah.
Akan
tetapi, bukan beliau-beliau yang kita bicarakan, melainkan kita sedang
membicarakan sebuah institusi besar yang diampuh oleh orang-orang dengan
keilmuan luas yang mumpuni dalam bidang syariah dan hukum, serta
tentara-tentara akademisi yang militant dalam melakukan penelitian hukum
serta menggali illah dan hikam dari setiap hukum dan dalil yang ada, baik itu ayat atau juga hadits.
Mereka yang bekerja untuk istitusi madzhab bukan dalam waktu harian atau bulanan, akan tetapi mereka bekerja dalam waktu tahunan bahkan jauh lebih panjang dari sekdar tahunan. Bukan hanya itu, pekerjaan mereka pun bersambung, tidak hanya berhenti pada satu masa; apa yang dikerjakan di masa sebelumnya terus dikaji dan disempurnakna oleh para punggawa-punggawa madzhab di masa selanjutnya.
Mereka inilah yang kemudian mengkaji dan mendalami kaidah-kaidah ushul (induk)
yang telah dirumuskan oleh Imam madzhab mereka, serta menjelaskan apa
yang rancu dari kaidah tersebut, mengoreksi, menambahkan serta
memperbaiki apa yan sekiranya punya kemungkinan salah aplikasi. Kemudian
memberikan sample-sam ple furu’ (cabang) dalam kitab-kitab mereka, serta juga merumuskan kaidah ushul baru yang Imam mereka belum merumuskan itu berdasarkan apa yang sudah digariskan dalam madzhab sang Imam.
Sampai kita melihat bahwa apa yang dilakukan oleh sang Imam madzhab dan tentara ulama dalam setiap madzhab yang bekerja puluhan bahkan ratusan tahun tersebut tidak lagi meninggalkan masalah yang kosong jawaban kecuali sudah disiapkan oleh mereka kaidah ushul untuk dicocokan dengan masalah yang muncul.
Itu
dia kenapa dalam satu madzhab kita menemukan adanya tingkatan-tingkatan
ijtihad dan level ulama yang berbeda-beda dengan kelas mereka
masing-masing. Karena memang semua bekerja dalam bidang dan keahlian
masing-masing, guna saling melengkapi dan menyempurnakan sebuah “jalan”
(madzhab) bagi para awam untuk bisa memahami syariah ini secara
komprehensif. Di situlah fungsi madzhab.
Setiap
madzhab punya level-level dan tingkatan mujtahid yang berbeda dengan
madzhab lain, hanya saja secara global kita bisa mengklasifikasi dalam 2
level mujtahid; [1] Mujtahid Muthlaq, dan [2] mujtahid fi al-Madzhab.
Dari ulama-ulama pada 2 level ini lah kemudian muncul banyak sekali istilah-istilah ushul dalam masing-masing madzhab, serta merumuskan beberapa kaidah ushul dan Fiqih-nya. seperti kaidah ‘am wa al-khash, nash, Zahir, Majaz, Muta’awwil, Muhtamal, naskh mansukh.
Lebih rumit lagi istilah-istilah dalam istinbath hukum, seperti haml al-Muqayyad ‘ala al-Muthlaq, takhriij ushul ala al-furu’, takhrij Furu ala al-Ushul dan lain-lain yang mana para ulama madzhab tersebut bekerja dalam jangka abad (bukan tahunan) untuk sebuah “jalan” bersyariah.
Tingkatan-tingkatan Mujtahid dalam Madzhab
1. Muthlaq Muthlaq
[1.1] Mujathid Muthlaq Mustaqil
Beliau
adalah 4 Imam yang masyhur; Imam Abu Hanifah al-Bu’man, Imam Malik bin
Anas, Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Beliau-beliau adalah orang pertama yang merumuskan dan menggariskan
jalan madzhab serta memformulasikan kaidah-kaidah ushul (induk) untuk madzhab serta sedikit mambahas masalah Furu’-nya.
[1.2] Mujtahid Muthlaq Muntasib
Mereka yang ada dalam level ini sejatinya orang-orang dengan keilmuan yang sudah mencapai derajat Mujtahid muthlaq setara dengan Mujtahid Muthlaq Mustaqil. Hanya
saja mereka tidak menciptakan kaidah baru yang independen, akan tetapi
mereka tetap loyal kepada guru-guru mereka, yaitu para Imam yang empat.
Mereka
berjalan sesuai dengan apa yang sudah digariskan oleh guru-guru mereka,
dan pekerjaan yang paling sangat terlihat jelas hasilnya ialah mereka
ini yang menjelaskan kaidah-kaidah yang sudah digariskan oleh guru
mereka karena mereka adalah orang-orang terdekat sang Imam. Mereka yang
menjadi penghubung antara kecerdasan sang Imam dan keawaman umat Islam
terhadap syariah.
Kadang mereka juga berbeda dalam beberapa hal furu’iyyahdengan guru-guru mereka, akan tetapi tetapi ber-intisab kepada
madzhab guru mereka. Imam Ya’qub Abu Yusuf dan juga Imam Muhammad
al-Syaubani, contoh 2 mujtahid muntasib dari madzhab al-Hanafiyah. Imam
Ibn al-Qasim serta Imam Sahnun dari madzahb al-Malikiyah. Imam
al-Buwaithi dan juga Imam al-Muzani dari kalangan al-Syafi’iyyah.
2. Mujtahid fi al-Madzhab
[2.1] Mujtahid Mukharrij atau Ashhab al-Wujuh
Mereka
adalah tingkatan ulama yang hidup setelah masa Mujtahid muntasib. Dalam
sejarahnya, mereka inilah yang membuat madzhab menjadi jauh lebih
berkembang dan lebih dinamis dibanding sebelumnya.
Mereka
tidak membuat kaidah-kaidah baru dalam madzhab, akan tetapi mereka
melengkapi apa yang terlewat dari ulama-ulama madzhab sebelumnya. Mereka
menyimpulkan hukum beberapa –bahkan banyak- hukum masalah furu’iyyah yang
tidak dijelaskan oleh sang Imam dan para murid serta sahabatnya, dengan
menggunakan dasar serkat kaidah induk yang telah dirumuskan oleh ulama
sebelumnya dalam mdazhab tersebut, sambil meneliti dan menyempurnakn
redaksi-redaksi kaidah yang –sekiranya- tidak sempurna.
[2.2] Mujtahid Tarjih
Mereka hidup berbarengan atau setelah ulama mujtahid takhrij. Apa
yang mereka lakukan tidak kalah penting dengan apa yang dilakukan oleh
pendahulunya, walaupun memang tingkatan keilmuan yang mereka miliki
tidak seluas apa yang dimiliki oleh ulama sebelumnya.
Bisa
dikatakan mereka yang membuat madzhab lebih sistemik dan mudah untuk
diklasifikasi. Mereka melakukan verifikasi dalam setiap hukum-hukum yang
sudah disimpulkan oleh para pendahulunya, jika memang itu ada 2 atau 3
atau bahkan lebih dalam satu masalah yang sama. Dan adanya 2 sampai
lebih pendapat dalam masalah yang sama di satu madzhab adalah sesuatu
yang tidak bisa dihindari.
Dan dari perbedaan-perbedaan itu, mujtahid tarjih-lah
yang kemudian mengklasifikasi mana yang sesuai dengan madzhab dan mana
pendapat yang bukan resmi pendapat madzhab melainkan ijtihad personal
salah satu ulamanya saja.
Mereka
yang sering sekali menyebut dalam kitab-kitab mereka setelah
membandingkan 2 atau lebih pendapat yang berseberangan dengan istilah; hadza aula (ini pendapat yang lebih utama), hadza ashahhu riwayatin (ini riwayat yang benar), hadza huwa al-madzhab (inilah pendapat madzhab), hadza huwa azhar ‘inda al-madzhab (ini yang lebih jelas dalam madzhab), hadza awfaq lil-Qiyas (ini pendapat yang lebih sesuai dengan qiyas).
Beberapa ulama memasukan tingkatan ulama ini ke tingkatan di atasnya, yakni tingkatan mujta hid Mukharrij, melihat
pekerjaan yang dilakukan hampir sama, dan banyak ulama madzhab yang
melakukan 2 pekerjaan ini. Akan tetapi, Imam Muhammad Abu Zahrah dalam
kitabnyaUshul-Fiqh menjelaskan bahwa keduanya berbeda.
[2.3] Mujtahid fatwa
Mereka
adalah ulama-ulama yang memang tidak sampai pada level mujtahid
muthlaq, dan tidak juga setara dengan mujtahid mukharrij atau mujtahid
tarjih dalam madzhab. Akan
tetapi mereka adalah seorang faqih yang mumpuni, royal terhadap
madzhab Imamnya, menghafal dalil dalam setiap masalah dari
pendapat-pendapat madzhab tersebut.
Imam Ibn Shalah dalam kitabnya Adabul-Muftiy wa al-Mustaftiy,menyebutkan
bahwa ulama level ini tidak sampai pada derajat Mujtahid tarjih atau
juga mukhaarij karena punya cacat dalam kemampuan ushul-fiqh madzhabnya.
Untuk Apa Ini Semua?
Lalu
menjadi pertanyaan kemudian, sebenarnya untuk apa itu semua? Kenapa
harus ada banyak istilah rumit? Kenapa harus banyak orang terlibat?
Jawabannya
ialah untuk mengurangi dan memperkecil kemungkinan salah dan keliru
dalam memahami syariah serta menyimpulan sebuah hokum dari teks-teks
syariah. Karena semakin banyak orang yang terlibat di dalamnya, semakin
banyak sesuatu yang bisa dikoreksi. Dan itu terus berulang di setiap
generasinya.
Apa
yang sudah ada di masa ulama sebelumnya, deteliti oleh ulama
sesudahnya, disempurnakan, dijelaskan apa yang masih rancu dan
ditambahka apa yang mungkin harus ditambahkan. Semakin banyak orang yang
bekerja untuk menyempurnakan itu, semakin sedikit kesalahan yang akan
timbul.
Layaknya
sebuah penemuan teknologi, yang dari tahun ketahun selalu diteliti dan
diupgrade ke penemuan yang lebih muthakhir dan yang terpenting ialah
mempermudah pengguna serta memberikan kenamanan, dan penting lagi yaitu
memperkecil kemungkinan bahaya yang muncul yang bisa saja melukai
pengguna.
Jadi
ini bukan masalah mempersulit syariah, justru ini memudahkan kita untuk
memahami syariah secara komprehensif, dengan melihat kenyataan bahwa
banyak dalil baik dari ayat atau hadits yang nyatanya masing-masing
bersinggungan dalam kandungan hukumnya.
Dan harus dicamkan baik-baik, bahwa memahami dalil-dalil yang ada itu tidak cukup untuk hanya diterjemahkan saja. Kalau seandainya syariah serta dalil-dalilnya bisa dipahami hanya dengan terjemahannya saja, lalu buat apa ulama sejak 14 abad tahun lalu repot-repot membuat kitab tafsir yang berpuluh jilid? Buat apa juga repot-repot menulis kitab syarah (penjelasan) hadits kalau hanya bisa dipahami dengan terjemah?
Dan harus dicamkan baik-baik, bahwa memahami dalil-dalil yang ada itu tidak cukup untuk hanya diterjemahkan saja. Kalau seandainya syariah serta dalil-dalilnya bisa dipahami hanya dengan terjemahannya saja, lalu buat apa ulama sejak 14 abad tahun lalu repot-repot membuat kitab tafsir yang berpuluh jilid? Buat apa juga repot-repot menulis kitab syarah (penjelasan) hadits kalau hanya bisa dipahami dengan terjemah?
Melihat kenyataan seperti itu, lalu apakah masih kita akan mengatakan “kita
kembali ke al-Quran dan hadits langsung, tanpa harus bermadzhab karena
mereka juga manusia yang bisa salah, dan perkataan mereka tidak bisa
dijadikan dalil!” masih kah kita berkata demikian?
Kalau madzhab bisa salah, apakah kita terbebas dari kesalahan dalam memamahi syariah denga akal yang sempit ini?
Mana yang lebih mungkin salah, pekerjaan yang dikerjakan oleh satu kelompok besar yang bekerja saling melengkapi, atau mereka yang bekerja sendirian?
Mana yang lebih mungkin salah, para ulama madzhab yang hidupnya jauh lebih dekat ke masa Nabi atau kita yang sudah terpisah ribuan tahun dari zaman Nabi?
Wajib
kembali ke al-quran dan sunnah, akan tetapi kita tidak mungkin bisa
memahami al-quran dan sunnah tanpa peran sebuah madzhab fiqih!
Wallahu a’lam
Ahmad Zarkasih, Lc
0 comments :
Post a Comment