ASY'ARIYYAH AW MATURUDIYYAH DALAM I'TIQOD | SALAH SATU DARIPADA EMPAT MADZHAB DALAM FIQIH | BERTARIQAT DALAM TASAWUF

Haul Habib Munzir al-Musawa di Masjid at-Taubah, Kalibata, 23 Agustus 2015

Syekh Ali Jabeer: "Alhamdulillah dapat bershilaturrahim hadir memenuhi undangan Acara Haul Habib Munzir Al-Musawa."

Haul Habib Munzir al-Musawa di Masjid at-Taubah, Kalibata, 23 Agustus 2015

Syekh Ali Jabeer: "Alhamdulillah dapat bershilaturrahim hadir memenuhi undangan Acara Haul Habib Munzir Al-Musawa."

Haul Habib Munzir al-Musawa di Masjid at-Taubah, Kalibata, 23 Agustus 2015

Syekh Ali Jabeer: "Banyak kebaikan Habib Munzir untuk umat dan persatuan umat. Semoga kita bisa melanjutkan perjuangan beliau dan menghidupkan Sunnah Rasulullah SAW"

Haul Habib Munzir al-Musawa di Masjid at-Taubah, Kalibata, 23 Agustus 2015

Syekh Ali Jabeer: "Banyak kebaikan Habib Munzir untuk umat dan persatuan umat. Semoga kita bisa melanjutkan perjuangan beliau dan menghidupkan Sunnah Rasulullah SAW"

muktamar tasawuf sedunia di Chechnya.

Habib Sholeh Aljufri bersama guru mulia Alhabib Umar bin Hafidz, Mufti Mesir Syiekh Shauki dan ulama2 dari Beirut, Syiria dll

Habib Ali alJufri dan Guru Beliu, Syeikh Maliki

Habib Ali al-Jufriy: "Ketika aku mendengar orang berbicara atas nama Islam dengan bahasa yang kasar dan caci-maki, aku bersyukur kepada Allah tidak memahami Islam lewat lisan mereka."

25yyTB_kiZg

Tuesday, October 27, 2015

Perbedaan Syari'ah Islamiyah dengan Fiqih Islamiyah


Membedakan pengertian antara Syariah Islamiyyah dengan Fiqh Islamy adalah suatu hal yang sangat krusial bagi kita, dimana sering terjadi perselisihan hanya karena masalah sepele yang seharusnya tidak perlu diributkan.

Syariah Islamiyyah adalah teks-teks suci yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad, baik Kitab maupun Sunnah, yang mana sunnah sendiri adalah terjemahan dan praktek dari Quran. Sedangkan Fiqih Islamy adalah hasil konklusi dari pemahaman para Ulama Fiqih atas teks-teks suci tadi.

Sebuah kesalahan ilmiah mencampuradukkan atau tidak membedakan antara Syariah dengan Fiqih. Karena Syariah itu “ma’shumah” alias “tidak bisa salah”, di dalamnya semua kebenaran yang harus kita imani, kita lakukan, dan di dalamnya semua kebaikan dan kemaslahatan kita di dunia dan akhirat.

Sedangkan Fiqih adalah hasil cipta karya para Ulama Fiqih yang berdasarkan pemahaman, kajian, dan telaahan mereka terhadap Syariah. Oleh karena itu, wajar kalau ada perbedaan pendapat di antara mereka dalam satu masalah yang sama, karena setinggi apapun derajat dan keilmuwan mereka, masih tetap saja mereka manusia yang bisa benar dan bisa keliru.

Hal ini tidak berarti kalau Fiqih itu tidak ada harganya dan tidak besar nilainya, bukan demikian, tetapi disini kita maksudkan bahwa Fiqih kita memiliki “qadasah” atau kesakralan sebagaimana yang dimiliki oleh Kitab dan Sunnah. Pada akhirnya Fiqih itu adalah hasil “perasan” pikiran Ulama Fiqih meskipun bersandarkan dan berdasarkan pada Kitab dan Sunnah, oleh karena itu sifatnya debatable, diantara merekapun saling berbeda pendapat, sesuai dengan pemahaman dan dalil yang mereka miliki.

Namun, ada satu poin penting yang harus diperjelas disini, bahwa Fiqih Islami itu memiliki dua jenis hukum:

Pertama: Hukum-hukum yang ditetapkan oleh teks-teks suci tadi secara “qat’i” dan gamblang, artinya ketika membaca teks tersebut jelas tanpa perlu penafsiran atau kajian lagi, seperti kewajiban shalat, kewajiban puasa, kewajiban zakat harta, kewajiban memenuhi janji, keharaman mencuri, keharaman berzina, keharaman nikah sejenis, dan lainnya yang disebut secara gamblang dalam teks-teks suci tadi, yaitu Kitab dan Sunnah Mutawatirah.

Kedua: Hukum-hukum yang didiamkan atau tidak dijelaskan secara gamblang serta multi-interpretasi oleh teks-teks suci tadi, namun dibuka pintu bagi Ulama-ulama untuk berijtihad, sehingga para Ulamapun berijtihad dan hasilnya berbeda-beda. Seperti, perbedaan dalam rukun shalat, apakah fatihah dimulai dari bismillah atau dari “Alhamdulillah…”, apakah niat puasa ramadhan wajib diucapkan setiap malam atau tidak, apakah boleh menghitung awal Ramadhan dan akhirnya dengan hisab falaki atau tidak, berapakan nishab barang curian sehingga seorang pencuri bisa dihukum “hudud”, dan lain sebagainya yang diperselisihkan Ulama Fiqih, bisa direfer ke buku-buku Fiqih komparatif di perpustakaan-perpustakaan Islam. (Al Madkhal Al Fiqhy Al Aam, Prof. Musthafa Zarqa. Rahimahullah).

Buku-buku yang mengkodifikasi Hukum-hukum Islam menghimpun kedua jenis hukum diatas. Ketika kita katakana “Perbedaan Syariah dengan Fiqih”, maka itu dimaksud hukum jenis kedua, dimana dia adalah hukum ijtihadi, yang disarikan oleh ulama-ulama fiqih dari qiyas, istihsan, istishlah serta qawaid fiqhiyyah dan lughawiyyah lainnya.

Jadi, perbedaan pendapat ulama fiqih dalam sebuah masalah merupakan khazanah dan kekayaan intelektual umat Islam yang harus dibanggakan dan dijaga, bukan diributkan atau malah jadi sumber perpecahan, sehingga ketika seorang yang meyakini kebenaran sebuah hukum ijtihadi berada pada pendapat Imam Hanafi, dengan serta merta menyalahkan bahkan menyesatkan pendapat Imam lain, itu tidak boleh.

Ikutlah kata Imam Abu Hanifah saat beliau berkata, “Kalau pendapat dan ijtihad saya bertentangan dengan kebenaran sebuah hadis, maka buang pendapat saya, dan amalkan hadis”. Ikutlah kata Iman Ahmad saat ditanya kenapa shalat dibelakang imam masjid bermazhab Maliki (ada perbedaan beberapa hal terkait membatalkan wudhu antara kedua mazhab itu) beliau berkata, “Bagaimana saya tidak shalat di belakang Imam Darul Hijrah Malik bin Anas!”. Ikutlah kata Imam Auza’i yang selama bertahun-tahun menyebut Imam Abu Hanifah ahli bid’ah (karena belum pernah bertemu dan belum kenal, cuma dengar kata orang) saat beliau berkata setelah membaca risalah Imam Abu Hanifah yang diberikan oleh Imam Ibnu Mubarak, “Ikutilah dia, tidak akan sesat orang yang mengikutinya”. Ikutilah para Imam besar itu saat mereka berkata, “Pendapat saya benar, tapi ada kemungkinan salah. Pendapat orang lain salah, tapi ada kemungkinan benar”.

Selevel Imam Abu Hanifah saja, tidak mampu meyakinkan Imam Imam Malik atas pendapatnya, sehingga tercatat perbedaan ijtihad mereka. Selevel Imam Malik tidak mampu meyakinkan Imam Syafii atas pendapatnya, sehingga tertulis indah perbedaan ijtihad mereka. Selevel Imam Syafii tidak mampu meyakinkan Imam Ahmad atas pendapatnya, sehingga tercatat perbedaan ijtihad mereka. Siapa kita untuk memaksakan pendapat yang kita yakini kepada orang lain? Siapa kita berani-beraninya mengakui hanya pendapat kita saja yang mewakili Syariah dan pendapat orang lain tidak?

Biarlah hukum-hukum ijtihadi itu seperti adanya, mari sama-sama kita jaga dan laksanakan apa yang telah kita sepakati, dan mari kita saling memahami, saling mengerti dan saling menghargai perbedaan yang belum kita sepakati….disinilah letak “Iktilaful Ummah Rahmah”.

Dialog Syeikh Abdullah al-Talidi dengan al-Bani

Syeikh Muuddin Marbu al Banjari bersama Syeikh Abdullah al Talidi.  

Ada sebuah kisah menarik yang terjadi saat pertemuan antara Syaikh Abdullah al-Talidi (Ulama Ahlussunnah wal Jama’ah) dengan Syaikh Nashiruddin al-Albani (Ulama Wahabi Salafi). Pada ketika itu, Syaikh Abdullah at Talidi sedang berjalan-jalan bersama kawan-kawan, lalu mereka bertemu dengan salah seorang murid al-Albani yang bernama Mahmud Mahdi al-Istanbuli. Maka Mahmud tersebut pun mengajak mereka untuk datang pada malam hari di rumahnya sebagai tamu. Kemudian ketika waktu yang ditetapkan sudah sampai, mereka pun masuk ke dalam rumah yang dimaksud. Ketika mereka duduk, maka masuklah al-Albani dan bersalaman dengan semua tetamu termasuk beliau. Maka al-Albani pula bertanya kepada beliau keadaan akidah para tamu yang hadir. Maka beliau pun menjawab bahwa mereka ini adalah orang awam.

Lalu Syaikh al-Albani pun memulakan pembicaraan tentang haramnya bertawassul pada zat seperti yang dijelaskan Ibn Taimiyyah di dalam kitab “Qaidah al-Tawassul wa al-Wasilah“. Maka Syaikh al-Talidi pula menjawab bahwa tawassul dengan zat yang utama adalah disyariatkan mengikut hadis al-Dlarir yang sahih lagi masyhur dan lain-lainnya. Dengan hadis itu, banyak ulama menghalalkannya, lalu al-Albani pula melarang dan perdebatan pun menjadi panjang.

Lalu masuklah pula pembahasan dengarnya para mayat akan ucapan orang yang masih hidup. Maka al-Albani meningkarinya secara mutlak sehinggakan dari Nabi Muhammad ﷺ pun tidak mendengarnya.

Lalu Syaikh al-Talidi pula menjawab dengan menggunakan hadis Anas RA yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim: “Sesungguhnya hamba ketika diletakkan di dalam kuburnya dan pengantarnya sama berpergian maka dia mendengar pergerakan selipar mereka”. Akan tetapi, al-Albani menolaknya dan mentakwilnya. Begitu juga dengan hadis Umar RA yang menceritakan ucapan Nabi Muhammad ﷺ bersama kuffar Quraisy yang mati di al-Qalib, maka al-Albani mentakwilnya juga.

Terakhir beliau mengeluarkan hadis menampakkan amal kepada Rasulullah ﷺ,”Hidupku lebih baik bagimu, kamu melakukan sesuatu dan kamu diberi keterangan hadis. Matiku juga lebih baik untukmu, amal perbuatanmu di tampakkan kepadaku. Apa yang aku lihat baik, aku memuji kepada Allah dan apa yang ku lihat buruk, aku mitna ampun kepada Allah untukmu” (riwayat al-Bazzar dan perawinya adalah Sahih seperti yang disebutkan di dalam Majma’ al-Zawaid, 9:24).

Maka al-Albani pun mendaifkannya lagi, lalu Syaikh al-Talidi berkata padanya bahwa hadis ini sahih dan telah disahihkan oleh banyak para Huffaz. Akan tetapi, al-Albani tetap berkeras bahwa ia adalah daif. Maka ketika beliau melihat bahwa al-Albani tidak insaf, maka beliau pun berpaling darinya dan diam serta tidak diulang lagi pertentangan.

Maka ketika selesai majlis, mereka pun beransur. Lalu sekarang Syaikh al-Talidi melihat bahwa ternyata al-Albani telah mensahihkan hadis menampakkan amal kepada Rasulullah ﷺ tersebut di dalam al-Silsilah al-Sahihah karangan al-Albani sendiri.

Saturday, October 24, 2015

Mendahulukan Taqwa daripada Jalan Keluar

Syeikh Mutawali asy-Sya'rawi dan Habib Umar bin Hafidz

Dikisahkan dan dipetik dari syarahan yang disampaikan oleh Sayyidil Habib Umar bin Hafidz, Mudir Darul Mustafa Hadhramaut Yaman

Dikisahkan pada suatu hari ada seorang lelaki yang bekerja di sebuah hotel yang biasa menyajikan arak dan menjual barang-barang syubhat bertemu dengan Syaikh Mutawali asy-Sya’rawi rahimahullah. 

Kemudian Syaikh asy-Sya’rawi menyuruh lelaki tadi untuk berhenti bekerja di hotel tersebut. Akan tetapi lelaki ini beralasan bahwa dia terpaksa bekerja di hotel itu kerna ingin menyara ahli keluarganya dan untuk membayar hutangnya.

Syaikh asy-Sya’rawi kemudian berkata, “Wahai anakku, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: 

وَمَن يَتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا – الطلاق:٢ 

Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah maka Allah akan menunjukan kepadanya jalan keluar dari kesusahan (Qur’an Surah Ath-Thalaq:2)”. Lalu Syaikh bertanya kepada lelaki itu, “Adakah Allah menyebut taqwa dahulu atau jalan keluar dahulu?”. “Allah menyebut taqwa dahulu,” jawab si lelaki itu. 

Syaikh pun berkata, “Jadi kenapa kamu mahu mencari jalan keluar dahulu sebelum taqwa? Kenapa duduk di tempat mungkar ini untuk mencari jalan keluar dahulu, kemudian baru bertaqwa? Kamu semestinya bertaqwa dahulu dan kemudian pasti Allah akan menunjukan kamu jalan keluar”. Setelah mendengarkan nasihat Syaikh asy-Sya’rawi maka lelaki ini pun setuju. Dia meninggalkan pekerjaannya dengan gajinya yang tinggi di hotel tersebut. 

Tak lama kemudian, ada seseorang datang bertemu dengan lelaki ini dan menawarkannya sebuah pekerjaan sebagai pengurus di hotel yang berada di Madinah Al Munawwarah berdekatan dengan makam Nabi Muhammad Rasulullah ﷺ. Pekerjaan barunya ini ternyata lebih baik dan hutang-hutangnya pun selesai dilunaskan disebabkan dia mahu mendengarkan nasihat Syaikh asy-Sya’rawi dulu, . “Yang mana lebih dahulu, taqwa atau jalan keluar?”. Utamakan taqwa dahulu dan Allah akan memberi jalan keluar. Apakah kamu hendak mencari jalan keluar sedang kamu dalam keadaan ingkar kepada Allah? Kegilaan apa ini? “Siapa yang bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan menunjukan jalan keluar”.

Tuesday, October 13, 2015

Nasehat al-Imam Asy-Syahid Dr. Muhammad Sa'id Romadlon Al Buthy Untuk Para Pecintanya

Al Imam Asy Syahid Dr. Muhammad Sa’id Romadlon Al Buthy adalah sosok ulama’ yang dicintai ummat. Kedalaman ilmunya, dan ketulusan setiap tuturnya, mampu mengobrak-abrik bongkahan karat dalam sanubari setiap pendengarnya. Kitab-kitab karyanya menjadi rujukan di dunia Islam. Maklum jika saat kepergiannya, mengundang duka bagi segenap pecintanya.

Robbi fanfa’naa bibarkatihim, wahdinal husna bihurmatihim, wa amitnaa fii thoriiqotihim, wamu’afatim minal fitani. Selamat Meraup Samudra Hikmah dari Nasehatnya… smile emotikon

—————

“…..Bangun subuh tepat waktu setiap hari, itu kalau tidak mampu bangun beberapa saat sebelum subuh, kita mulai hari kita dengan shalat subuh berjamaah di masjid terdekat, kemudian terus berusaha berzikir dan berdoa setelah shalat, kalau tidak ada kesibukan lanjutkan hal itu sampai matahari terbit…”.

“…Setiap kali mendengar adzan, apapun kegiatan kita, dimanapun kita berada, hendaknya segera menuju masjid terdekat dan melaksanakan shalat berjamaah. Sehari semalam cuma 5 kali, sebut saja setiap waktu shalat 10 menit, sehari semalam hanya 50 menit. 50 menit itu tidak akan mengganggu kesibukan dunia kita…”.

“…Sepanjang hari, kita berusaha untuk tidak melewati waktu dengan hal-hal negatif, usahakan melewatinya dengan hal-hal yang baik-baik. Kalau kamu pelajar, ya belajar yang tekun. Kalau kamu bekerja, bekerjalah dengan baik dan carilah rejeki yang halal…”.

“…Apabila malam tiba, ketika harus beristirahat, ingatlah bahwa bisa jadi ini tidur terakhirmu dan besok pagi kamu tidak akan bangun lagi. Maka hendaklah kita muhasabah diri, waktu-waktu yang telah kita lewati dengan maksiat, beristighfar, kalau memang ini tidur tidak akan bangun lagi, semoga hari-hari yang telah berlalu dengan dosa agar diampuni Allah, serta doakan juga saudara-saudara kita. Kemudian membaca surat al kafirun, muawwizatain, dan al ikhlas…”.

“…Apabila kita sedang bergelimang nikmat atau sedang ditimpa musibah, jangan pernah lupa bahwa hanya Allah yang mampu memberi, mencegah, memberi manfaat atau memberi madharat, hanya Allah yang berkuasa melakukan itu, manusia tidak akan mampu melakukan apapun kepadamu tanpa kekuasaan Allah. Sadari itu, dan gantungkan hatimu pada Allah, bersyukur atas nikmat dan bersabar atas cobaan dan Dialah tempat berkeluh kesah…”.

“…Apabila telah selesai melaksanakan shalat dan telah melakukan dzikir selepas shalat, jangan beranjak dulu dari atas sajadah sebelum mengangkat dua tanganmu dan berdoa pada Allah dengan segala kerendahan diri, curahkan seluruh keluh kesah dan beban duniamu pada-Nya, Dia Maha Mendegar. Ungkapkan syukurmu apabila seharian kamu bahagia dengan nikmat-Nya, ungkapkan keinginanmu, tumpahkan isi hatimu, kalau kamu bisa curhat pada manusia sampai kamu menangis, padahal manusia tidak bisa apa-apa, hanya bisa mendengar, maka sudah sewajarnya kamu curhat demikian pada-Nya, karena Dia tidak saja mendengar, tapi mampu memberikan solusi dan mewujudkan keinginanmu…”.

“…Apabila kamu sesak dengan perlakuan manusia, kamu merasa mereka membencimu, berusahalah jangan sampai kamu berada di posisi yang dibenci Allah, lebih baik bumi dan langit membencimu, tapi Allah mencintaimu, daripada seluruh bumi dan langit mencintaimu, tapi Allah murka padamu…”.

“…Apabila nafsumu mengajakmu mengghibahi saudaramu, membicarakan kejelekan saudaramu, ingatlah bahwa kamu juga punya kejelekan dan aib, hanya saja Allah masih menutupnya, kapan saja kalau Allah membuka aibmu, kamu bisa jadi pembicaraan manusia siang malam. Kalau kamu ingat itu, pasti kamu akan malu di depan Allah…”.

“…Berusahalah untuk menjaga kebersihan hatimu, jauhkan dia dari iri, dengki, dan penyakit hati lainnya. Jadikan modalmu menghadap Allah kelak adalah hati yang bersih, qalbun salim. Sedikit amal ibadah, mungkin bisa membantumu kelak selama hatimu bersih. Tapi ibadah yang banyak tidak ada gunanya apabila kelak kamu menghadap-Nya dengan hati penuh dendam, kebencian, dengki dan kotoran…”.

“…Apabila nafsumu mengajakmu melakukan dosa, ingatlah kematian, ingat mati mampu mengurangi keinginan maksiat, ingat mati mampu menambah ketaatan. Kalau kematian tidak bisa menjadi penasehat dan pengingatmu, maka kamu sebenarnya sudah mati, hanya jasadmu saja yang masih berjalan….”.

Sumber: Catatan Ustadz Saeif Alemdar

Nasihat Ayahnda dari Syeikh Mutawwali as-Sya’rawi


Syeikh Mutawwali as-Sya’rawi pernah menyebutkan yang Beliau mempelajari dari ayahnya dua perkara :

Pertama, ayahnya pernah menyebutkan kepada Beliau : 
“Jagalah dan peliharalah sifat tawaduhu' kerana rahsia-rahsia ilmu tidak akan diperolehi oleh orang-orang yang sombong.”.
.Kedua, Ayahnya pernah mengatakan : 
Ikatkanlah diri kamu dengan Allah selalu dan tidak takut selain Allah.” 
Semoga kita dapat manfaat daripadanya. Aminn

Monday, October 12, 2015

Hakikat Jalan Sufi Dari Syeikh Abu Hasan asy-Syadzili

Menurut Imam Asy-Syadzili, jalan tasawuf itu bukanlah jalan kerahiban, menyendiri di gua, meninggalkan tanggung jawab sosial, tampak miskin menderita, memakan makanan sisa, pakaian compang-camping semata-mata dan sebagainya. Tetapi, hakikat sebenarnya jalan sufi adalah jalan kesabaran dan keyakinan dalam petunjuk Ilahi.

Allah SWT berfirman, 
“Dan, Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar (dalam menegakkan kebenaran) dan mereka meyakini ayat-ayat Kami. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang memberikan keputusan di antara mereka pada hari Kiamat tentang apa yang selalu mereka perselisihkan padanya.” (QS As-Sajadah [32]: 24-25).

Imam Asy-Syadzili mengatakan, “Pelabuhan (tasawuf) ini sungguh mulia, padanya lima perkara, yakni: sabar, takwa, wara’, yakin dan makrifat. Sabar jika dia disakiti, takwa dengan tidak menyakiti, bersikap wara’ terhadap yang keluar masuk dari sini—beliau menunjuk ke mulutnya — dan pada hatinya, bahawa tidak menerobos masuk ke dalamnya selain apa yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, serta keyakinan terhadap rezeki (yang diberikan Allah) dan bermakrifat terhadap Al-Haqq, yang tidak akan hina seseorang bersamanya, kepada siapa pun dari makhluk.”

Allah SWT berfirman, 
“Bersabarlah (Hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah engkau bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah engkau bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS An-Nahl [16]: 127-128).

Imam Asy-Syadzili juga mengatakan, “Orang yang berakal adalah orang yang mengenal Allah, apa-apa yang Dia kehendaki atasnya dan apa yang berasal darinya secara syariat. Dan, hal yang Allah inginkan dari seorang hamba adalah empat perkara: adakalanya berupa nikmat atau ujian, ketaatan ataupun kemaksiatan.

Jika engkau berada dalam kenikmatan, maka Allah menuntutmu untuk bersyukur secara syariat. Jika Allah menghendaki cubaan bagimu, maka Dia menuntutmu untuk bersabar secara syariat. Jika Allah menghendaki ketaatan darimu, maka Allah menuntutmu untuk bersaksi atas anugerah dan taufik-Nya secara syariat. Dan, jika Dia menghendaki kemaksiatan dirimu, maka Allah menuntut dirimu untuk bertaubat dan kembali kepada-Nya dengan penyesalan mendalam secara syariat.

Siapa yang mengerti empat perkara ini datang dari Allah dan melakukan apa yang Allah cintai darinya secara syariat, maka dia adalah hamba yang sebenar-benarnya.

Rasulullah SAW bersabda, 
“Barangsiapa yang ketika diberi lalu dia bersyukur, jika ditimpa cubaan dia bersabar, jika dia menzalimi lalu meminta ampun dan jika dia dizalimi lalu memaafkan.” Kemudian Rasul terdiam... Para sahabat pun hairan dan bertanya, “Ada hal apa, wahai Rasulullah?” Kemudian Rasul saw pun menjawab, “Merekalah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Dalam ungkapan sebahagian dari mereka menyebutkan, “Tidak akan dianggap mudah melakukan itu, kecuali bagi seorang hamba yang memiliki CINTA. Dia tidak mencintai kecuali kerana Allah swt semata atau mencintai apa yang Allah perintahkan sebagai syariat agamanya.”

-Syekh Abu Hasan Asy-Syadzili dalam kitab Durrat Al-Asrar wa Tuhfat Al-Abrar karya Muhammad Ibn Abi Qasim Al-Humairi-

Sunday, October 11, 2015

Kemuliaan Wanita Tarim Hadramaut


Saudaraku yang kucintai, tahukah kita, kenapa wanita kota Tarim layak dibahas di sini? Adakah keistimewaan dari para wanita bumi para wali tersebut? Saudaraku, wanita di kota Tarim Hadlramaut sangat jauh berbeda dengan sebagian besar wanita-wanita muslimah di dunia, bahkan di wilayah lain di kota-kota yang juga di Hadlramaut pun sudah banyak yang pudar ketegasan syari’ahnya. Wanita-wanita Tarim itu terbiasa dari sejak kecil dibesarkan di lingkungan ulama’, obrolan siang malam mereka adalah obrolan majelis ilmu, al Qur’an, adab, akhlak, tasawwuf

Demikianlah mereka dibesarkan, mereka dibesarkan tidak kenal musik, tidak kenal kebiadaban, tidak kenal wajah orang fasiq, bahkan para wanitanya itu tidak pernah melihat lelaki selain ayahnya, saudara lelakinya, dan pamannya.

Saat seorang wanita Tarim menikah, ketika ditanya, apa sih kesannya saat awal berjumpa? Ia menjawab, “saya bingung, seumur hidup saya belum pernah melihat lelaki selain kakak kandung saya, lalu ini ada lelaki asing duduk di kamar saya”.

Demikianlah keadaan mereka, mereka tak pernah menyusahkan suaminya, demikian pula suami pada istrinya. Bila susu habis misalnya, atau beras, atau apa saja yang perlu dibeli, mereka tak berani bicara pada suaminya, karena takut suaminya sedang tidak ada uang, atau sedang sibuk, maka mereka taruhlah bungkus-bungkus kosong itu kira-kira di tempat yang sekiranya menyolok dan terlihat oleh suaminya.

Demikian pula suami, seluruh hajat pasar, sayur dan lainnya, suami yg belanja, istrinya boleh saja keluar ke pasar kaum wanita, misalnya belanja baju, atau barang barang khusus wanita, namun jika urusannya adalah dapur, sayur, beras, dll, itu adalah tugas suami atau pembantu.

Istri selalu membuat kamar tidur wangi, bila suaminya pulang maka pastilah kamar sudah ditata rapih dan sangat wangi, pakaian suami sudah pasti wangi, kamar mandi wangi, semua ditata serapi mungkin.

Istri tak pernah mengangkat suara pada suami, tak pernah marah, tak pernah cemberut, bila mereka kesal mereka menangis dan mengadu pada suaminya dengan lirih, itulah marah mereka.

Demikian pula suami, tak pernah marah pada istri, apalagi mencaci. Bila sudah sangat kesal atas sesuatu, suami tulis surat pada istri lalu pergi atau tidur, nanti istri menjawab pula, lalu suami menjawab pula, akhirnya keduanya tertawa bersama.

Indahnya kota Tarim dan indah pula akhlak penghuninya. Tiada kita jumpai, para wanitanya keluar rumah setiap saat di jalanan kota. Bila mereka ada hajat yang sangat penting, maka ada waktu khusus yang telah dimaklumkan oleh penduduk Tarim bagi para wanitanya, yakni selepas maghrib hingga selesainya jama’ah sholat Isya’. Kenapa? Karena disaat itulah para lelaki kota Tarim sedang berada di Masjid untuk berjama’ah Maghrib.

Masih banyak lagi keunikan dan seni budi pekerti Nabi Muhammad SAW dalam rumah tangga nabawiy yg sulit kita temukan di masa kini, seperti yang dipraktekkan penduduk Tarim.

Saudaraku, bukankah segala kebaikan dan suri tauladan dari Nabi SAW, adalah untuk ditiru dan di dakwahkan? Semoga kita bisa meneladani sifat-sifat Nabawiy seperti halnya yang telah dilakukan oleh para penduduk Tarim, aamiin.

Sumber: website Pondok Habib

Saturday, October 10, 2015

Nasihat Khalifah Harun al-Rasyid

gambar: ilustrasi

Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya al-Bidayah wa al-Nihayah (10/217) bercerita tentang pemuda yang mendatangi khalifah Harun al-Rasyid yang ketika itu sedang berthawaf di masjidil-haram dan memarahinya dengan suara yang keras.

Mungkin ada salah satu kebijakan khalifah Harun al-Rasyid yang merugikan dia beserta kaumnya atau ada kesalahan lain yang dilakukan oleh Harun al-Rasyid yang ketika itu memang menjabat sebagai Amirul-Mukminin.

Tapi dengan tenang Harun al-Rasyid menjawab luapan amarah pamuda tersebut setelah membuatnya tenang dan tidak marah lagi:
قَدْ بَعَثَ الله مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ إِلَى مَنْ هُوَ شَرٌّ مِنِّي فَأَمَرَهُ أَنْ يَقُولَ لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا
“Allah swt telah mengutus orang yang jauh lebih baik dari anda untuk memberi peringatan kepada orang yang jauh lebih buruk dari saya. Dan Allah memerintahkan orang tersebut untuk berkata ramah dan santun.”
Maksud kata-kata khalifah tersebtu ialah bahwa Allah swt telah mengutus Nabi Musa dan Nabi Harun dan mereka tentu jauh lebih baik dari anak muda itu, untuk memberi peringatan kepada Fir’aun yang mana jauh lebih buruk daripada Harun al-Rasyid. Dan Allah swt tetap memerintahkan Nabi Musa dan Nabi Harun untuk berkata yang santun.

اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى (43) فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى

“Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, Sesungguhnya Dia telah melampaui batas; Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut". (Thaaha: 44)

sumber: Ahmad Zarkasih, Lc

Friday, October 9, 2015

Jawaban Habib Umar bin Hafidz tentang Ziarah Maqam Auliya


Ada yang bertanya:
 “Kenapa ziarah maqam Auliya’? Sedangkan mereka tiada memberi kuasa apa-apa dan tempat meminta hanya pada Allah!”

Al-Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz (Sumber lain mengatakan: Walid Al-Malik Trengganu) menjawab:

“Benar wahai saudaraku aku juga sama pegangan denganmu bahwa mereka tiada mempunyai kekuasaan apa-apa.

Tetapi sedikit perbedaan aku dengan dirimu, karena aku lebih senang menziarahi mereka karena bagiku mereka tetap hidup dalam membangkitkan jiwa yang mati ini kepada cinta Tuhan.

Tapi aku juga heran, kenapa engkau tiada melarang aku menziarahi ahli dunia, mereka juga tiada kuasa apa-apa. Malah mematikan hati. Yang hidupnya mereka bagiku seperti mayat yang berjalan. Kediaman mereka adalah pusara yang tiada membangkitkan jiwa pada cinta Tuhan.

Kematian dan kehidupan di sisi Allah adalah jiwa. Banyak mereka yang dilihat hidup tapi sebenarnya mati, banyak mereka yang dilihat mati tapi sebenarnya hidup, banyak yang menziarahi pusara terdiri dari orang yang mati sedangkan dalam pusara itulah orang yang hidup.

Aku lebih senang menziarahi maqam kekasih Allah dan para syuhada walaupun hanya pusara, tetapi ia mengingatkan aku akan kematian kerena ia mengingatkan aku bahwa hidup adalah perjuangan. Karena aku dapat melihat jiwa mereka ada kuasa cinta yang hebat sehingga mereka dicintai oleh Tuhan lantaran kebenarannya cinta.

Wahai saudarakuku ziarah maqam auliya’, karena pada maqam mereka ada cinta, lantaran cinta Allah pada mereka seluruh tempat persemadian mereka dicintai Allah.

Cinta tiada mengalami kematian, ia tetap hidup dan terus hidup dan akan melimpah kepada para pencintanya. Aku berziarah karena sebuah cinta mengambil semangat mereka agar aku dapat mengikuti mereka dalam mujahadahku, mengangkat tangan di sisi maqam mereka bukan meminta kuasa dari mereka, akan tetapi memohon kepada Allah agar aku juga dicintai Allah sebagaimana mereka dicintai Allah.”

Thursday, October 8, 2015

Pemahaman Ulama tentang Bid'ah

A. BID’AH TERBAGI DUA BAGIAN
  1. Al-Imam Al-Syafi’i
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris Al-Syafi’i - mujtahid besar dan pendiri madzhab Syafi’i yang diikuti oleh mayoritas Ahlussunnah wal Jama’ah di dunia Islam, berkata:
الْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ : أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ ِممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا ، فهَذِهِ اْلبِدْعَةُ الضَّلاَلـَةُ، وَالثَّانِيَةُ : مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ (رواه الحافظ البيهقيّ في كتاب " مناقب الشافعيّ)
“Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua: Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i, j. 1, h. 469).
Dalam riwayat lain al-Imam asy-Syafi’i berkata:
اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّـنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ
“Bid’ah ada dua macam: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan Sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang menyalahi Sunnah adalah bid’ah tercela”. (Dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari Syarah Shahih Bukhari)
Pembagian bid’ah menjadi dua oleh Imam Syafi'i ini disepakati oleh para ulama setelahnya dari seluruh kalangan ahli fikih empat madzhab, para ahli hadits, dan para ulama dari berbagai disiplin ilmu. Di antara mereka adalah para ulama terkemuka, seperti al-‘Izz ibn Abd as-Salam, Imam an-Nawawi, Ibn ‘Arafah, al-Haththab al-Maliki, Ibn ‘Abidin dan lain-lain. Dari kalangan ahli hadits di antaranya Ibn al-'Arabi al-Maliki, Ibn al-Atsir, al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafzih as-Sakhawi, al-Hafzih as-Suyuthi dan lain-lain. Termasuk dari kalangan ahli bahasa sendiri, seperti al-Fayyumi, al-Fairuzabadi, az-Zabidi dan lainnya.
     2. Al-Imam al-Hafizh Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi
Ketika mengomentara pendapat al-Imam asy-Syafi’i, al-Qurthubi berkata: “Menanggapi ucapan ini (ucapan asy-Syafi’i tentang pembagian bid’ah), saya katakan bahwa makna Hadits Nabi SAW yang berbunyi ‘Seburuk-buruk perkara adalah hal yg baru, semua hal yang baru adalah Bid’ah, dan semua Bid’ah adalah sesat’ bermaksud hal-hal yang tidak sejalan dengan al-Qur’an, Sunnah Rasul SAW dan perbuatan Sahabat Rasul.
Sesungguhnya hal ini telah diperjelas oleh Hadits lainnya, yaitu “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yg mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya.”. Hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai terbaginya Bid’ah pada Bid’ah yang baik dan Bid’ah yang sesat”.[ Tafsir al-Imam al-Qurthubi, II : 87.]
      3. Al-Imam Ibn Abdilbarr
Al-Imam Abu Umar Yusuf bin Abdilbarr Al-Namiri Al-Andalusi, hafizh dan faqih bermadzhab Maliki. Beliau membagi bid’ah menjadi dua. Hal ini dapat kita lihat dengan memperhatikan pernyataan beliau:

وَأَماَّ قَوْلُ عُمَرَ نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ فِيْ لِسَانِ الْعَرَبِ اِخْتِرَاعُ مَا لَمْ يَكُنْ وَابْتِدَاؤُهُ فَمَا كَانَ مِنْ ذَلِكَ فِي الدِّيْنِ خِلاَفاً لِلسُّنَّةِ الَّتِيْ مَضَى عَلَيْهَا الْعَمَلُ فَتِلْكَ بِدْعَةٌ لاَ خَيْرَ فِيْهَا وَوَاجِبٌ ذَمُّهَا وَالنَّهْيُ عَنْهَا وَاْلأَمْرُ بِاجْتِنَابِهَا وَهِجْرَانُ مُبْتَدِعِهَا إِذَا تَبَيَّنَ لَهُ سُوْءُ مَذْهَبِهِ وَمَا كَانَ مِنْ بِدْعَةٍ لاَ تُخَالِفُ أَصْلَ الشَّرِيْعَةِ وَالسُّنَّةِ فَتِلْكَ نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ

“Adapun perkataan Umar, sebaik-baik bid’ah, maka bid’ah dalam bahasa Arab adalah menciptakan dan memulai sesuatu yang belum pernah ada. Maka apabila bid’ah tersebut dalam agama menyalahi sunnah yang telah berlaku, maka itu bid’ah yang tidak baik, wajib mencela dan melarangnya, menyuruh menjauhinya dan meninggalkan pelakunya apabila telah jelas keburukan alirannya. Sedangkan bid’ah yang tidak menyalahi dasar syariat dan sunnah, maka itu sebaik-baik bid’ah.” (Al-Istidzkar, 5/152).
     4. Al-Imam Al-Nawawi
Al-Imam Al-Nawawi juga membagi bid’ah pada dua bagian. Ketika membicarakan masalah bid’ah, dalam kitabnya Tahdzib Al-Asma’ wa al-Lughat (3/22), beliau mengatakan:
هِيَ أَيِ الْبِدْعَةُ مُنْقَسِمَةٌ إِلَى حَسَنَةٍ وَقَبِيْحَةٍ

“Bid’ah terbagi menjadi dua, bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah qabihah (buruk)”.
       5. Al-Hafizh Ibn Al-Atsir Al-Jazari
Al-Imam Al-Hafizh Ibn Al-Atsir Al-Jazari, pakar hadits dan bahasa, juga membagi bid’ah menjadi dua bagian; bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah sayyi’ah (buruk). Dalam kitabnya, Al-Nihayah fi Gharib Al-Hadits wa Al-Atsar, beliau mengatakan:
الْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ بِدْعَةُ هُدًى وَبِدْعَةُ ضَلاَلٍ فَمَا كَانَ فِيْ خِلاَفِ مَا أَمَرَ اللهُ بِهِ وَرَسُوْلِهِ فَهُوَ مِنْ حَيْزِ الذَّمِّ وَاْلإِنْكَارِ وَمَا كَانَ وَاقِعًا تَحْتَ عُمُوْمٍ مِمَّا نَدَبَ اللهُ إِلَيْهِ وَحَضَّ عَلَيْهِ اللهُ وَرَسُوْلُهُ فَهُوَ فِيْ حَيْزِ الْمَدْحِ وَمَا لَمْ يَكُنْ لَهُ مِثَالٌ مَوْجُوْدٌ كَنَوْعٍ مِنَ الْجُوْدِ وَالسَّخَاءِ وَفِعْلِ الْمَعْرُوْفِ فَهُوَ فِي اْلأَفْعَالِ الْمَحْمُوْدَةِ وَلاَ يَجُوْزُ أَنْ يَكُوْنَ ذَلِكَ فِيْ خِلاَفِ مَا وَرَدَ الشَّرْعُ بِهِ 
“Bid’ah ada dua macam; bid’ah huda (sesuai petunjuk agama) dan bid’ah dhalal (sesat). Maka bid’ah yang menyalahi perintah Allah dan Rasulullah, tergolong bid’ah tercela dan ditolak. Dan bid’ah yang berada di bawah naungan keumuman perintah Allah dan dorongan Allah dan Rasul-Nya, maka tergolong bid’ah terpuji. Sedangkan bid’ah yang belum pernah memiliki kesamaan seperti semacam kedermawanan dan berbuat kebajikan, maka tergolong perbuatan yang terpuji dan tidak mungkin hal tersebut menyalahi syara’.”
      6. Al-Hafizh Ibn Al-‘Arabi Al-Maliki
Al-Imam Al-Qadhi Abu Bakar Ibn Al-‘Arabi Al-Maliki, seorang hafizh, mufassir dan faqihmadzhab Maliki, juga membagi bid’ah menjadi dua bagian. Dalam kitabnya ‘Aridhat Al-Ahwadzi Syarh Jami’ Al-Tirmidzi, X : 146-147., beliau berkata:
“Ketahuilah bahawa Bid‘ah (al-muhdatsah) itu ada dua macam: Pertama, setiap perkara baru yang diadakan yang tidak memiliki landasan agama, melainkan mengikut hawa nafsu sesuka hati, ini adalah Bid’ah yang sesat. Kedua, perkara baru yang diadakan namun sejalan dengan apa yang sudah disepakati, seperti yang dilakukan oleh para Khulafa’urrasyidin dan para Imam besar, maka hal tersebut bukanlah bid‘ah yang keji dan tercela. Ketahuilah, sesuatu itu tidak dihukumi bid’ah hanya karena ia baru. Allah SWT berfirman:

مَا يَأْتِيْهِمْ مِنْ ذِكْرٍ مِنْ رَبِّهِمْ مُحْدَثٍ إِلاَّ اسْتَمَعُوْهُ وَهُمْ يَلْعَبُوْنَ

“Tidak datang kepada mereka suatu ayat al-Qur`an pun yang baru (muhdats) dari Tuhan mereka, melainkan mereka men-dengarnya, sedang mereka bermain-main” (QS. al-Anbiya`: 2). 
Dan perkataan Sayyidina `Umar RA: “Alangkah bagusnya bid‘ah ini!” Kesimpulannya, Bid‘ah tercela hanyalah perkara baru yang bertentangan dengan Sunnah, atau perkara baru yang diadakan dan membawa kita pada kesesatan.”
    7.  Hujjatul-Islam al-Imam al-Ghazali
Ketika mengulas masalah penambahan ‘titik’ pada huruf ayat-ayat al-Qur’an, al-Imam al-Ghazali berkata: “Hakikat bahwa ia adalah perkara baru yang diadakan tidaklah menghalanginya untuk dilakukan. Banyak sekali perkara baru yang terpuji, seperti sembahyang Terawih secara berjama’ah, ia adalah “Bid‘ah” yang dilakukan oleh Sayyidina`Umar RA, tetapi dipandang sebagai Bid’ah yang baik (Bid‘ah Hasanah). Adapun Bid’ah yang dilarang dan tercela, ialah segala hal baru yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah SAW atau yang bisa merubah Sunnah itu. [Al-Ghazzali, Ihya’ `Ulumiddin, I : 276.]
     8.   Al-Imam Al-‘Aini
Al-Imam Badruddin Mahmud bin Ahmad Al-‘Aini, hafizh dan faqih bermadzhab Hanafi membagi bid’ah menjadi dua bagian. Beliau mengatakan:
وَالْبِدْعَةُ فِي اْلأَصْلِ إِحْدَاثُ أَمْرٍ لَمْ يَكُنْ فِيْ زَمَنِ رَسُوْلِ اللهِ ثُمَّ الْبِدْعَةُ عَلَى نَوْعَيْنِ إِنْ كَانَتْ مِمَّا يَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِي الشَّرْعِ فَهِيَ بِدْعَةٌ حَسَنَةٌ وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا يَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِي الشَّرْعِ فَهِيَ بِدْعَةٌ مُسْتَقْبَحَةٌ
“Bid’ah pada mulanya adalah mengerjakan sesuatu yang belum pernah ada pada masa Rasulullah. Kemudian bid’ah itu ada dua macam. Apabila masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap baik oleh syara’, maka disebut bid’ah hasanah. Dan apabila masuk di bawah naungan sesuatu yang dianggap buruk oleh syara’, maka disebut bid’ah tercela.” (‘Umdat Al-Qari, 11/126).
      9.  ar-Rabi`
ar-Rabi`juga meriwayatkan dari al-Imam asy-Shafi`i bahwa beliau berkata: “Perkara baharu yang diada-adakan itu ada dua macam: Pertama, perkara baru yang bertentangan dengan al-Qur’an, Sunnah, atsar Sahabat atau ijma’ ulama’, maka bid‘ah itu adalah sesat (fa hadhihil-bid‘atu dalalatun). Kedua, perkara baru yang diadakan dari segala kebaikan (ma uhditsa min al-khair) yang tidak bertentangan dengan hal yang disebutkan, yang ini bukan bid‘ah dicela (wa hadhihi muhdatsatun ghairu madzmumah).[ Diriwayatkan dari al-Rabi` oleh al-Bayhaqi didalam al-Madkhal dan Manaqib asy-Syafi`I, I : 469 dengan sanad shahih dan dishahihkan juga oleh Ibnu Taimiyyah dalam Dar’u Ta`arud al-`Aqli wan-Naqli, hal. 171 dan melalui al-Baihaqi oleh Ibn `Asakir dalam Tabyin Kadzib al-Muftari, hal. 97. Dinukilkan oleh adz-Dzahabi dalam Siyar, VIII : 408, Ibnu Rajab dalam Jami` al-`Ulum wal-Hikam, II : 52-53, Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari, XIII : 253.]
  10.   Ibnu Hazm az-Zahiri
Ibn Hazm al-Zahiri berkata: “Bid‘ah dalam agama adalah segala hal yang datang pada kita dan tidak disebutkan didalam al-Qur’an atau Hadits Rasulullah SAW. Ia adalah perkara yang sebagiannya memiliki nilai pahala, sebagaimana yang diriwayatkan dari Sayyidina`Umar RA: “Alangkah baiknya bid‘ah ini!.” Ia merujuk pada semua amalan baik yang dinyatakan oleh nash (al-Qur’an dan Hadits) secara umum, walaupun amalan tersebut tidak ddijelaskan dalam nas secara khusus. Namun, Di antara hal yang baru, ada yang dicela dan tidak dibolehkan apabila ada dalil-dalil yang melarangnya. [Ibnu Hazm, al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, I : 47.]

B. BID’AH TERBAGI LIMA BAGIAN
  1. Al-Imam Izzuddin bin Abdissalam
Bahkan Al-Imam Izzuddin bin Abdissalam membagi bid’ah menjadi lima bagian. Dalam pandangan beliau bid’ah itu terbagi menjadi lima bagian; bid’ah wajibah, bid’ah mandubah (sunnat), bid’ah mubahah, bid’ah makruhah dan bid’ah muharramah (haram). Dalam hal ini beliau mengatakan:
اْلبِدْعَةُ فِعْلُ مَا لَمْ يُعْهَدْ فِيْ عَصْرِ رَسُوْلِ الله وَهِيَ مُنْقَسِمَةٌ إِلَى: بِدْعَةٍ وَاجِبَةٍ، وَبِدْعَةٍ مُحَرَّمَةٍ، وَبِدْعَةٍ مَنْدُوْبَةٍ، وَبِدْعَةٍ مَكْرُوْهَةٍ، وَبِدْعَةٍ مُبَاحَةٍ، وَالطَّرِيْقُ فِيْ مَعْرِفَةِ ذَلِكَ أَنْ تُعْرَضَ الْبِدْعَةُ عَلَى قَوَاعِدِ الشَّرِيْعَةِ: فَإِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاعِدِ اْلإِيْجَابِ فَهِيَ وَاجِبَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاعِدِ التَّحْرِيْمِ فَهِيَ مُحَرَّمَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاعِدِ الْمَنْدُوْبِ فَهِيَ مَنْدُوْبَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاِعِد الْمُبَاحِ فَهِيَ مُبَاحَةٌ. وَلِلْبِدَعِ الْوَاجِبَةِ أَمْثِلَةٌ:
أَحَدُهَا: اْلاِشْتِغَالُ بِعِلْمِ النَّحْوِ الَّذِيْ يُفْهَمُ بِهِ كَلاَمُ اللهِ وَكَلاَمُ رَسُوْلِهِ وَذَلِكَ وَاجِبٌ لأَنَّ حِفْظَ الشَّرِيْعَةِ وَاجِبٌ وَلاَ يَتَأَتَّى حِفْظُهَا إِلاَّ بِمَعْرِفَةِ ذَلِكَ، وَمَالاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ.
الْمِثالُ الثاَّنِيْ: الْكَلاَمُ فِيْ الْجَرْحِ وَالتَّعْدِيْل لِتَمْيِيْزِ الصَّحِيْحِ مِنَ السَّقِيْمِ.
وَلِلْبِدَعِ الْمُحَرَّمَةِ أَمْثِلَةٌ: مِنْهَا مَذْهَبُ الْقَدَرِيَّةِ، وَمِنْهَا مَذْهَبُ الْجَبَرِيَّةِ، وَمِنْهَا مَذْهَبُ الْمُرْجِئَةِ، وَمِنْهَا مَذْهَبُ الْمُجَسِّمَةِ. وَالرَّدُّ عَلىَ هَؤُلاَءِ مِنْ البِدَعِ الوَاجِبَةِ.
وَلِلْبِدَعِ الْمَنْدُوْبَةِ أَمْثِلَةٌ: مِنْهَا: إِحْدَاثُ الْمَدَارِسِ وَبِنَاءُ الْقَنَاطِرِ، وَمِنْهَا كُلُّ إِحْسَانٍ لَمْ يُعْهَدْ فِي الْعَصْرِ اْلأَوَّلِ، وَمِنْهَا صَلاَةُ التَّرَاوِيْحِ..
وَلِلْبِدَعِ الْمَكْرُوْهَةِ أَمْثِلَةٌ: مِنْهَا زَخْرَفَةُ الْمَسَاجِدِ، وَمِنْهَا تَزْوِيْقُ الْمَصَاحِفِ.
وَلِلْبِدَعِ الْمُبَاحَةِ أَمْثِلَةٌ: مِنْهَا التَّوَسُّعُ فِي اللَّذِيْذِ مِنَ الْمَآكِلِ وَالْمَشَارِبِ وَالْمَلاَبِسِ وَالْمَسَاكِنِ، وَلُبْسِ الطَّيَالِسَةِ، وَتَوْسِيْعِ اْلأَكْمَامَ.."أ. هـ

“Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah . Bid’ah terbagi menjadi lima; bid’ah wajibah, bid’ah muharramah, bid’ah mandubah, bid’ah makruhah dan bid’ah mubahah. Dan jalan untuk mengetahui hal itu adalah dengan membandingkan bid’ah pada kaedah-kaedah syariat. Apabila bid’ah itu masuk pada kaedah wajib, maka menjadi bid’ah wajibah. Apabila masuk pada kaedah haram, maka bid’ah muharramah. Apabila masuk pada kaedah sunat, maka bid’ah mandubah. Dan apabila masuk pada kaedah mubah, maka bid’ah mubahah.
  • Bid’ah wajibah memiliki banyak contoh. Salah satunya adalah menekuni ilmu nahwu sebagai sarana memahami Al-Quran dan Sunnah Rasulullah . Hal ini hukumnya wajib, karena menjaga syariat itu wajib dan tidak mungkin dapat menjaganya tanpa mengetahui ilmu nahwu. Sedangkan sesuatu yang menjadi sebab terlaksananya perkara wajib, maka hukumnya wajib. Kedua, berbicara dalam jarh dan ta’dil untuk membedakan hadits yang shahih dan yang lemah.
  • Bid’ah muharramah memiliki banyak contoh, di antaranya bid’ah ajaran orang-orang Qadariyah, Jabariyah, Murji’ah dan Mujassimah. Sedangkan menolak terhadap bid’ah-bid’ah tersebut termasuk hukumnya wajib.
  • Bid’ah mandubah memiliki banyak contoh, di antaranya mendirikan sekolah-sekolah dan setiap kebaikan yang pernah dikenal pada abad pertama, dan di antaranya shalat tarawih.
  • Bid’ah makruhah memiliki banyak contoh, di antaranya memperindah bangunan masjid dan menghiasi mushhaf Al-Quran.
  • Bid’ah mubahah memiliki banyak contoh, di antaranya menjamah makanan dan minuman yang lezat-lezat, pakaian yang indah, tempat tinggal yang mewah, memakai baju kebesaran dan lain-lain.” (Qawa’id Al-Ahkam fi Mashalih Al-Anam, 2/133)
Pandangan Al-Imam Izzuddin bin Abdissalam ini yang membagi bid’ah menjadi lima bagian dianggap sebagai pandangan yang final dan diikuti oleh mayoritas ulama terkemuka dari kalangan fuqaha dan ahli hadits.
    2.   Ibn Hajar Al-‘Asqalani
Al-Imam Ibn Hajar Al-‘Asqalani, hafizh dan faqihbermadzhab Syafi’i. Beliau membagi bid’ah menjadi dua, bahkan menjadi lima bagian. Dalam kitabnya Fath Al-Bari, beliau mengatakan:
 وَالْبِدْعَةُ أَصْلُهَا مَا أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ وَتُطْلَقُ فِي الشَّرْعِ فِيْ مُقَابِلِ السُّنَّةِ فَتَكُوْنُ مَذْمُوْمَةً وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِي الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِي الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ وَإِلاَّ فَهِيَ مِنْ قِسْمِ الْمُبَاحِ وَقَدْ تَنْقَسِمُ إِلَى اْلأَحْكَامِ الْخَمْسَةِ.
“Secara bahasa, bid’ah adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh sebelumnya. Dalam syara’, bid’ah diucapkan sebagai lawan sunnah, sehingga bid’ah itu pasti tercela. Sebenarnya, apabila bid’ah itu masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap baik menurut syara’, maka disebut bid’ah hasanah. Bila masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap buruk menurut syara’, maka disebut bid’ah mustaqbahah (tercela). Dan bila tidak masuk dalam naungan keduanya, maka menjadi bagian mubah (boleh). Dan bid’ah itu dapat dibagi menjadi lima hukum.” (Fath Al-Bari, 4/253).
   3.    Al-Imam An-Nawawi
Al-Imam al-Muhaddits al-Hafizh Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi berkata: Bid‘ah -menurut syari‘at- adalah segala sesuatu yang tidak pernah ada pada zaman Rasulullah SAW. Bid’ah terbagi menjadi dua, baik dan buruk.”
Beliau melanjutkan: “Para pemuka umat dan Imam kaum muslimin yang ilmunya sudah diakui, seperti Abu Muhammad Abdul Aziz bin Abdissalam menyebut di akhir buku beliau, al-Qawa`id (al-Kubra): “Bid‘ah itu terbagi pada perkara-perkara wajib (wajibat), haram (muharramat), sunnah (mandubat), makruh (makruhat) dan boleh (mubahat). Seharusnya, cara menilai suatu Bid‘ah itu dengan melihat kaidah syari’at (qawa‘id syari‘ah). Jika ia masuk dalam kategori kewajiban (ijab) maka jadilah ia Wajib, jika ia termasuk dalam keharaman maka jadilah ia Haram, jika ia termasuk hal yang mendatangkan keutamaan, maka jadilah ia disukai, apabila ia termasuk hal yang buruk maka jadilah ia makruh dan seterusnya. Selebihnya adalah bid’ah yang boleh.” [An-Nawawi, Tahdzib al-Asma’ wal-Lughat, III : 20-22.]
   4.    Al-Imam Al-Shan’ani
Al-Imam Muhammad bin Isma’il Al-Shan’ani, muhaddits dan faqih bermadzhab Zaidi, juga membagi bid’ah menjadi lima. Dalam kitabnya Subul Al-Salam Syarh Bulugh Al-Maram, beliau mengatakan:
الْبِدْعَةُ لُغَةً: مَا عُمِلَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ، وَالْمُرَادُ بِهَا هُنَا: مَا عُمِلَ مِنْ دُوْنِ أَنْ يَسْبِقَ لَهُ شَرْعِيَّةٌ مِنْ كِتَابٍ وَلاَ سُنَّةٍ وَقَدْ قَسَّمَ الْعُلَمَاءُ الْبِدْعَةَ عَلَى خَمْسَةِ أَقْسَامٍ: وَاجِبَةٍ كَحِفْظِ الْعُلُوْمِ بِالتَّدْوِيْنِ وَالرَّدِّ عَلىَ الْمَلاَحِدَةِ بِإِقَامَةِ اْلأَدِلَّةِ، وَمَنْدُوْبَةٍ كَبِنَاءِ الْمَدَارِسِ، وَمُبَاحَةٍ كَالتَّوْسِعَةِ فِيْ أَلْوَانِ الطَّعَامِ وَفَاخِرِ الثِّيَابِ، وَمُحَرَّمَةٍ وَمَكْرُوْهَةٍ وَهُمَا ظَاهِرَانِ؛ فَقَوْلُهُ: «كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ» عَامٌّ مَخْصُوْصٌ 
“Bid’ah menurut bahasa adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh sebelumnya. Yang dimaksud bid’ah di sini adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa didahului pengakuan syara’ melalui Al-Quran dan Sunnah. Dan ulama telah membagi bid’ah menjadi lima bagian: 1) bid’ah wajib seperti memelihara ilmu-ilmu agama dengan membukukannya dan menolak terhadap kelompok-kelompok sesat dengan menegakkan dalil-dalil, 2) bid’ah mandubah seperti membangun madrasah-madrasah, 3) bid’ah mubahah seperti menjamah makanan yang bermacam-macam dan baju yang indah, 4) bid’ah muharramah dan 5) bid’ah makruhah, dan keduanya sudah jelas contoh-contohnya. Jadi hadits “semua bid’ah itu sesat”, adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya.” (Subul Al-Salam, 2/48).
Kesimpulan:
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa para ulama terkemuka dalam setiap kurun waktu mulai dari Al-Imam Al-Syafi’i, Ibn Abdilbarr, Ibn Al-‘Arabi, Ibn Al-Atsir, Izzuddin bin Abdissalam, Imam An-Nawawi, Al-Hafizh Ibn Hajar, Al-‘Aini, Al-Shan’ani, dan masih banyak ulama-ulama lain yang tidak dikutip di sini, membagi bid’ah menjadi dua bagian, yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah madzmumah. Dan bahkan lebih rinci lagi, bid’ah itu dapat dibagi menjadi lima bagian sesuai dengan jumlah hukum-hukum yang berlaku dalam agama.
Demikianlah pendapat para imam besar yang telah terekam dalam berbagai kitab turats (klasik). Masih banyak lagi yang tidak sempat terekam pendapatnya, karena memang ketika itu penulisan kitab tidak semudah sekarang. Setidaknya, ketika mereka diam berarti mereka setuju, karena kalau memang mereka menganggap pendapat asy-Syafi’i sebagai kesesatan, maka tidaklah mungkin mereka diam saja tanpa menulis buku kritikan. Pendapat asy-Syafi’i diterima oleh ulama di zaman beliau hingga ulama berikutnya. Barulah pada abad akhir ini muncul segolongan orang yang menyalahkan pendapat para Imam besar hujjatul-Islam tersebut, bahkan berani menganggap pendapat imam imam besar tersebut sesat.
Saudaraku, Ketika kita sama-sama berguru dan berpendapat menurut guru, maka bersyukurlah karena kita berguru pada Imam-imam besar seperti asy-Syafi’i sang perintis madzhab, an-Nawawi sang ahli Hadits penulis Syarah Shahih Muslim, al-Ghazali sang Hujjah penulis Ihya Ulumiddin, al-Baihaqi sang ahli dan perawi Hadits, as-Suyuthi sang pakar berbagai disipliln Ilmu Islam, Ibnu Hajar al-Asqalani sang ahli Hadits penulis Syarah Shahih al-Bukhari, al-Qurthubi sang pakar dan penulis kitab Tafsir, al-Qusthallani sang ahli Hadits penuli Syarah Shahih al-Bukhari dan sebagainya.
"Kalaulah guru-guru kita itu dianggap sesat. Lalu siapa ulama yang bisa dibanggakan oleh umat Islam." 
Mereka yang dianggap sesat itu telah mengharumkan nama Islam dengan pemikiran dan karya-karya mereka. Coba kita tanyakan pada hati kita, seandainya kita harus memilih, siapa yang sebaiknya tidak pernah hidup di dunia ini, apakah asy-Syafi’i dan sebagainya atau ulama abad ini yang menganggap asy-Syafi’i sesat? Apa yang kita miliki kalau kita mencoret nama-nama mereka dan membuang karya-karya mereka dari rak buku kita.
Apa yang tersisa dari khazanah keilmuan Islam kalau kita membuang kitab-kitab asy-Syafi’i, Syarah Shahih Muslim (an-Nawawi) kitab Ihya’ Ulumiddin, Fathul Bari, Irsyadussari, Syarah Muwattha’ (az-Zarqani), Syarhul-Misykah dan sebagainya.
"Kalau mereka dianggap sesat dan karya-karya mereka dicekal, maka yang tersisa dari kekayaan umat Islam adalah ulama pencaci maki dan buku-buku yang dipenuhi dengan cacian kepada ulama salaf.”
Bahkan menurut sebagian saudara kita dari kelompok yang mengharamkan takwil ayat-ayat sifat dan mensesatkan aqidah asy’ariyyah:
  • seagung imam Bukhari pun dianggap kafir saat MENTAKWIL ayat "wajah" bagi Allah dengan "kekuasaan", sedangkan saudara kita yang satu ini selalu membawa hadist-hadist riwayat imam Bukhari dalam taklim dan ceramahnya.
  • pembesar ulama hadist sekelas imam Nawawi serta imam Ibnu Hajar al Asqolani pun dianggap kafir dan sesat karena beraqidah ASY’ARIYYAH.
La hawla wala quwwata illa billah.

Wednesday, October 7, 2015

Tanggapan Syeikh Mutawalli asy-Sya'rawi tentang Ziarah Kubur

 
(Gambar pojok sebelah kanan adalah Syeikh Mutawalli Sya'rawi, lalu sebelah kanannya lagi Imam Besar Univ. al Azhar Syeikh Abdul Halim Mahmud, berikutnya Mufti Mesir Syeikh Husnain Makhluf, dan yang paling pojok sebelah kiri adalah Syeikh Muhammad Zakiyuddin Ibrahim, nafa'nallahu ta'ala bi 'ulumihim fid-daaraini Aamiin)
Syaikh Mutawalli Sya'rawi rahimahullahu ta'ala, seorang ulama kontemporer Mesir yang wafat tahun 1998 dan sangat produktif menghasilkan karya-karya terkemuka, pernah ditanya:  
"Bagaimana tentang ziarah ahlul bayt dan para wali, yang merupakan kebiasaan orang-orang Mesir, khususnya orang-orang dari dusun yang mengambil berkah dari mereka?" 
Lalu Syeikh Sya'rawi seraya meletakkan tangannya di dada seolah-olah berbicara tentang dirinya, ia menjawab:
"Kami juga besar sebagai orang dusun. Selama hidup, kami tinggal di lingkungan ahlul bayt dan para wali. Orangtua-orangtua kami, datuk-datuk kami, ibu-ibu kami, dan saudara-saudara kami, semuanya tinggal di serambi para wali. Kami tidak melihat kebaikan kecuali dari mereka. Kami tidak mengetahui ilmu kecuali di tempat-tempat mereka. Kami juga tidak mengenal keberkahan kecuali dengan mencintai mereka. Kami mencintai mereka karena mereka berhubungan dengan Allah. Kebaikan datang kepada kami dari orang-orang yang sangat kami yakini bahawa mereka berhubungan dengan Allah. Mereka tidak dikenal kecuali oleh orang-orang yang jiwanya menerima manhaj (syariat) Allah.
Bagaimana mungkin mereka membolehkan berziarah ke kuburan orang-orang muslim awam tetapi mengharamkan menziarahi mereka-mereka yang dikenal sebagai orang shalih. Ziarah kubur itu diperintahkan. Jika hal itu telah dilakukan untuk orang-orang muslim awam, apakah orang-orang yang telah dikenal atau orang yang baik dikecualikan dari hal itu, lalu diharamkan menziarahi kuburnya karena ia orang baik? Pendapat ini sungguh tidak masuk akal! Anggap sajalah itu seperti kubur-kubur yang lain dan berdzikirlah kepada Allah di tempatnya. Kita tidak menentang ziarah. Yang kita tentang adalah hal-hal yang tidak benar yang terjadi di dalamnya. Orang-orang yang meminta sesuatu dari mereka dapat kita katakan berbuat syirik. Tetapi jika ia meminta kepada Allah di makam-makam mereka, apa yang harus dilarang? Demi Allah, seandainya dalam berziarah itu tidak ada hal lain yang didapatkan selain sekadar pertemuan dengan orang-orang yang tunduk di hadapan Allah, itu sudah cukup bagi saya. Seandainya tidak ada yang saya dapatkan di sana selain bertemu orang-orang yang menggunakan dirinya kembali kepada Allah, itu sudah cukup. Saya akan pergi untuk bertemu orang-orang yang meninggalkan dunia dan makan sekali saja dalam sehari. Orang-orang yang menziarahi Imam Husain, Sayyidah Nafisah, Sayyid Ahmad al-Badawi atau Ibrahim ad-Dasuqi, akan malu melakukan maksiat setelah itu. Mungkin juga perasaan malu itu akan terus menyertainya sepanjang hayatnya." MasyaAllah Tabarakallah!

*Dikutip dari majalah alKisah

Wednesday, September 30, 2015

Benarkah Perbedaan Pendapat Ulama Madzhab Hanya Menyusahkan dan Membingungkan?


Telah hadir seorang hamba Allah kepada Tuan Guru Maulana Hussein Abdul Kadir Yusufi dan berkata ia, "banyak pendapat ulama ni, menyusahkan dih..banyak mazhab ni, menyusahkan dih.."

Tuan Guru Maulana Hussein Abdul Kadir Yusufi menjawab, "kenapa kamu tak salahkan Allah (Subhanahu wata'ala) terus? atau pun tak salahkan Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wa alihi wasahbihi wasallam) terus?"

terkejut dia mendengar jawapan itu, dan berkata, "kenapa kata gitu?"

Tuan Guru Maulana Hussein Abdul Kadir Yusufi menjawab,
"para Imam Mazhab, para ulama ni bukan suka-suka nak berbeza pendapat, tetapi mereka hanya menyatakan sesuatu hukum di perintah oleh Allah Subhanahu wata'ala daripada ayat al-Quran..

ada ayat al-Quran itu, Allah Subhanahu wata'ala datangi ia dengan kalimah bahasa arab yang apabila diterjemahkan keluar lebih daripada satu makna, seperti:
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوَءٍ
"Dan isteri-isteri yang diceraikan itu hendaklah menunggu dengan menahan diri mereka (iaitu dalam iddah) selama tiga qurru."
daripada kalimah ثَلاَثَةَ قُرُوَءٍ ini, Imam Syafie dan Imam Hanafi telah berbeza dalam menafsirkannya, Imam Syafie menafsirkannya dengan makna "3 kali suci", manakala Imam Hanafi menafsirkanya dengan makna "3 kali haid"..
apabila di tafsirkanya berbeza, maka hukumnya berbeza..
3 kali suci maknanya ;
haid datang : tak kira,
suci dari haid : 1 qurru,
haid datang : tak kira,
suci dari haid : 2 qurru,
haid datang : tak kira,
suci dari haid : 3 qurru,
ini pendapat Imam Syafie dalam menafsirkan ia dengan makna 3 kali suci, barulah seseorang wanita itu habis iddahnya..
ada pun Imam Hanafi pula ;
haid datang : 1 qurru,
suci dari haid : tak kira,
haid datang : 2 qurru,
suci dari haid : tak kira,
haid datang : 3 qurru.
apabila makna ini berbeza bagi Imam Syafie dan Imam Hanafi, maka daripada makna berbeza ini keluar daripadanya 8 hukum hanya berkisah tentang ini sahaja..
maka kamu nak salah kat siapa sekarang ini? kamu nak salahkan Imam Syafie dan Imam Hanafi yang menafsir berbeza ke? kenapa tak salahkan Allah yang datangkan ayat al-Quran dengan kalimah bahasa Arab yang memberi makna lebih daripada satu? kalau Allah datangkan ayat al-Quran dengan maknanya satu sahaja, jelas maknanya, maka tak berbezalah pendapat banyak ni, jadi kenapa tak salahkan Allah?"

terdiam pucat lelaki itu..

Tuan Guru Maulana Hussein Abdul Kadir Yusufi menyambung,
"kamu salahkan para Imam Mazhab kerana banyak pendapat tentang sesuatu hukum, kamu katakan mereka menyusahkan, kenapa kamu tak salahkan juga Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wa alihi wasahbihi wasallam)?

ada perbuatan yang Rasulullah buat, tetapi kemudian Rasulullah larang..ada perbuatan yang Rasulullah larang, tetapi kemudian Rasulullah buat..ada perbuatan yang para sahabat buat dan Rasulullah tak pernah lakukannya, tetapi Rasulullah tak larang dan tak suruh..dan lain-lain lagi..

jadi daripada perbuatan Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wa alihi wasahbihi wasallam) dan para sahabat ini, maka para Imam Mazhab, para ulama yang ada ilmunya, mereka berbeza pendapat di dalam memahaminya dan menyatakan sesuatu hukum tentangnya..

lalu kamu nak salah kat siapa sekarang ni? kat Imam Mazhab? kat ulama?

kenapa tak salahkan Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wa alihi wasahbihi wasallam) yang buat perbuatan berbeza beza? kenapa Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wa alihi wasahbihi wasallam) tak buat satu perbuatan sahaja untuk sesuatu ibadat? kan senang, tetapi kenapa Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wa alihi wasahbihi wasallam) buat begitu? kenapa tak salahkan baginda Nabi?"

bertambah terdiam pucat lelaki itu..

Tuan Guru Maulana Hussein Abdul Kadir Yusufi menyambung lagi, 
"para Imam Mazhab, para ulama yang ahlinya ini, mereka ini dah memudahkan kita, mereka telah berusaha siang dan malam mengkaji ayat al-Quran dan hadits bagi menyatakan sesuatu hukum, menyusun sesuatu ibadat itu..untuk siapa? untuk kita, sepatutnya kita mengucapkan terima kasih kepada mereka..tetapi kita pula marah kepada mereka, kita pula salahkan mereka.."
terdiam seketika lelaki itu, dan berkata, "ya, saya salah dalam hal ini.."

Tuan Guru Maulana Hussein Abdul Kadir Yusufi berkata lagi,
"sepatutnya kamu tak boleh cakap macam tu, kamu tak faham pendapat ulama berbeza itu kerana kamu tak berusaha belajar tentangnya, kalau kamu belajar tentangnya, baru lah kamu faham betapa adanya pendapat mereka ini memudahkan kehidupan kita, perbezaan pendapat itu nampak zahirnya seperti rumit dan menyusahkan, tetapi jika kita mempelajarinya dengan betul betul, kita akan dapati perbezaan pendapat itu lagi memudahkan kita, ada gunanya dan ada hikmahnya.."

wallahua'lam..
catatan daripada Daurah hadits Kitab Sunan Tirmidzi bersama Tuan Guru Maulana Hussein Abdul Kadir Yusufi di Pondok Ledang, Bandar Baru Uda, Johor Bahru semalam (6 September 2014).
oleh: Muhammad Alif Heng

Mengenal Maulana Hussain Abdul Qadir Yusufi


 
Beliau lahir pada tanggal 20 September 1958
Beliau mahir 7 Bahasa : Burma, English, Arab, Parsi, Urdu, Melayu, Thailand.

Kepakaran :

  1. Syarahan Kitab Hadis (Muwatha' Imam Malik, Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasaie, Ibnu Majah).
  2. Fiqh mazhab Hanafi & mazhab Syafie.
  3. Berkemahiran dalam ilmu usuluddin, segenap ilmu hadis, kepelbagaian fiqh, tafsir, tasawuf dan banyak lagi yang tidak dapat disebutkan disini.
Riwayat Pengajian :
  1. Selepas tamat persekolahan peringkat menengah, beliau mula menceburi bidang agama di مدرسة مظاهر العلوم selama 4 bulan pengajian sahaja (namun ianya bersamaan dgn tiga tahun pengajian biasa)
  2. Kemudian beliau menyambung pengajian di مدرسة اسعدية yang diasaskan oleh Maulana Yusuf Al-As'adi selama dua tahun.
  3. Seterusnya beliau menangguhkan pengajian beliau di madrasah tersebut untuk mencedok ilmu di مدرسة اشاعة العلوم selama dua tahun.
  4. Akhir sekali, beliau menamatkan pengajian beliau di مدرسة اسعدية iaitu madrasah utama beliau.
  5. Di Malaysia, beliau berguru dengan Tuan Guru Haji Abdul Rahman di Pondok Sungai Durian dengan mengikuti kelas khusus bagi bekas murid-murid Tuan Guru yang memegang jawatan Imam dan tenaga pengajar.
  6. Maulana Hussein juga pernah berguru dengan Tuan Guru Haji Harun Pauh Lima, Pondok Moden Kandis.
  7. Maulana Hussein juga mengikuti kelas khusus untuk mengajar SMU@STU di bawah Yayasan Islam Kelantan di Nilam Puri Kota Bharu dibawah pimpinan Guru-Guru Pondok berpengalaman tinggi.
Guru Utama :
  1. Maulana Yusuf Al-As'adi hafizhohullah
  2. Maulana Mustafa Al-Nadwi hafizhohullah
  3. Maulana Ubaidullah hafizhohullah
  4. Maulana Alauddin Al-Afghani hafizhohullah
  5. Dan lain-lain Muhadithin yang mempunyai sanad bersambung kepada Nabi Muhammad s.a.w.
  6. Mempunyai sanad hadis melalui Maulana Salimullah Khan hafizhohullah (penuntut hadis pasti mengetahui darjat sanad beliau)
Pengajian bersama beliau :
  • Tertumpu di pondok2 dan masjid2 sekitar Kelantan
  • Singapura
  • Sabah
  • Selangor
  • Johor
  • Universiti Kebangsaan Malaysia 
____________________________

Pada kali ini, saya mahu menumpukan kepada GELARAN beliau iaitu Maulana Hussein Abdul Kadir Yusufi

  • Jika kita perhatikan nama sebenar guru kita yang mulia ini ialah Hussein Bin Abdul Kadir.
  • Soalnya daripada mana datang 'Yusufi' pada belakang nama beliau?
  • Kebiasaan ulama atau muhadith akan menisbahkan nama beliau kepada tempat lahir @ tempat belajar @ nama madrasah.
  • Hal yang berbeza berlaku kepada Maulana Hussein kerana gelaran 'Yusufi' ialah dinisbahkan kepada nama gurunya iaitu Maulana Yusuf Al-As'adi
  • Maulana Yusuf Al-As'adi sendiri yang memberikan gelaran itu kepada Maulana Hussein. Hal ini kerana beliau ialah murid kesayangan dan murid yang paling banyak berkhidmat kepada Maulana Yusuf.
Hal yang sama juga berlaku kepada Maulana Yusuf Al-As'adi, gelaran 'Al-As'adi' juga diberikan sendiri oleh gurunya iaitu Maulana Asadullah (Nazim/Mudir kepada Madrasah Mazhahir Al-Ulom dan sahabat karib kepada Maulana Zakariyya Al-Kandahlawi)
  • Maulana Asadullah hanya memberikan gelaran 'Al-As'adi' kepada murid kesayangannya dan murid yang paling banyak memberi khidmat kepadanya iaitu Syeikhul Hadis Maulana Yusuf Al-As'adi
  • Maulana Yusuf Al-As'adi juga merupakan murid Syeikhul Hadis Maulana Zakariyya Al-Kandahlawi dan sahabat karib kepada Maulana Yunus Jounpori
~ Syeikhul Hadis Maulana Yunus Jounpori merupakan murid kesayangan Rais Al-Muhadithin Syeikhul Hadis Maulana Zakariyya Al-Kandahlawi.
~ Manakala Syeikhul Hadis Maulana Yusuf Al-As'adi merupakan murid kesayangan Syeikhul Hadis Al-Nazim Maulana Asadullah (Mudir/Nazim Madrasah Mazhahir Al-Ulom).

=> kata Maulana Hussein:

  • "Ketika itu, di antara muhadithin yang paling alim di India ialah Maulana Zakariyya dan Maulana Asadullah."
  • "Maulana Zakariyya membimbing Maulana Yunus Jounpori lebih kepada kepandaian ilmu-ilmu hadis sebagai penganti beliau"
  • "Maulana Asadullah pula membimbing Maulana Yusuf Al-As'adi lebih kepada fiqh dan fatwa sebagai penganti beliau"
** Daripada dua Syeikhul Hadis (Maulana Zakariyya & Maulana Asadullah) lahir dua ulama besar yang masih hidup sehingga kini:
  • Muhadith Hind Syeikhul Hadis Maulana Yunus Jounpori
  • Mufti Myanmar Syeikhul Hadis Maulana Yusuf Al-As'adi
** Daripada Syeikhul Hadis Maulana Yusuf Al-As'adi lahirlah:
  • Maulana Hussein Abdul Kadir Yusufi

"Sekarang, nilailah pada diri sendiri"


oleh: Hafiz al Za'farani

Monday, September 28, 2015

Ijmak Ulama membenarkan beramal dengan Hadith Dhoief

1. Imam Al Bukhari
Beberapa ulama menyebutkan bahwa penyandaraan pendapat yang menolak hadits dhaif untuk fadhail terhadap Imam Bukhari adalah kurang tepat, karena beliau juga menjadikan ∙hadits∙ dhaif untuk hujjah. Ini dapat dilihat dari kitab beliau Al Adab Al Mufrad, yang bercampur antara ∙hadits∙ shahih dan dhaif. Dan beliau berhujjah dengan∙hadits∙ itu, mengenai disyariatkannya amalan-amalan. Ini boleh dilihat dari judul bab yang beliau tulis.

Syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah :

Beliau telah menulis masalah ini dalam komentar beliau terhadap kitab Dhafar Al Amani, karya Imam Al Laknawi (hal. 182-186), dengan merujuk kitab Fadhullah As Shamad fi Taudhih Al Adab Al Mufrad, karya Syeikh Fadhlullah Al Haidar Al Abadi Al Hindi, ulama hadits dari India yang wafat pada tahun1399 H.

Tidak hanya dalam Al Adab Al Mufrad, dalam Shahihnya pun perkara hampir serupa terjadi. Ibnu Hajar Al Asqalani menyebutkan dalam Hadyu As Sari (2/162), saat menyebutkan perawi bernama Muhammad bin Abdurrahman At Tufawi, yang oleh Abu Zur’ah dikatakan “mungkarul ∙hadits∙” beliau mengatakan bahwa dalam Shahih Al Bukhari ada 3 ∙hadits∙ yang diriwayatkan oleh perawi tersebut dan semuanya dalam masalah riqaq (∙hadits akhlak dan motivasi), dan ini tergolong gharaib dalam Shahih Al Bukhari, hingga Ibnu Hajar mengatakan,”Seolah-olah Bukhari tidak memperketat, karena termasuk ∙hadits∙ targhib wa tarhib”.

2. Imam Muslim
Adapun perkataan Imam Muslim dalam muqadimah As Shahih, tidak boleh diertikan sebagai larangan mutlak atas penggunaan hadits dhaif dalam fadhail. Imam Muslim mengatakan dalam muqadimah Shahih beliau,”

Dan ketahuilah-wafaqakallah-bahwa wajib bagi siapa saja untuk membezakan antara shahih riwayat dan saqimnya, serta orang-orang tsiqah yang menukilnya daripada mereka yang tertuduh (memalsukan). Tidak meriwayatkan darinya (periwayatan), kecuali yang diketahui keshahihan outputnya dan yang terjaga para periwatnya, serta berhati-hati terhadap periwayatan mereka yang tertuduh, dan para ahli bid’ah yang fanatik.”

(Muslim dengan Syarh An Nawawi (1/96))

Syeikh Dr. Mahmud Said, ulama hadits dari Mesir mengomentari perkataan Imam Muslim di atas. Dalam At Ta’rif (1/99) beliau mengatakan,”maknanya, wajib bagi siapa saja yang ingin menyendirikan hadits shahih dan mengetahui perbezaan antara shahih…” Artinya, himbauan Imam Muslim di atas untuk mereka yang ingin menyendirikan hadits shahih.

Beliau juga memandang bahwa tidak seorang hafidz pun yang telah melakukan rihlah (mencari ∙hadits∙) meninggalkan periwayatan para perawi dhaif, hatta Imam Muslim. Karena itu, Imam Muslim memasukkan perawi lemah dan matruk, yang menurut Muslimatergolong jenis khabar kelompok ketiga, ke dalam Shahih Muslim untuk mutaba’ah dan syawahid. Dengan demikian, pernyataan Muslim di atas tidak berlaku mutlak.

Ibnu Taimiyah berkata dalam Majmu Fatawanya:

والضعيف: الذي رواه من لم يعلم صدقه إما لسوء حفظه وإما لاتهامه، ولكن يمكن أن يكون صادقا فيه فإن الفاسق قد يصدق والغالط قد يحفظ

"Dan (hadits) dho'if: yang diriwayatkan oleh orang yang belum diketahui kebenarannya (kejujuran), baik itu karena buruk hafalannya atau karena diduga (berdusta), akan tetapi mungkin juga dia benar (jujur) di situ, karena orang yang fasik adakalanya jujur dan orang yang keliru adakalanya hafaz."

3. Imam Suyuthi berkata dalam Tadribur Rowi tentang hadits ghair maqbul (tidak diterima):

معناه لم يصح إسناده على الشرط المذكور لا أنه كذب في نفس الأمر لجواز صدق الكاذب وإصابة من هو كثير الخطأ

"Maknanya: tidak shahih sanadnya berdasarkan syarat yang telah disebutkan, bukan berarti ia adalah kedustaan secara nyata, karena masih ada peluang kejujuran seorang pendusta dan kebenaran orang yang sering salah."

4. Imam Nawawi berkata dalam Al-Majmu' (3/226)

وقد قدمنا اتفاق العلماء على العمل بالحديث الضعيف في فضائل الأعمال دون الحلال والحرام
"Telah kami paparkan kesepakatan para ulama mengenai(bolehnya) beramal dengan hadits dha'if dalam Fadha'il A'mal (keutamaan amalan), bukan halal dan haram."
Dalam Mawahib Al-Jalil (1/17) disebutkan:

فقد اتفق العلماء على جواز العمل بالحديث الضعيف في فضائل الأعمال
“Para ulama telah bersepakat mengenai bolehnya beramal dengan hadits dha’if dalam hal Fadha’il A’mal.”
 
5. Mulla Ali Al-Qari berkata dalam Al-Hazh Al-Aufar sebagaimana dalam Al-Ajwibah Al-Fadhilah karangan Al-Laknawi hal. 36:
الحديث الضعيف معتبر في فضائل الأعمال عند جميع العلماء من أرباب الكمال
“Hadits dha’if itu dijadikan I’tibar dalam Fadha’il A’mal menurut seluruh ulama…”
 
Ia juga berkata:
الضعيف يعمل به في فضائل الأعمال اتفاقا
"(Hadits) dhaif diamalkan dalam hal fadhoil (keutamaan) amal secara ittifaq (kesepakatan ulama)." 

6. Ibnu Hajar Al Haitami berkata:

قد اتفق العلماء على جواز العمل بالحديث الضعيف فى فضائل الأعمال؛ لأنه إن كان صحيحا فى نفس الأمر، فقد أعطى حقه من العمل به، وإلا لم يترتب على العمل به مفسدةُ تحليل ولا تحريم ولا ضياع حق للغير
“Para ulama telah bersepakat tentang kebolehan beramal dengan hadits dhaif dalam hal keutamaan amal, karena seaindainya hadits itu ternyata shahih, maka ia telah memberikan haknya yaitu berupa amal, dan jika tidak, maka beramal dengannya tidak berdampak penghalalan atau pengharaman atau hilangnya hak orang lain.”
Ia juga berkata:

وقد تقرر أن الحديث الضعيف والمرسل والمنقطع والمعضل والموقوف يعمل بها في فضائل الأعمال إجماعا
“Telah tetap bahwa hadits dhaif, mursal, munqathi’, mu’dhol dan mauquf diamalkan dalam hal keutamaan amal secara ijma’.”
 
Ia juga berkata:
فإن قلت هذا الحديث المذكور سنده ضعيف فكيف يحتج به ؟ قلت : الذي أطبق عليه أئمتنا الفقهاء والأصوليون والحفاظ أن الحديث الضعيف حجة في المناقب كما أنه بإجماع من يعتد به حجة في فضائل الأعمال، وإذا ثبت أنه حجة في ذلك لم تبق شبهة لمعاند ومطعن لحاسد بل وجب على كل من فيه أهلية أن يقر هذا الحق في نصابه

“Jika anda bertanya: hadits tersebut sanadnya dhoif, bagaimana dijadikan hujjah? Maka saya jawab: Yang menjadi ketetapan para imam kita baik dari kalangan Fuqoha, Ushuliyin dan Huffazh yaitu hadits dhoif hujjah dalam hal manaqib (biografi) sebagaimana ia juga hujjah dalam hal keutamaan amal menurut ijma para ulama. Jika telah tetap bahwa ia hujjah dalam hal itu, tidak tersisa lagi syubhat bagi orang yang menentang atau hujatan bagi orang yang hasad. Bahkan wajib bagi setiap orang yang memiliki keahlian mengakui kebenaran ini sesuai kadarnya.”
 
Wallahua'lam bissowab

oleh: Ustaz Danang Kuncoro Wicaksono

Friday, September 25, 2015

Fiqih Dulu dan Sekarang

Dulu, pertama kali belajar fiqih itu memakai kitab Safinatu-Naja, kitab Fiqih Syafi’i yang bisa dibilang sangat tipis. Memulai belajar dari ustadz di pengajian kampung, belajar sejak umuran SD yang ketika itu sama sekali tidak mengerti apa itu Ikhtilaf dan juga dalil.

Kemudian mulai masuk pesantren, kitab fiqih yang diajarkan pun mulai naik level. Dari mulai kitab Fathul-Qarib Syarhu Matni Al-Ghoyah wa Al-Taqrib, karya Sheikh Muhammad bin Qasim Al-Ghazi. Ini kitab fiqih standarnya pesantren-pesantren di seluruh Indonesia.

Fathul-Qarib beres,masuk jenjang yang lebih elegan, mulailah belajar kitab Fathul-Mu’inkarya Sheikh Zainuddin Al-Malyabari. Masih dengan diselingi mempelajari Kifayatul-Akhyar,sambil sesekali menengok kitab lain lain, semisal Fathul-Wahhab, atau juga Nihayatu-Zeinkarya Imam Al-Nawawi Banten.

Dan kesemuanya itu kitab fiqih madzhab Syafi’i karena memang begitu standar pembelajarn fiqih di Indonesia, harus dimulai dengan madzhab mayoritas penduduk setempat. Dan sepertinya kitab-kitab tersebut di atas memang kitab yang menjadi standar di seluruh lembaga pendidikan Islam yang mengajarkan fiqih untuk peserta didiknya.

Makin tinggi level pendidikan, makin banyak pula kitab yang dikaji, Mughni Al-Muhtaj, Al-Muhadzdzab dan juga Al-Majmu’ karya Imam Al-Nawawi, terus meningkat begitu sampai akhirnya masuk kampus dengan bidang studi yang sama, Fiqih Perbandingan Madzhab[مقارنة المذاهب الفقهية].

Dari dulu belajar kitab-kitab fiqih, yang didapati dalam lembaran-lembaran ilmu itu berupa riwayat-riwayat pendapat (Qoulimam madzhab tentang hukum masalah, disertai juga beberapa pendapat sahabatnya dan juga muridnya. Dan tentu (biasanya) diakhiri dengan pendapat penulis.

Itu yang kita dapati selama ini dari kitab-kitab salaf tentang hukum fiqih. Bukan tidak ada dalil dari Al-Quran dan Sunnah, tapi ada dan pasti ada. Hanya memang pendapat-pendapat lebih banyak dituliskan disitu, dan juga disertai sudut pandang serta cara seorang ulama fiqih ber-istidlal mengambil kesimpulan sebuah hukum.

Tapi anehnya, justru artikel-artikel yang berlabelkan fiqih zaman sekarang berbeda dengan apa yang dipraktekkan oleh ulama fiqih terdahulu. Yang ada sekarang justru sebaliknya, lebih banyak ayat dan hadits yang dituliskan, hampir setiap baris ada haditsnya.

Dan penulis sering bingun ini artikel fiqih atau artikel hadits, membahas hukum fiqih tapi tidak menyertai pendapat para ulama fiqih dari madzhab masyhur, hanya menguraikan saja hadits-hadits terkait. Malah tidak jarang yang justru membahas derajat hadits dengan menguraikan status fulan bin fulan.

Bukan Hanya Dalil, tapi Bagaimana Ber-istidlal

Sayangnya, dan sangat disayangkan sekali bahwa artikel itu tidak sekalipun mengutip pendapat ulama fiqih dari salah satu madzhab, hanya pendapat pribadi yang entah mengambil dari mana kemudian menuliskan satu dua hadits dan tidak dijelaskan bagaimanaTaujiih-Dalilnya. Tiba-tiba mengeluarkan sebuah hukum.

Padahal yang terpenting dalam sfiqih itu ialah bagaimana cara meng-istimbath sebuah hukum dari teks syariah, bukan seberapa banyak teks syariah itu tapi malah bias apa yang dimaksud dan dikandung dalam hadits atau ayat tersebut.

Karena itu tugas utama seorang faqih, yaitu mengambil kesimpulan dari teks-teks syariah yang ada, baik itu al-Quran atau juga hadits Nabi saw. Dan bukan menuliskan hadits sebanyak-banyaknya tanpa tahu bagaimana caranya ber­-istidlal dengan itu semua.

Kalau hanya mengumpulkan hadits dan ayat yang berkaitan, tanpa tahu bagaimana mengetahu kandungan dan makna dibalik hadits atau ayat, semua orang mampu melakukan itu. Tapi yang mempu mengetahui Madlul ayat dan hadits selain Manthuq-nya, itu yang menjadi tugas seorang ahli fiqih, dan tidak semua orang mampu melakukan itu.

Karena memang begitulah ilmu fiqih, sebagimana definisinya yang telah disepakati oleh ulama:

الْعِلْمُ بِالأْحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ الْمُكْتَسَبُ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيلِيَّةِ
“Ilmu yang membahas hukum-hukum syariat bidang amaliyah (perbuatan nyata) yang diambil (istimbath) dari dalil-dalil secara rinci,”   

Di situ ada poin Al-Muktasab yang diartikan dengan “diambil” atau “di-istimbath”. Poin ini memberikan gambaran bahwa orang ahli fiqih haruslah seorang yang cerdas, dan bukan yang hanya memahami dalil dari terjemahan belaka kemudian memberanikan diri untuk berfatwa tanpa mengerti bagaimana caranya beristimbath dan mengambil kesimpulan hukum dari sekian banyak dalil, bukan hanya satu dalil.

Menikah Dengan/Tanpa Wali

ini yang membedakan fiqih dengan lainnya. Sebut saja masalah menikah dengan atau tanpa wali yang menjadi perbedaan antara jumhur (mayoritas) dengan ulama Hanafiyah. Dalilnya satu, tapi Taujiih Dalil­-nya yang berbeda.

Kedua kubu sama-sama berdalil dengan ayat yang sama, yaitu ayat 332 surat Al-Baqarah:

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ
“Dan jika kalian telah mentalak istri-istri kalian, lalu masa telah sampai (selesai) masa (‘Iddah)-nya, janganlah kalian halangi mereka untuk menikahi (calo-calon) suami mereka”

Kata jumhur ulama, menikah harus dengan wali karena ayatnya jelas seperti diatas, Allah swt melarang para wali untuk menghalangi para wanita yang dibawah perwalian mereka untuk menikah lagi. Buktinya Allah menggunakan kata larangan dengan bentuk PluralMudzakkar: [فلا تعضلوا] “jangan kalian halang-halangi”. Kalau menikah itu boleh tanpa wali, pastilah larangannya tidak ditujukan dengan redaksi Plural/jama’ mudzakkar seperti itu.

Berbeda dengan apa yang dikatakan oleh kalangan Hanafiyah, justru ayat ini adalah bukti bahwa menikah boleh tanpa wali, karena dalam ayat ini Allah swt menisbatkan pernikahan itu sendiri kepada para wanita dengan redaksinya [أن ينكجن] “untuk mereka menikah”. Dan redaksi itu dalam bahasa Arab jelas ditujukan kepada wanita, bukan kepada laki-laki yang menjadi walinya.

Siapa Yang Lebih Baik, Kita atau Mereka?

Jadi beginilah fiqih, yaitu bagaimana beristimbath, bukan bagaimana mengumpulkan hadits sebanyak-banyaknya.

Lalu jika kita dapati dalam kitab-kitab fiqih hany pendapat dan pandangan tanpa disertai dalil, itu bukan karena para ulama tidak tahu dalil. Justru mereka jauh lebih paham daripada kita yang membaca.

Mereka mengajarkan kita bahwa memang orang awam hanya mengikuti (Taqliid) saja. Dan hendaknya kita cukup percaya apa yang dikatakan oleh ulama dalam kitab-kitab mereka, karena memang tugas mereka seperti itu. Dan mereka tidak mungkin mengambil sebuah kesimpulan hukum dari hawa nafsunya, karena mereka sadar apa yang mereka tulis akan diikuti dan pasti diminta pertanggungjawabannya oleh Allah swt kelak di akhirat nanti.   

Para ulama sudah barang tentu mengambil kesimpulan dari hadits karena memang mereka mempunyai kemampuan untuk itu. Kita hanya mengikuti selama memang kita bukan golongan mujtahid. Jadi terima saja dan jalani, bukan terus-terusan meminta dalil. Apakah kalau sudah ada dalil kemudia kita mampu ber-Istidlal dari dalil tersebut?

Kalau kita ber-istidlal, yakinkah kita kalau apa yang kita hasilkan dari otak kita terhadap teks syariah itu benar? Yakinkah kita bahwa apa yang dihasilkan oleh pemikiran ulama fiqih terhadap sebuah teks syariah itu tidak jauh lebih baik dari apa yang kita hasilkan?

Wallahu A’lam


Ahmad Zarkasih, S.Sy.