ASY'ARIYYAH AW MATURUDIYYAH DALAM I'TIQOD | SALAH SATU DARIPADA EMPAT MADZHAB DALAM FIQIH | BERTARIQAT DALAM TASAWUF

Monday, August 24, 2015

Dialog al Bani dengan al Bhuti tentang Madzhab, Ijtihad, dan Taqlid.

Syeikh Muhammad Ramadhan al-Buthi dalam bukunya "al-Lamadzhabiyyah Akhtharu Bid'ah Tuhaddidu asy-Sya'riah al-Islamiyyah" atau jika diterjamahkan akan berbunyi "Paham Anti-Madzhab: Bid'ah yang paling Berbahaya/Serius Mengancam Syari'at Islam" pada bab tersendiri, Syeikh Muhammad Ramadhan al-Buthi menuliskan rangkaian perdebatan Beliau dengan seorang tokoh penganjur Anti-Madzhab yang bernana Nasiruddin al-Bani, yang sama-sama tinggal di Syiria.

Dalam bab tersebut Syeikh Dr. al-Buthi menyampaikan bahwa "Dalam bab ini saya tidak menuliskan perkataan yang mengada-ada dan tuduhan (palsu) terhadap seseorang. Saya tidak memakai satu kalimat pun yang muncul dari imajinasi atau khayalan. Ini sekaligus kritik kepada orang yang menyangka bahwa kami sudah mengubah dan mengganti (isi perdebatan itu). Seandainya saja rasa takut kepada Allah Swt tidak mencegah kami melakukan hal itu, maka persaksian kurang lebih sepuluh orang saksi-yang melihat dengan mata kepala mereka dan mendengar dengan telinga mereka-tentu akan mencegah kami.


Dia (Nasiruddin al-Bani-pen) datang beserta beberapa pemuda yang baik dan suka mencari-cari kebenaran dari seluruh praduga. Dia memulai pembicaraan. Lalu saya (Syeikh Muhammad Ramadhan al-Buthi -pen) katakan padanya:

"Bagaimana cara Anda memahami hukum-hukum Allah? Apakah Anda ambil dari al-Qur'an, Sunnah, atau dari para imam-imam mujtahid?"

Dia: "Saya kritisi pendapat para imam dan dalil-dalilnya, kemudian saya berpegangan pada pendapat yang paling dekat dengan dalil al-Qur'an dan Sunnah"

Saya: "Anda memiliki lima ribu pound (lirah) Suriah. Setelah uang tersebut Anda simpan selama enam bulan, Anda belikan sebuah barang, kemudian Anda gunakan barang itu untuk jual beli. Kapan Anda bayar zakat dari barang tersebut? Enam bulan atau satu tahun lagi?"

Seraya berpikir, dia menjawab: "Maksud dari pertanyaan Anda adalah, Anda mengakui bahwa barang dagangan wajib dizakati."

Saya: "Saya tanya. Yang saya inginkan adalah Anda menjawabnya dengan metode Anda itu. ini ada perpustakaan di depan Anda. Di sana ada kitab-kitab tafsir, hadist, dan kitab-kitab para imam mujtahid."

Lelaki itu berfikir sesaat, kemudian mengatakan: "Saudaraku, ini adalah (masalah) agama, bukan perkara sepele. Untuk menjawabnya butuh dipikirkan secara mendalam. hal itu harus diteliti, dicari rujukannya dan dikaji. Semuanya butuh waktu. Kami hanya datang untuk membahas tema lainnya!"

Saya beralih dari pertanyaan itu. Saya katakan padanya: "Baik, apakah setiap muslim wajib mengkritisi dalil-dalil para imam kemudiania ambil yang paling sesuai dengan al-Qur'an dan Sunnah?"

Dia: "ya."

Saya: "Berarti semua orang memiliki kemampuan ijtihad sebagaimana para imam madzhab. Bahkan semua orang memiliki kemampuan yang lebih hebat karena bisa menghakimi pendapat para imam, berdasar pada ukuran al_qur'an dan Sunnah. Tentunya orang-orang demikian adalah orang yang lebih alim daripada para imam madzhab!"

Dia: "Manusia terbagi menjadi tiga orang: muqallid, muttabi', dan mujtahid. Orang yang bisa membandingkan madzhab-madzhab dan menyeleksi mana yang lebih dekat dengan al-Qur'an adalah muttabi', yakni level menengah antra taqlid dan ijtihad."

Saya: "Lalu apa kewajiban muqallid?"

Dia: "Bertaqlid kepada para mujtahid yang disepakati."

Saya: "Apakah seorang muqallid berdosa jika ia bertaqlid pada salah satu mujtahid, konsisten padanya, dan tidak berpindah ke yang lain?"

Dia: "Ya, hal itu haram baginya."

Saya: "Apa dalil dari keharaman itu?"

Dia: "Dalilnya, dia telah mengikuti secara konsisten terhadap sesuatu, padahal hal itu tidak diwajibkan Allah 'azza wa jalla."

Saya: "Anda membaca al-Qur'an dengan bacaan apa dari Bacaan yang Tujuh (al-qira'at as-sab'ah)?"

Dia: "Qira'ah Hafsh."

Saya: "Apakah Anda konsisten memakai qira'ah tersebut ataukah Anda setiap hari memakai bacaan qira'ah yang berbeda?"

Dia: "Tidak, saya konsisten memakai qira'ah Hafsh."

Saya: "Lalu mengapa Anda konsisten dengan qira'ah itu, padahal Allah tidak mewajibkan Anda untuk membaca al-Qur'an kecuali sebagaimana diriwayatkan secara mutawatir dari Nabi Saw?"

Dia: "Karena saya belum selesai mempelajari qira'ah-qira'ah yang lain. Tidak mudah bagi saya untuk membaca kecuali dengan bacaan ala Hafsh."

Saya: "Ada orang yang mempelajari fikih madzhab Syafi'i dan belum selesai mempelajari madzhab-madzhab lainnya. Tidak mudah baginya menggunakan fikih dalam hukum-hukum agama kecuali dengan fikihnya Imam Syafi'i. Jika Anda mewajibkan ia untuk mengetahui ijtihad-ijtihad semua imam hingga ia kuasai semuanya, Anda juga wajib mempelajari seluruh qira'ah, sampai semuanya Anda gunakan untuk membaca. jika Anda berapologi karena tak mampu, maka Anda harus mentolerir si muqallid itu juga. Pendek kata, kami katakan, dari mana dalil Anda bahwa seorang muqallid harus berganti-ganti madzhab padahal Allah tidak mewajibkan hal itu. Maksudnya, sebgaimana Allah tidak mewajiban untuk terus menerus mengikuti suatu madzhab, Allah juga tidak mewajibkan muqallid untuk terus-menerus berganti-ganti madzhab."

Dia: "Yang haram baginya adalah ia konsisten bermadzhab, sementara ia meyakini bahwa Allah memerintahkan hal itu."

Saya: "Itu adalah hal lain (tidak berkaitan dengan bahasan ini -penerj.), itu adalah hal yang sudah benar, tidak diragukan, dan disepakati. Akan tetapi, apakah ia berdosa jika menetapi terus menerus seorang mujtahid padahal ia tahu bahwa Allah tidak mengharuskannya begitu?"

Dia: "Tidak berdosa."

Saya: "Tetapi al-Kurras (al-Kurras adalah buku kecil berjudul "Apakah seorang muslim wajib mengikuti madzhab tertentu?") yang Anda ajarkan menyebutkan hal yang berbeda dari apa yang Anda katakan. Al-Kurras menegaskan keharaman hal itu, bahkan dalam beberapa keterangan, al-Kurras mengkafirkan orang yang konsisten mengikuti seorang imam tertentu dan tidak berpindah ke imam yang lain."

Dia: "Di mana?"

Dia merujuk ke al-Kurras, menelaah teks dan ungkapannya, Ia lalu merenungkan perkataan penulis kurras:

"Bahkan, orang yang konsisten mengikuti suatu madzhab tertentu bagi semua permasalahannya adalah orang yang fanatis, salah, dan bertaklid buta. Mereka adalah orang yang memecah belah agamanya sementara mereka bercerai-berai".

Dia kemudian mengatakan: "Maksud penulis al-kurras dengan 'konsisten' adalah bila meyakini bahwa hal itu wajib bagi syara'. Ungkapan itu masih kurang!"

Saya: "Apa buktinya kalau ia bermaksud demikian, mengapa tidak Anda katakan bahwa penulisnya telah berbuat salah?"

Lelaki itu bersikukuh menyatakan bahwa ungkapan al-Kurras benar. Ungkapan tersebut mengandung penakwilan yang dibuang. Penulisnya terjaga dari kesalahan!

Saya: "Tetapi, kalau ditakwil demikian, ungkapan itu tidak berpengaruh apa-apa dan tidak ada gunanya. Tidak ada seorang pun dari umat islam kecuali mengetahui bahwa mengikuti salah satu imam madzhab empat bukanlah syari'at yang wajib. tidak ada seorang pun muslim yang konsisten terhadap madzhab kecuali ia melakukan hal itu karena keinginan dan pilihannya."

Dia: "Bagaiamana? saya mendengar dari banyak orang dan sebagian ulama bahwa konsisten terhadap madzhab tertentu adalah wajib, sampai-sampai tidak boleh berpindah madzhab lainnya."

Saya: "Sebutkan satu nama saja pada saya, siapa orang awam atau ulama yang mengatakan statemen itu."

Lelaki itu diam. Ia tidak mau mengakui bahwa bahwa perkataan saya benar. Ia terus saja mengulang-ulang: "Yang digambarkan oleh penulis al-kurras adalah bahwa banyak orang mengharamkan berpindah-pindah madzhab."

Saya: "Anda tidak akan menemukan satu orang pun hari ini yang meyakini praduga aneh itu. Ya, ada orang-orang yang meriwayatkan dari sebagian ulama generasi akhir masa Utsmaniyah, bahwa mereka menganjurkan berpindahnya seseorang yang bermadzhab Hanafi ke madzhab lainnya. tentu, hal itu-jika memang riwayatnya benar-adalah bentuk lemahnya akal dan fanatisme buta."

Kemudian saya katakan padanya: "Dari mana Anda membedakan muqallid dan muttabi', apakah itu klasifikasi secara (etimologis) atai istilah (terminologis)?"

Dia: "Antara keduanya ada perbedaan secara bahasa."

Saya berikan padanya sumber rujukan bahasa agar ia menemukan perbedaan secara bahasa dari dua kata itu. Ia tidak menemukan perbedaan apa pun.

Lalu saya katakan: "Abu bakar ra. pernah mengatakan kepada seorang Arab pedalaman yang protes dengan jatah pendapatannya yang sudah disepakati oleh umat islam: "jika orang-orang Muhajirin sudah rela (sepakat), kamu mengikuti (taba') mereka". Abu Bakar mengungkapkan dengan kata taba'a (mengikuti) dengan arti persetujuan (muwafaqah) yang tidak bisa diperdebatkan dan dibahas (lagi)."

Dia: "(Kalau begitu) perbedaannya adalah perbedaan istilah (terminologis). Bukankah saya berhak untuk membuat istilah tertentu?"

Saya: "Ya, tetapi istilah Anda tidak akan merubah esensi masalah. Yang Anda namakan dengan muttabi' bisa jadi adalah orang yang mengerti benar dalil-dalil dan cara istinbath-nya. Dengan demikian dia adalah mujtahid. Jika dia tidak benar-benar tahu, atau tidak mampu menyimpulkan hukum dari dalil-dalil itu, dengan demikian dia adalah muqallid. jika dalam sebagian masalah dia mengerti dalilnya, sedang di bagian lain tidak, dia menjadi muqallid dalam sebagian maslah dan mujtahid dalam sebagian masalah. Sehingga, bagaimanapun juga, klasifikasi ini bersifat dualis (hanya ada dua). Ketentuan keduanya sudah jelas dan diketahui."

Dia: " 'Muttabi' adalah orang yang mampu membedakan pendapat-pendapat dengan dalil-dalilnya, lalu (mampu) men-tarjih sebagian pendapat dengan pendapat lainnya. Ini merupakan level yang berbeda dengan taklid."

Saya: "Jika yang Anda maksud dengan 'membedakan pendapat-pendapat' adalah membedakan pendapat itu berdasarkan pada kuat-lemahnya dalil, itu adalah level yang tinggi dari tingkatan ijtihad. Apakah anda secara pribadi mampu menjadi seperti itu?"

Dia: "Saya melakukan itu semampu saya."

Saya: "Saya tahu Anda berfatwa bahwa tiga talak dalam satu majelis dianggap satu talak saja. Apakah Anda sudah merujukkan fatwa Anda kepada pendapat-pendapat para imam dan dalil-dalil mereka dalam masalah ini., kemudian Anda pilah-pilah pendapat itu lalu berfatwa berdasarkan hal yang sudah Anda pilah itu? 'Uwaimar al-'Ajlani mentalak istrinya tiga kali dalam satu majelis bersama Rasulullah saw. Setelah ia me-li'an istrinya, 'Uwaimar mengatakan: Saya berbohong pada dia (istri saya), Ya Rasulullah, jika saya rujuk padanya'. Istri 'Uwaimar tertalak tiga. Apa yang Anda tahu dari hadist ini, kedudukannya dalam masalah ini, dan sejauh mana kandungan maknanya menurut madzhab jumhur (mayoritas) atau madzhab Ibn taimiyyah?"1)

1) ini merupakan salah satu dari sejumlah dalil dari hadist yang sharih dan shahih yang menerangkan bahwa talak tiga dengan satu kalimat adalah sama dengan talak tiga kali. untuk mendalaminya rujuk buku saya, Muhadharat fi Fiqh al-muqaran.

Dia: "Saya belum menelaah hadist itu."

Saya: "Lalu bagaimana Anda berfatwa dalam masalah ini dengan fatwa yang berlawanan dengan kesepakatan madzhab empat, tanpa Anda lihat dalil-dalilnya dan kuat atau lemahnya?

Jadi, Anda sudah mengabaikan prinsip yang, katanya, Anda wajibkan untuk diri Anda dan wajibkan pada kami. Yaitu, prinsip untuk mengikuti apa yang Anda istilahkan itu (ittiba' -penerj.)"

Dia: "Pada saat itu saya tidak memiliki kitab-kitab yang lengkap, yang bisa saya gunakan untuk meneliti madzhab-madzhab dan dalil-dalilnya."

Saya: "Lantas apa yang membuat Anda tergesa-gesa berfatwa dengan fatwa yang berlawanan dengan jumhur umat islam, padahal Anda belum pernah meneliti dalil-dalil mereka sama sekali?"

Dia: "Saya lakukan itu, sementara saya ditanyai...saya hanya punya sumber-sumber rujukan dengan jumlah terbatas."

Saya: "Anda bisa melakukan yang dilakukan oleh semua ulama dan para imam. Yaitu, Anda katakan: Saya tidak tahu, atau saya akan menyeleksi pendapat madzhab empat dengan kalangan yang berbeda pendapat dengan mereka, bukan berfatwa dengan salah satu dari dua pendapat itu. Anda bisa melakukan hal itu. Bahkan itulah kewajiban Anda. Problem tidak akan menimpa Anda, kecuali jika Anda terpaksa untuk mengambil rujukan apapun dari permasalahan itu. Sedangkan jika Anda berfatwa dengan pendapat yang berlawanan dengan kesepakatan imam empat, sementara Anda belum menelaah -sebagaimana Anda akui- dalil-dalil mereka dan menganggap cukup dengan dalil-dalil orang yang berbeda pendapat dengan madzhab empat, itulah puncak fanatisme, sikap yang Anda tuduhkan pada kami."

Dia: "Saya sudah menelaah pendapat-pendapat imam empat dalam kitab karya asy-Syaukani, Subul as-Salam, dan Fiqh as-Sunnah karya Sayyid Sabiq."2)

2) Kitab karya Muhammad ibn 'Ali asy-Syaukani berjudul Nail al-Awthar min Ahadist sayyid al-Akhyar, Syarh Muntaqa al-Akbar. Sedangkan Subul as-Salam, karya ash-Shan'ani, adalah syarah terhadap kitab Bulugh al-maram karya Ibn hajar al-Asqalani. Ketiga kitab itu (Nail al-Awthar, Subul as-Salam, dan Fiqh as-Sunnah) terkenal sebagai kitab yang penulisnya tidak berafiliasi dengan madzhab, bahkan menyatakan diri berlepas dari madzhab, khususnya madzhab empat -penerj.

Saya: "dalam masalah ini, itu merupakan kitab-kitab yang menentang imam madzhab empat. Ketiga-tiganya berpendapat dengan berlandaskan pada dasar yang sama dan menyebutkan argumen-argumen yang kuat dasarnya. Apakah Anda mau menghakimi, di antara dua pihak yang bermusuhan, dengan (hanya) berdasar pada statemen satu pihak saja atau dari statemen para saksi dan orang-orang yang dekat dengannya (tidak berimbang)?"

Dia: "Saya tidak melihat bahwa perbuatan saya ini akan menimbulkan suatu celaan. Saya harus memberi fatwa kepada si penanya. Dan inilah yang saya bisa lakukan berdasarkan pemahaman saya."

Saya: "Anda mengatakan bahwa Anda adalah muttabi'. Dan kami semua harus mennjadi muttabi'. Anda menafsirkan kata ittiba' dengan arti meneliti semua pendapat madzhab, mengkaji dalil-dalilnya, dan berpegangan pada madzhab yang paling dekat dengan dalil yang shahih. Tapi dengan perbuatann Anda itu, Anda telah melanggar prinsip Anda. Anda tahu madzhab empat sepakat bahwa talak tiga (dengan satu kalimat) adalah sama dengan telah mentalak tiga kali. Anda tahu bahwa para imam madzhab memiliki dalil-dalilnya, sementara Anda belum menelaahnya. Bersamaan dengan itu, Anda berpaling dari kesepakatan madzhab empat kepada pendapat yang Anda sendiri inginkan. Apakah sebelumnya Anda yakin bahwa dalil-dalil imam empat adalah dalil-dalil yang tertolak?"

Dia: "Tidak, tetapi saya belum menelaahnya. Sebab, saya tidak memiliki rujukan satupun tentang itu."

Saya: "Lantas, mengapa Anda tidak menunggu? Mengapa Anda tergesa-gesa sementara Allah tidak pernah mewajibkan hal itu? Apakah (perkataan) bahwa Anda belum menelaah dalil-dalil jumhur madzhab itu adalah argumen yang menguatkan pandangan Ibn Taimiyah? Apakah fanatisme yang Anda tuduhkan pada kami adalah bentuk dusta yang berbeda dengan ini?"

Dia: "Saya sudah melihat, dalam kitab-kitab yang lengkap saya miliki, dalil-dalil yang cukup bagi saya. Dan Allah tidak mewajibkan saya untuk menelaah rujukan yang lebih banyak dari itu."

Saya: "Jika seorang muslim melihat dalil suatu hal dari kitab-kitab yang ditelaahnya, apakah hal itu cukup baginya sebagai alasan untuk mengabaikan madzhab-madzhab yang berbeda pendapat dengan pemahamannya, meskipun si muslim itu belum menelaah dalil-dalil madzhab tersebut?"

Dia: "itu cukup."

Saya: "Ada seorang pemuda yang sangat patuh beragama. Tapi ia sama sekali tidak punya pengetahuan tentang tsaqofah Islam (tidak terpelajar). Ia membaca firman-Nya:

"Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesuangguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui" (QS al-Baqarah [2];115)

Dari ayat itu ia memahami bahwa seorang muslim dalam solatnya boleh menghadap ke arah manapun yang ia mau, sebagaimana ditunjukan oleh makna lahiriah ayat itu. Hanya saja, ia pernah mendengar bahwa para imam empat sepakat akan keharusan menghadap Ka'bah. Ia juga tahu bahwa para imam itu memiliki dalil-dalilnya, namun ia belum menelaahnya. Maka apa yang dilakukan oleh muslim itu ketika hendak solat, apakah ia mengikuti pemahaman dari dalil yang ia dapatkan itu, ataukah ia mengikuti para imam yang menyepakati pendapat yang berlawanan dengan pemahamannya?"

Dia: "Ia ikuti pemahamannya."

Saya: "(Apakah ia boleh) solat menghadap ke arah timur misalnya, dan solatnya sah?"

Dia: "Ya, sebab ia diharuskan mengikuti pemahaman subjektifnya (qana'ah dzatiyyah)."

Saya: "Bagaimana jika pemahaman subjektifnya sampai pada kesimpulan bahwa orang yang berzina dengan istri tetangganya, yang menenggak khamr, dan yang merampas harta orang tanpa hak adalah tidak berdosa, apakah Allah menghalalkan hal itu karena mengutamakan pemahaman subjektifnya?"

Dia berpikir sesaat, lalu mengatakan: "bagaimanapun, gambaran yang Anda tanyakan pada saya ini adalah gambaran imajinatif yang tak akan terjadi."

saya: "Hal itu bukan imajinasi. Justru banyak yang merealisasikannya, dan bahkan yang lebih aneh lagi, adalah pemuda yang tak punya pengetahuan tentang islam, al-Qur'an dan Sunnah. Tiba-tiba ia mendengar atau membaca ayat itu,Lalu ia memahaminya, seperti orang Arab memahaminya berdasar pada makna leterlek, bahwa tidak apa-apa seseorang menghadap ke arah yang ia mau meskipun ia lihat orang-orang menghadap Ka'bah, bukan yang lain. Hal itu adalah hal yang wajar terjadi selagi di antara umat islam ada yang sama sekali tidak tahu tentang islam. Bagaimanapun juga, Anda sudah menghakimi bahwa gambaran ini-baik imajinatif atau kenyataan-dengan ketentuan yang pasti, dan Anda menganggap bahwa pemahaman subjektif adalah yang menghakimi semuanya. Ini kontradiktif dengan klasiifikasi Anda bahwa manusia terbagi menjaadi tiga golongan, para muqallid, muttabi', dan mujtahid."

Dia: "Pemuda itu harus mengkaji. Apakah ia belum membaca suatu hadist atau ayat lainnya?"

Saya: "ia sama sekali tidak memiliki sumber rujukan untuk dikaji seperti Anda tidak memilikinya ketika hendak berfatwa tentang masalah talak. Pemuda itu juga tidak punya kesempatan untuk membaca ayat lain kecuali ayat tersebut, yang berkaitan dengan masalah dan ketentuan kiblat. Apakah Anda tetap bersikukuh bahwa ia harus mengikuti pemahaman subjektifnya dan meninggalkan ijma para imam?"

Dia: "Ya, jika ia tidak mampu meneruskan telaah dan kajiannya (terhadap ayat lain), ia ditolerir dan cukup berpegangan pada pertimbangannya semampunya."

Saya: "Saya akan mempublikasikan statemen Anda ini...itu adalah statemen yang aneh dan berbahaya."

Dia: "Publikasikanlah, saya tidak takut."

Saya: "Bagaimana Anda akan takut pada saya, sementara Anda tidak takut pada Allah. Statemen Anda telah melanggar firman-Nya:

"maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahui" (QS al-Anbiya [21]:7)

Dia: "Saudaraku, para imam itu tidak ma'shum, sedangkan ayat yang dipeganginya adalah perkataan dari Yang Ma'shum (yang tidak mungkin salah; maksudnya, Allah swt. -penerj.). Maka bagaimana bisa ia meninggalkan Yang Ma'shum dan berpegangan pada yang tidak ma'shum?"

Saya: "Ai, yang ma'shum adalah makna hakiki yang dikehendaki Allah dari firman-Nya, 'walillah al-masyriq wal al-maghrib...(QS. al-Baqarah [2]:115)'. Sedangkan yang tidak ma'shum adalah pemahaman pemuda itu yang sangat jauh dari tsaqafah dan hukum-hukum Islam serta watak al-Qur'an. Maksudnya, saya minta Anda membandingkan antara dua pemahaman: pemahaman pemuda yang bodoh ini dengan pemahaman para imam mujtahid, padahal keduanya adalah tidak ma'shum. Hanya saja, yang satu sangat bodoh, sedangkan satunya lagi sangat dalam ilmunya."

Dia: "Allah tidak mewajibkan padanya hal yang melebihi batas kemampuannya."

Saya: "jika demikian, jawablah pertanyaan berikut. Ada seorang lelaki punya anak kecil yang sakit, menderita peradangan. Ia sudah meminta petunjuk kepada seluruh dokter di daerahnya. Para dokter sepakat agar si anak diberi obat tertentu. Mereka memperingatkan ayah si anak untuk tidak menyuntikan penicilin kepada anaknya. Mereka memberitahukan si ayah kalau dia melakukan itu, nyawa si anak terancam lenyap, mati. hanya saja, si ayah tahu dari selebaran kedokteran yang pernah ia baca bahwa penicilin dapat bermanfaat (bagi orang yang) sedang kena radang. Lalu si ayah mengikuti petunjuk informasi dari selebaran itu. Ia mngabaikan perkataan para dokter, karena ia tak tahu alasan dokter-dokter itu. Si ayah lantas menggunakan pemahaman subjektifnya dan mengobati si anak dengan suntikan penicilin. Akibatnya, si anak berpulang ke rahmatullah. Apakah si ayah dapat di adili dan ia berdosa karena perbuatannya atau tidak?"

Dia berpikir sebentar, kemudian mengatakan: "Yang ini bukan itu" (maksudnya, tidak bisa dianalogikan dengan kasus pemuda dalam masalah kiblat tadi -penerj.)

Saya: "Tidak, ini sama. Si ayah mendengar kesepakatan para dokter sebagaimana si pemuda mendengar kesepakatan para imam madzhab. Hanya saja, si ayah mengikuti selebaran kedokteran yang ia baca sebagaimana si pemuda membaca teks dalam al-Qur'an, bukan yang lain. Si ayah menggunakan pemahaman subjektifnya sebagaimana si pemuda menggunakannya."

Dia: "Wahai, Saudaraku, al-Qur'an itu nur (cahaya)...nur...apakah kandungan nur dapat dibandingkan dengan perkataan lainnya?"

Saya: "Cahaya al-Qur'an tercermin pada akal orang yang menelaah dan membacanya, kemudian memahaminya. Ia jadi cahaya sebagaimana makna yang dikehendaki oleh Allah. Lalu apa bedanya antara ahludz-dzikri (orang yang berpengetahuan) dengan yang lainnya, yang menjauh dari cahaya itu? Dua permisalan itu sma. Sama sekali tidak ada perbedaan di anatar keduanya. Seharusnya Anda menimpali saya: Apakah orang tersebut harus mengkaji lalu mengikuti pemahaman subjektifnya atau mengikuti alias bertaklid kepada orang yang ahli di bidangnya?"

Dia: "Pemahaman subjektif itulah yang menjadi dasarnya."

Saya: "Si ayah menggunakan pemahaman subjektifnya sehingga menyebabkan kematian anaknya. Apakah si ayah dikenai tanggung jawab menurut syara' atau menurut hukum pengadilan?"

Dengan suara keras, dia mengatakan: "Ayah tadi tidak dikenai tanggung jawab apapun!"

Saya: "Mari kita tutup pembahasan dan perdebatan ini setelah kalimat saya ini. Tidak ada lagi jalan untuk mendapatkan kesepakatan antara saya dan Anda, yang bisa menjadi objek bahasan. Cukuplah, Anda dengan jawaban Anda yang aneh itu keluar dari ijma' millah Islam. Ingatlah, demi Allah, tidak ada gunanya, Anda fanatik."

Seorang muslim yang bodoh menggunakan pemahaman subjektifnya dalam memahami telaahnya terhadap al-Qur'an. Ia solat tidak menghadap kiblat, berbeda dengan semua umat Islam, lalu solatnya (dianggap) sah. Seorang lelaki buta menggunakan pemahaman subjektifnya, lalu ia obati seseorang dan orang yang sakit itu meninggal di tangannya. kepada orang sakit yang meninggal itu ia berkata: 'Semoga Allah memberimu kesehatan."

Jika demikian, saya jadi tidak mengerti, mengapa orang-orang yang anti-madzhab tidak membiarkan kami untuk menggunakan pemahaman subjektif kami juga, yakni bahwa orang yang tidak tahu hukum-hukum agama dan dalil-dalilnya, harus berpegangan pada salah satu madzhab imam mujtahid; ia mengikutinya karena memang imam mujtahid adalah orang yang mengerti benar dengan Kitabullah dan Sunnah rasul.
luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com

0 comments :

Post a Comment