ASY'ARIYYAH AW MATURUDIYYAH DALAM I'TIQOD | SALAH SATU DARIPADA EMPAT MADZHAB DALAM FIQIH | BERTARIQAT DALAM TASAWUF

Haul Habib Munzir al-Musawa di Masjid at-Taubah, Kalibata, 23 Agustus 2015

Syekh Ali Jabeer: "Alhamdulillah dapat bershilaturrahim hadir memenuhi undangan Acara Haul Habib Munzir Al-Musawa."

Haul Habib Munzir al-Musawa di Masjid at-Taubah, Kalibata, 23 Agustus 2015

Syekh Ali Jabeer: "Alhamdulillah dapat bershilaturrahim hadir memenuhi undangan Acara Haul Habib Munzir Al-Musawa."

Haul Habib Munzir al-Musawa di Masjid at-Taubah, Kalibata, 23 Agustus 2015

Syekh Ali Jabeer: "Banyak kebaikan Habib Munzir untuk umat dan persatuan umat. Semoga kita bisa melanjutkan perjuangan beliau dan menghidupkan Sunnah Rasulullah SAW"

Haul Habib Munzir al-Musawa di Masjid at-Taubah, Kalibata, 23 Agustus 2015

Syekh Ali Jabeer: "Banyak kebaikan Habib Munzir untuk umat dan persatuan umat. Semoga kita bisa melanjutkan perjuangan beliau dan menghidupkan Sunnah Rasulullah SAW"

muktamar tasawuf sedunia di Chechnya.

Habib Sholeh Aljufri bersama guru mulia Alhabib Umar bin Hafidz, Mufti Mesir Syiekh Shauki dan ulama2 dari Beirut, Syiria dll

Habib Ali alJufri dan Guru Beliu, Syeikh Maliki

Habib Ali al-Jufriy: "Ketika aku mendengar orang berbicara atas nama Islam dengan bahasa yang kasar dan caci-maki, aku bersyukur kepada Allah tidak memahami Islam lewat lisan mereka."

25yyTB_kiZg

Tuesday, October 27, 2015

Perbedaan Syari'ah Islamiyah dengan Fiqih Islamiyah


Membedakan pengertian antara Syariah Islamiyyah dengan Fiqh Islamy adalah suatu hal yang sangat krusial bagi kita, dimana sering terjadi perselisihan hanya karena masalah sepele yang seharusnya tidak perlu diributkan.

Syariah Islamiyyah adalah teks-teks suci yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad, baik Kitab maupun Sunnah, yang mana sunnah sendiri adalah terjemahan dan praktek dari Quran. Sedangkan Fiqih Islamy adalah hasil konklusi dari pemahaman para Ulama Fiqih atas teks-teks suci tadi.

Sebuah kesalahan ilmiah mencampuradukkan atau tidak membedakan antara Syariah dengan Fiqih. Karena Syariah itu “ma’shumah” alias “tidak bisa salah”, di dalamnya semua kebenaran yang harus kita imani, kita lakukan, dan di dalamnya semua kebaikan dan kemaslahatan kita di dunia dan akhirat.

Sedangkan Fiqih adalah hasil cipta karya para Ulama Fiqih yang berdasarkan pemahaman, kajian, dan telaahan mereka terhadap Syariah. Oleh karena itu, wajar kalau ada perbedaan pendapat di antara mereka dalam satu masalah yang sama, karena setinggi apapun derajat dan keilmuwan mereka, masih tetap saja mereka manusia yang bisa benar dan bisa keliru.

Hal ini tidak berarti kalau Fiqih itu tidak ada harganya dan tidak besar nilainya, bukan demikian, tetapi disini kita maksudkan bahwa Fiqih kita memiliki “qadasah” atau kesakralan sebagaimana yang dimiliki oleh Kitab dan Sunnah. Pada akhirnya Fiqih itu adalah hasil “perasan” pikiran Ulama Fiqih meskipun bersandarkan dan berdasarkan pada Kitab dan Sunnah, oleh karena itu sifatnya debatable, diantara merekapun saling berbeda pendapat, sesuai dengan pemahaman dan dalil yang mereka miliki.

Namun, ada satu poin penting yang harus diperjelas disini, bahwa Fiqih Islami itu memiliki dua jenis hukum:

Pertama: Hukum-hukum yang ditetapkan oleh teks-teks suci tadi secara “qat’i” dan gamblang, artinya ketika membaca teks tersebut jelas tanpa perlu penafsiran atau kajian lagi, seperti kewajiban shalat, kewajiban puasa, kewajiban zakat harta, kewajiban memenuhi janji, keharaman mencuri, keharaman berzina, keharaman nikah sejenis, dan lainnya yang disebut secara gamblang dalam teks-teks suci tadi, yaitu Kitab dan Sunnah Mutawatirah.

Kedua: Hukum-hukum yang didiamkan atau tidak dijelaskan secara gamblang serta multi-interpretasi oleh teks-teks suci tadi, namun dibuka pintu bagi Ulama-ulama untuk berijtihad, sehingga para Ulamapun berijtihad dan hasilnya berbeda-beda. Seperti, perbedaan dalam rukun shalat, apakah fatihah dimulai dari bismillah atau dari “Alhamdulillah…”, apakah niat puasa ramadhan wajib diucapkan setiap malam atau tidak, apakah boleh menghitung awal Ramadhan dan akhirnya dengan hisab falaki atau tidak, berapakan nishab barang curian sehingga seorang pencuri bisa dihukum “hudud”, dan lain sebagainya yang diperselisihkan Ulama Fiqih, bisa direfer ke buku-buku Fiqih komparatif di perpustakaan-perpustakaan Islam. (Al Madkhal Al Fiqhy Al Aam, Prof. Musthafa Zarqa. Rahimahullah).

Buku-buku yang mengkodifikasi Hukum-hukum Islam menghimpun kedua jenis hukum diatas. Ketika kita katakana “Perbedaan Syariah dengan Fiqih”, maka itu dimaksud hukum jenis kedua, dimana dia adalah hukum ijtihadi, yang disarikan oleh ulama-ulama fiqih dari qiyas, istihsan, istishlah serta qawaid fiqhiyyah dan lughawiyyah lainnya.

Jadi, perbedaan pendapat ulama fiqih dalam sebuah masalah merupakan khazanah dan kekayaan intelektual umat Islam yang harus dibanggakan dan dijaga, bukan diributkan atau malah jadi sumber perpecahan, sehingga ketika seorang yang meyakini kebenaran sebuah hukum ijtihadi berada pada pendapat Imam Hanafi, dengan serta merta menyalahkan bahkan menyesatkan pendapat Imam lain, itu tidak boleh.

Ikutlah kata Imam Abu Hanifah saat beliau berkata, “Kalau pendapat dan ijtihad saya bertentangan dengan kebenaran sebuah hadis, maka buang pendapat saya, dan amalkan hadis”. Ikutlah kata Iman Ahmad saat ditanya kenapa shalat dibelakang imam masjid bermazhab Maliki (ada perbedaan beberapa hal terkait membatalkan wudhu antara kedua mazhab itu) beliau berkata, “Bagaimana saya tidak shalat di belakang Imam Darul Hijrah Malik bin Anas!”. Ikutlah kata Imam Auza’i yang selama bertahun-tahun menyebut Imam Abu Hanifah ahli bid’ah (karena belum pernah bertemu dan belum kenal, cuma dengar kata orang) saat beliau berkata setelah membaca risalah Imam Abu Hanifah yang diberikan oleh Imam Ibnu Mubarak, “Ikutilah dia, tidak akan sesat orang yang mengikutinya”. Ikutilah para Imam besar itu saat mereka berkata, “Pendapat saya benar, tapi ada kemungkinan salah. Pendapat orang lain salah, tapi ada kemungkinan benar”.

Selevel Imam Abu Hanifah saja, tidak mampu meyakinkan Imam Imam Malik atas pendapatnya, sehingga tercatat perbedaan ijtihad mereka. Selevel Imam Malik tidak mampu meyakinkan Imam Syafii atas pendapatnya, sehingga tertulis indah perbedaan ijtihad mereka. Selevel Imam Syafii tidak mampu meyakinkan Imam Ahmad atas pendapatnya, sehingga tercatat perbedaan ijtihad mereka. Siapa kita untuk memaksakan pendapat yang kita yakini kepada orang lain? Siapa kita berani-beraninya mengakui hanya pendapat kita saja yang mewakili Syariah dan pendapat orang lain tidak?

Biarlah hukum-hukum ijtihadi itu seperti adanya, mari sama-sama kita jaga dan laksanakan apa yang telah kita sepakati, dan mari kita saling memahami, saling mengerti dan saling menghargai perbedaan yang belum kita sepakati….disinilah letak “Iktilaful Ummah Rahmah”.

Dialog Syeikh Abdullah al-Talidi dengan al-Bani

Syeikh Muuddin Marbu al Banjari bersama Syeikh Abdullah al Talidi.  

Ada sebuah kisah menarik yang terjadi saat pertemuan antara Syaikh Abdullah al-Talidi (Ulama Ahlussunnah wal Jama’ah) dengan Syaikh Nashiruddin al-Albani (Ulama Wahabi Salafi). Pada ketika itu, Syaikh Abdullah at Talidi sedang berjalan-jalan bersama kawan-kawan, lalu mereka bertemu dengan salah seorang murid al-Albani yang bernama Mahmud Mahdi al-Istanbuli. Maka Mahmud tersebut pun mengajak mereka untuk datang pada malam hari di rumahnya sebagai tamu. Kemudian ketika waktu yang ditetapkan sudah sampai, mereka pun masuk ke dalam rumah yang dimaksud. Ketika mereka duduk, maka masuklah al-Albani dan bersalaman dengan semua tetamu termasuk beliau. Maka al-Albani pula bertanya kepada beliau keadaan akidah para tamu yang hadir. Maka beliau pun menjawab bahwa mereka ini adalah orang awam.

Lalu Syaikh al-Albani pun memulakan pembicaraan tentang haramnya bertawassul pada zat seperti yang dijelaskan Ibn Taimiyyah di dalam kitab “Qaidah al-Tawassul wa al-Wasilah“. Maka Syaikh al-Talidi pula menjawab bahwa tawassul dengan zat yang utama adalah disyariatkan mengikut hadis al-Dlarir yang sahih lagi masyhur dan lain-lainnya. Dengan hadis itu, banyak ulama menghalalkannya, lalu al-Albani pula melarang dan perdebatan pun menjadi panjang.

Lalu masuklah pula pembahasan dengarnya para mayat akan ucapan orang yang masih hidup. Maka al-Albani meningkarinya secara mutlak sehinggakan dari Nabi Muhammad ﷺ pun tidak mendengarnya.

Lalu Syaikh al-Talidi pula menjawab dengan menggunakan hadis Anas RA yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim: “Sesungguhnya hamba ketika diletakkan di dalam kuburnya dan pengantarnya sama berpergian maka dia mendengar pergerakan selipar mereka”. Akan tetapi, al-Albani menolaknya dan mentakwilnya. Begitu juga dengan hadis Umar RA yang menceritakan ucapan Nabi Muhammad ﷺ bersama kuffar Quraisy yang mati di al-Qalib, maka al-Albani mentakwilnya juga.

Terakhir beliau mengeluarkan hadis menampakkan amal kepada Rasulullah ﷺ,”Hidupku lebih baik bagimu, kamu melakukan sesuatu dan kamu diberi keterangan hadis. Matiku juga lebih baik untukmu, amal perbuatanmu di tampakkan kepadaku. Apa yang aku lihat baik, aku memuji kepada Allah dan apa yang ku lihat buruk, aku mitna ampun kepada Allah untukmu” (riwayat al-Bazzar dan perawinya adalah Sahih seperti yang disebutkan di dalam Majma’ al-Zawaid, 9:24).

Maka al-Albani pun mendaifkannya lagi, lalu Syaikh al-Talidi berkata padanya bahwa hadis ini sahih dan telah disahihkan oleh banyak para Huffaz. Akan tetapi, al-Albani tetap berkeras bahwa ia adalah daif. Maka ketika beliau melihat bahwa al-Albani tidak insaf, maka beliau pun berpaling darinya dan diam serta tidak diulang lagi pertentangan.

Maka ketika selesai majlis, mereka pun beransur. Lalu sekarang Syaikh al-Talidi melihat bahwa ternyata al-Albani telah mensahihkan hadis menampakkan amal kepada Rasulullah ﷺ tersebut di dalam al-Silsilah al-Sahihah karangan al-Albani sendiri.

Saturday, October 24, 2015

Mendahulukan Taqwa daripada Jalan Keluar

Syeikh Mutawali asy-Sya'rawi dan Habib Umar bin Hafidz

Dikisahkan dan dipetik dari syarahan yang disampaikan oleh Sayyidil Habib Umar bin Hafidz, Mudir Darul Mustafa Hadhramaut Yaman

Dikisahkan pada suatu hari ada seorang lelaki yang bekerja di sebuah hotel yang biasa menyajikan arak dan menjual barang-barang syubhat bertemu dengan Syaikh Mutawali asy-Sya’rawi rahimahullah. 

Kemudian Syaikh asy-Sya’rawi menyuruh lelaki tadi untuk berhenti bekerja di hotel tersebut. Akan tetapi lelaki ini beralasan bahwa dia terpaksa bekerja di hotel itu kerna ingin menyara ahli keluarganya dan untuk membayar hutangnya.

Syaikh asy-Sya’rawi kemudian berkata, “Wahai anakku, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: 

وَمَن يَتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا – الطلاق:٢ 

Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah maka Allah akan menunjukan kepadanya jalan keluar dari kesusahan (Qur’an Surah Ath-Thalaq:2)”. Lalu Syaikh bertanya kepada lelaki itu, “Adakah Allah menyebut taqwa dahulu atau jalan keluar dahulu?”. “Allah menyebut taqwa dahulu,” jawab si lelaki itu. 

Syaikh pun berkata, “Jadi kenapa kamu mahu mencari jalan keluar dahulu sebelum taqwa? Kenapa duduk di tempat mungkar ini untuk mencari jalan keluar dahulu, kemudian baru bertaqwa? Kamu semestinya bertaqwa dahulu dan kemudian pasti Allah akan menunjukan kamu jalan keluar”. Setelah mendengarkan nasihat Syaikh asy-Sya’rawi maka lelaki ini pun setuju. Dia meninggalkan pekerjaannya dengan gajinya yang tinggi di hotel tersebut. 

Tak lama kemudian, ada seseorang datang bertemu dengan lelaki ini dan menawarkannya sebuah pekerjaan sebagai pengurus di hotel yang berada di Madinah Al Munawwarah berdekatan dengan makam Nabi Muhammad Rasulullah ﷺ. Pekerjaan barunya ini ternyata lebih baik dan hutang-hutangnya pun selesai dilunaskan disebabkan dia mahu mendengarkan nasihat Syaikh asy-Sya’rawi dulu, . “Yang mana lebih dahulu, taqwa atau jalan keluar?”. Utamakan taqwa dahulu dan Allah akan memberi jalan keluar. Apakah kamu hendak mencari jalan keluar sedang kamu dalam keadaan ingkar kepada Allah? Kegilaan apa ini? “Siapa yang bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan menunjukan jalan keluar”.

Tuesday, October 13, 2015

Nasehat al-Imam Asy-Syahid Dr. Muhammad Sa'id Romadlon Al Buthy Untuk Para Pecintanya

Al Imam Asy Syahid Dr. Muhammad Sa’id Romadlon Al Buthy adalah sosok ulama’ yang dicintai ummat. Kedalaman ilmunya, dan ketulusan setiap tuturnya, mampu mengobrak-abrik bongkahan karat dalam sanubari setiap pendengarnya. Kitab-kitab karyanya menjadi rujukan di dunia Islam. Maklum jika saat kepergiannya, mengundang duka bagi segenap pecintanya.

Robbi fanfa’naa bibarkatihim, wahdinal husna bihurmatihim, wa amitnaa fii thoriiqotihim, wamu’afatim minal fitani. Selamat Meraup Samudra Hikmah dari Nasehatnya… smile emotikon

—————

“…..Bangun subuh tepat waktu setiap hari, itu kalau tidak mampu bangun beberapa saat sebelum subuh, kita mulai hari kita dengan shalat subuh berjamaah di masjid terdekat, kemudian terus berusaha berzikir dan berdoa setelah shalat, kalau tidak ada kesibukan lanjutkan hal itu sampai matahari terbit…”.

“…Setiap kali mendengar adzan, apapun kegiatan kita, dimanapun kita berada, hendaknya segera menuju masjid terdekat dan melaksanakan shalat berjamaah. Sehari semalam cuma 5 kali, sebut saja setiap waktu shalat 10 menit, sehari semalam hanya 50 menit. 50 menit itu tidak akan mengganggu kesibukan dunia kita…”.

“…Sepanjang hari, kita berusaha untuk tidak melewati waktu dengan hal-hal negatif, usahakan melewatinya dengan hal-hal yang baik-baik. Kalau kamu pelajar, ya belajar yang tekun. Kalau kamu bekerja, bekerjalah dengan baik dan carilah rejeki yang halal…”.

“…Apabila malam tiba, ketika harus beristirahat, ingatlah bahwa bisa jadi ini tidur terakhirmu dan besok pagi kamu tidak akan bangun lagi. Maka hendaklah kita muhasabah diri, waktu-waktu yang telah kita lewati dengan maksiat, beristighfar, kalau memang ini tidur tidak akan bangun lagi, semoga hari-hari yang telah berlalu dengan dosa agar diampuni Allah, serta doakan juga saudara-saudara kita. Kemudian membaca surat al kafirun, muawwizatain, dan al ikhlas…”.

“…Apabila kita sedang bergelimang nikmat atau sedang ditimpa musibah, jangan pernah lupa bahwa hanya Allah yang mampu memberi, mencegah, memberi manfaat atau memberi madharat, hanya Allah yang berkuasa melakukan itu, manusia tidak akan mampu melakukan apapun kepadamu tanpa kekuasaan Allah. Sadari itu, dan gantungkan hatimu pada Allah, bersyukur atas nikmat dan bersabar atas cobaan dan Dialah tempat berkeluh kesah…”.

“…Apabila telah selesai melaksanakan shalat dan telah melakukan dzikir selepas shalat, jangan beranjak dulu dari atas sajadah sebelum mengangkat dua tanganmu dan berdoa pada Allah dengan segala kerendahan diri, curahkan seluruh keluh kesah dan beban duniamu pada-Nya, Dia Maha Mendegar. Ungkapkan syukurmu apabila seharian kamu bahagia dengan nikmat-Nya, ungkapkan keinginanmu, tumpahkan isi hatimu, kalau kamu bisa curhat pada manusia sampai kamu menangis, padahal manusia tidak bisa apa-apa, hanya bisa mendengar, maka sudah sewajarnya kamu curhat demikian pada-Nya, karena Dia tidak saja mendengar, tapi mampu memberikan solusi dan mewujudkan keinginanmu…”.

“…Apabila kamu sesak dengan perlakuan manusia, kamu merasa mereka membencimu, berusahalah jangan sampai kamu berada di posisi yang dibenci Allah, lebih baik bumi dan langit membencimu, tapi Allah mencintaimu, daripada seluruh bumi dan langit mencintaimu, tapi Allah murka padamu…”.

“…Apabila nafsumu mengajakmu mengghibahi saudaramu, membicarakan kejelekan saudaramu, ingatlah bahwa kamu juga punya kejelekan dan aib, hanya saja Allah masih menutupnya, kapan saja kalau Allah membuka aibmu, kamu bisa jadi pembicaraan manusia siang malam. Kalau kamu ingat itu, pasti kamu akan malu di depan Allah…”.

“…Berusahalah untuk menjaga kebersihan hatimu, jauhkan dia dari iri, dengki, dan penyakit hati lainnya. Jadikan modalmu menghadap Allah kelak adalah hati yang bersih, qalbun salim. Sedikit amal ibadah, mungkin bisa membantumu kelak selama hatimu bersih. Tapi ibadah yang banyak tidak ada gunanya apabila kelak kamu menghadap-Nya dengan hati penuh dendam, kebencian, dengki dan kotoran…”.

“…Apabila nafsumu mengajakmu melakukan dosa, ingatlah kematian, ingat mati mampu mengurangi keinginan maksiat, ingat mati mampu menambah ketaatan. Kalau kematian tidak bisa menjadi penasehat dan pengingatmu, maka kamu sebenarnya sudah mati, hanya jasadmu saja yang masih berjalan….”.

Sumber: Catatan Ustadz Saeif Alemdar

Nasihat Ayahnda dari Syeikh Mutawwali as-Sya’rawi


Syeikh Mutawwali as-Sya’rawi pernah menyebutkan yang Beliau mempelajari dari ayahnya dua perkara :

Pertama, ayahnya pernah menyebutkan kepada Beliau : 
“Jagalah dan peliharalah sifat tawaduhu' kerana rahsia-rahsia ilmu tidak akan diperolehi oleh orang-orang yang sombong.”.
.Kedua, Ayahnya pernah mengatakan : 
Ikatkanlah diri kamu dengan Allah selalu dan tidak takut selain Allah.” 
Semoga kita dapat manfaat daripadanya. Aminn

Monday, October 12, 2015

Hakikat Jalan Sufi Dari Syeikh Abu Hasan asy-Syadzili

Menurut Imam Asy-Syadzili, jalan tasawuf itu bukanlah jalan kerahiban, menyendiri di gua, meninggalkan tanggung jawab sosial, tampak miskin menderita, memakan makanan sisa, pakaian compang-camping semata-mata dan sebagainya. Tetapi, hakikat sebenarnya jalan sufi adalah jalan kesabaran dan keyakinan dalam petunjuk Ilahi.

Allah SWT berfirman, 
“Dan, Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar (dalam menegakkan kebenaran) dan mereka meyakini ayat-ayat Kami. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang memberikan keputusan di antara mereka pada hari Kiamat tentang apa yang selalu mereka perselisihkan padanya.” (QS As-Sajadah [32]: 24-25).

Imam Asy-Syadzili mengatakan, “Pelabuhan (tasawuf) ini sungguh mulia, padanya lima perkara, yakni: sabar, takwa, wara’, yakin dan makrifat. Sabar jika dia disakiti, takwa dengan tidak menyakiti, bersikap wara’ terhadap yang keluar masuk dari sini—beliau menunjuk ke mulutnya — dan pada hatinya, bahawa tidak menerobos masuk ke dalamnya selain apa yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, serta keyakinan terhadap rezeki (yang diberikan Allah) dan bermakrifat terhadap Al-Haqq, yang tidak akan hina seseorang bersamanya, kepada siapa pun dari makhluk.”

Allah SWT berfirman, 
“Bersabarlah (Hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah engkau bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah engkau bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS An-Nahl [16]: 127-128).

Imam Asy-Syadzili juga mengatakan, “Orang yang berakal adalah orang yang mengenal Allah, apa-apa yang Dia kehendaki atasnya dan apa yang berasal darinya secara syariat. Dan, hal yang Allah inginkan dari seorang hamba adalah empat perkara: adakalanya berupa nikmat atau ujian, ketaatan ataupun kemaksiatan.

Jika engkau berada dalam kenikmatan, maka Allah menuntutmu untuk bersyukur secara syariat. Jika Allah menghendaki cubaan bagimu, maka Dia menuntutmu untuk bersabar secara syariat. Jika Allah menghendaki ketaatan darimu, maka Allah menuntutmu untuk bersaksi atas anugerah dan taufik-Nya secara syariat. Dan, jika Dia menghendaki kemaksiatan dirimu, maka Allah menuntut dirimu untuk bertaubat dan kembali kepada-Nya dengan penyesalan mendalam secara syariat.

Siapa yang mengerti empat perkara ini datang dari Allah dan melakukan apa yang Allah cintai darinya secara syariat, maka dia adalah hamba yang sebenar-benarnya.

Rasulullah SAW bersabda, 
“Barangsiapa yang ketika diberi lalu dia bersyukur, jika ditimpa cubaan dia bersabar, jika dia menzalimi lalu meminta ampun dan jika dia dizalimi lalu memaafkan.” Kemudian Rasul terdiam... Para sahabat pun hairan dan bertanya, “Ada hal apa, wahai Rasulullah?” Kemudian Rasul saw pun menjawab, “Merekalah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Dalam ungkapan sebahagian dari mereka menyebutkan, “Tidak akan dianggap mudah melakukan itu, kecuali bagi seorang hamba yang memiliki CINTA. Dia tidak mencintai kecuali kerana Allah swt semata atau mencintai apa yang Allah perintahkan sebagai syariat agamanya.”

-Syekh Abu Hasan Asy-Syadzili dalam kitab Durrat Al-Asrar wa Tuhfat Al-Abrar karya Muhammad Ibn Abi Qasim Al-Humairi-

Sunday, October 11, 2015

Kemuliaan Wanita Tarim Hadramaut


Saudaraku yang kucintai, tahukah kita, kenapa wanita kota Tarim layak dibahas di sini? Adakah keistimewaan dari para wanita bumi para wali tersebut? Saudaraku, wanita di kota Tarim Hadlramaut sangat jauh berbeda dengan sebagian besar wanita-wanita muslimah di dunia, bahkan di wilayah lain di kota-kota yang juga di Hadlramaut pun sudah banyak yang pudar ketegasan syari’ahnya. Wanita-wanita Tarim itu terbiasa dari sejak kecil dibesarkan di lingkungan ulama’, obrolan siang malam mereka adalah obrolan majelis ilmu, al Qur’an, adab, akhlak, tasawwuf

Demikianlah mereka dibesarkan, mereka dibesarkan tidak kenal musik, tidak kenal kebiadaban, tidak kenal wajah orang fasiq, bahkan para wanitanya itu tidak pernah melihat lelaki selain ayahnya, saudara lelakinya, dan pamannya.

Saat seorang wanita Tarim menikah, ketika ditanya, apa sih kesannya saat awal berjumpa? Ia menjawab, “saya bingung, seumur hidup saya belum pernah melihat lelaki selain kakak kandung saya, lalu ini ada lelaki asing duduk di kamar saya”.

Demikianlah keadaan mereka, mereka tak pernah menyusahkan suaminya, demikian pula suami pada istrinya. Bila susu habis misalnya, atau beras, atau apa saja yang perlu dibeli, mereka tak berani bicara pada suaminya, karena takut suaminya sedang tidak ada uang, atau sedang sibuk, maka mereka taruhlah bungkus-bungkus kosong itu kira-kira di tempat yang sekiranya menyolok dan terlihat oleh suaminya.

Demikian pula suami, seluruh hajat pasar, sayur dan lainnya, suami yg belanja, istrinya boleh saja keluar ke pasar kaum wanita, misalnya belanja baju, atau barang barang khusus wanita, namun jika urusannya adalah dapur, sayur, beras, dll, itu adalah tugas suami atau pembantu.

Istri selalu membuat kamar tidur wangi, bila suaminya pulang maka pastilah kamar sudah ditata rapih dan sangat wangi, pakaian suami sudah pasti wangi, kamar mandi wangi, semua ditata serapi mungkin.

Istri tak pernah mengangkat suara pada suami, tak pernah marah, tak pernah cemberut, bila mereka kesal mereka menangis dan mengadu pada suaminya dengan lirih, itulah marah mereka.

Demikian pula suami, tak pernah marah pada istri, apalagi mencaci. Bila sudah sangat kesal atas sesuatu, suami tulis surat pada istri lalu pergi atau tidur, nanti istri menjawab pula, lalu suami menjawab pula, akhirnya keduanya tertawa bersama.

Indahnya kota Tarim dan indah pula akhlak penghuninya. Tiada kita jumpai, para wanitanya keluar rumah setiap saat di jalanan kota. Bila mereka ada hajat yang sangat penting, maka ada waktu khusus yang telah dimaklumkan oleh penduduk Tarim bagi para wanitanya, yakni selepas maghrib hingga selesainya jama’ah sholat Isya’. Kenapa? Karena disaat itulah para lelaki kota Tarim sedang berada di Masjid untuk berjama’ah Maghrib.

Masih banyak lagi keunikan dan seni budi pekerti Nabi Muhammad SAW dalam rumah tangga nabawiy yg sulit kita temukan di masa kini, seperti yang dipraktekkan penduduk Tarim.

Saudaraku, bukankah segala kebaikan dan suri tauladan dari Nabi SAW, adalah untuk ditiru dan di dakwahkan? Semoga kita bisa meneladani sifat-sifat Nabawiy seperti halnya yang telah dilakukan oleh para penduduk Tarim, aamiin.

Sumber: website Pondok Habib