Haul Habib Munzir al-Musawa di Masjid at-Taubah, Kalibata, 23 Agustus 2015
Syekh Ali Jabeer: "Alhamdulillah dapat bershilaturrahim hadir memenuhi undangan Acara Haul Habib Munzir Al-Musawa."
Haul Habib Munzir al-Musawa di Masjid at-Taubah, Kalibata, 23 Agustus 2015
Syekh Ali Jabeer: "Alhamdulillah dapat bershilaturrahim hadir memenuhi undangan Acara Haul Habib Munzir Al-Musawa."
Haul Habib Munzir al-Musawa di Masjid at-Taubah, Kalibata, 23 Agustus 2015
Syekh Ali Jabeer: "Banyak kebaikan Habib Munzir untuk umat dan persatuan umat. Semoga kita bisa melanjutkan perjuangan beliau dan menghidupkan Sunnah Rasulullah SAW"
Haul Habib Munzir al-Musawa di Masjid at-Taubah, Kalibata, 23 Agustus 2015
Syekh Ali Jabeer: "Banyak kebaikan Habib Munzir untuk umat dan persatuan umat. Semoga kita bisa melanjutkan perjuangan beliau dan menghidupkan Sunnah Rasulullah SAW"
muktamar tasawuf sedunia di Chechnya.
Habib Sholeh Aljufri bersama guru mulia Alhabib Umar bin Hafidz, Mufti Mesir Syiekh Shauki dan ulama2 dari Beirut, Syiria dll
Habib Ali alJufri dan Guru Beliu, Syeikh Maliki
Habib Ali al-Jufriy: "Ketika aku mendengar orang berbicara atas nama Islam dengan bahasa yang kasar dan caci-maki, aku bersyukur kepada Allah tidak memahami Islam lewat lisan mereka."
Tuesday, October 27, 2015
Perbedaan Syari'ah Islamiyah dengan Fiqih Islamiyah
Dialog Syeikh Abdullah al-Talidi dengan al-Bani
Syeikh Muuddin Marbu al Banjari bersama Syeikh Abdullah al Talidi. |
Saturday, October 24, 2015
Mendahulukan Taqwa daripada Jalan Keluar
Syeikh Mutawali asy-Sya'rawi dan Habib Umar bin Hafidz |
Tuesday, October 13, 2015
Nasehat al-Imam Asy-Syahid Dr. Muhammad Sa'id Romadlon Al Buthy Untuk Para Pecintanya
Nasihat Ayahnda dari Syeikh Mutawwali as-Sya’rawi
“Jagalah dan peliharalah sifat tawaduhu' kerana rahsia-rahsia ilmu tidak akan diperolehi oleh orang-orang yang sombong.”.
“Ikatkanlah diri kamu dengan Allah selalu dan tidak takut selain Allah.”
Monday, October 12, 2015
Hakikat Jalan Sufi Dari Syeikh Abu Hasan asy-Syadzili
Allah SWT berfirman,
“Dan, Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar (dalam menegakkan kebenaran) dan mereka meyakini ayat-ayat Kami. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang memberikan keputusan di antara mereka pada hari Kiamat tentang apa yang selalu mereka perselisihkan padanya.” (QS As-Sajadah [32]: 24-25).
Imam Asy-Syadzili mengatakan, “Pelabuhan (tasawuf) ini sungguh mulia, padanya lima perkara, yakni: sabar, takwa, wara’, yakin dan makrifat. Sabar jika dia disakiti, takwa dengan tidak menyakiti, bersikap wara’ terhadap yang keluar masuk dari sini—beliau menunjuk ke mulutnya — dan pada hatinya, bahawa tidak menerobos masuk ke dalamnya selain apa yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, serta keyakinan terhadap rezeki (yang diberikan Allah) dan bermakrifat terhadap Al-Haqq, yang tidak akan hina seseorang bersamanya, kepada siapa pun dari makhluk.”
Allah SWT berfirman,
“Bersabarlah (Hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah engkau bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah engkau bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS An-Nahl [16]: 127-128).
Imam Asy-Syadzili juga mengatakan, “Orang yang berakal adalah orang yang mengenal Allah, apa-apa yang Dia kehendaki atasnya dan apa yang berasal darinya secara syariat. Dan, hal yang Allah inginkan dari seorang hamba adalah empat perkara: adakalanya berupa nikmat atau ujian, ketaatan ataupun kemaksiatan.
Jika engkau berada dalam kenikmatan, maka Allah menuntutmu untuk bersyukur secara syariat. Jika Allah menghendaki cubaan bagimu, maka Dia menuntutmu untuk bersabar secara syariat. Jika Allah menghendaki ketaatan darimu, maka Allah menuntutmu untuk bersaksi atas anugerah dan taufik-Nya secara syariat. Dan, jika Dia menghendaki kemaksiatan dirimu, maka Allah menuntut dirimu untuk bertaubat dan kembali kepada-Nya dengan penyesalan mendalam secara syariat.
Siapa yang mengerti empat perkara ini datang dari Allah dan melakukan apa yang Allah cintai darinya secara syariat, maka dia adalah hamba yang sebenar-benarnya.
Rasulullah SAW bersabda,
“Barangsiapa yang ketika diberi lalu dia bersyukur, jika ditimpa cubaan dia bersabar, jika dia menzalimi lalu meminta ampun dan jika dia dizalimi lalu memaafkan.” Kemudian Rasul terdiam... Para sahabat pun hairan dan bertanya, “Ada hal apa, wahai Rasulullah?” Kemudian Rasul saw pun menjawab, “Merekalah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Dalam ungkapan sebahagian dari mereka menyebutkan, “Tidak akan dianggap mudah melakukan itu, kecuali bagi seorang hamba yang memiliki CINTA. Dia tidak mencintai kecuali kerana Allah swt semata atau mencintai apa yang Allah perintahkan sebagai syariat agamanya.”
-Syekh Abu Hasan Asy-Syadzili dalam kitab Durrat Al-Asrar wa Tuhfat Al-Abrar karya Muhammad Ibn Abi Qasim Al-Humairi-
Sunday, October 11, 2015
Kemuliaan Wanita Tarim Hadramaut
Saturday, October 10, 2015
Nasihat Khalifah Harun al-Rasyid
gambar: ilustrasi |
قَدْ بَعَثَ الله مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ إِلَى مَنْ هُوَ شَرٌّ مِنِّي فَأَمَرَهُ أَنْ يَقُولَ لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا
“Allah swt telah mengutus orang yang jauh lebih baik dari anda untuk memberi peringatan kepada orang yang jauh lebih buruk dari saya. Dan Allah memerintahkan orang tersebut untuk berkata ramah dan santun.”
sumber: Ahmad Zarkasih, Lc
Friday, October 9, 2015
Jawaban Habib Umar bin Hafidz tentang Ziarah Maqam Auliya
“Kenapa ziarah maqam Auliya’? Sedangkan mereka tiada memberi kuasa apa-apa dan tempat meminta hanya pada Allah!”
Al-Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz (Sumber lain mengatakan: Walid Al-Malik Trengganu) menjawab:
“Benar wahai saudaraku aku juga sama pegangan denganmu bahwa mereka tiada mempunyai kekuasaan apa-apa.
Tetapi sedikit perbedaan aku dengan dirimu, karena aku lebih senang menziarahi mereka karena bagiku mereka tetap hidup dalam membangkitkan jiwa yang mati ini kepada cinta Tuhan.
Tapi aku juga heran, kenapa engkau tiada melarang aku menziarahi ahli dunia, mereka juga tiada kuasa apa-apa. Malah mematikan hati. Yang hidupnya mereka bagiku seperti mayat yang berjalan. Kediaman mereka adalah pusara yang tiada membangkitkan jiwa pada cinta Tuhan.
Kematian dan kehidupan di sisi Allah adalah jiwa. Banyak mereka yang dilihat hidup tapi sebenarnya mati, banyak mereka yang dilihat mati tapi sebenarnya hidup, banyak yang menziarahi pusara terdiri dari orang yang mati sedangkan dalam pusara itulah orang yang hidup.
Aku lebih senang menziarahi maqam kekasih Allah dan para syuhada walaupun hanya pusara, tetapi ia mengingatkan aku akan kematian kerena ia mengingatkan aku bahwa hidup adalah perjuangan. Karena aku dapat melihat jiwa mereka ada kuasa cinta yang hebat sehingga mereka dicintai oleh Tuhan lantaran kebenarannya cinta.
Wahai saudarakuku ziarah maqam auliya’, karena pada maqam mereka ada cinta, lantaran cinta Allah pada mereka seluruh tempat persemadian mereka dicintai Allah.
Cinta tiada mengalami kematian, ia tetap hidup dan terus hidup dan akan melimpah kepada para pencintanya. Aku berziarah karena sebuah cinta mengambil semangat mereka agar aku dapat mengikuti mereka dalam mujahadahku, mengangkat tangan di sisi maqam mereka bukan meminta kuasa dari mereka, akan tetapi memohon kepada Allah agar aku juga dicintai Allah sebagaimana mereka dicintai Allah.”
Thursday, October 8, 2015
Pemahaman Ulama tentang Bid'ah
- Al-Imam Al-Syafi’i
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris Al-Syafi’i - mujtahid besar dan pendiri madzhab Syafi’i yang diikuti oleh mayoritas Ahlussunnah wal Jama’ah di dunia Islam, berkata:
الْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ : أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ ِممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا ، فهَذِهِ اْلبِدْعَةُ الضَّلاَلـَةُ، وَالثَّانِيَةُ : مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ (رواه الحافظ البيهقيّ في كتاب " مناقب الشافعيّ)
“Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua: Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i, j. 1, h. 469).
Dalam riwayat lain al-Imam asy-Syafi’i berkata:
اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّـنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ
“Bid’ah ada dua macam: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan Sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang menyalahi Sunnah adalah bid’ah tercela”. (Dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari Syarah Shahih Bukhari)
Pembagian bid’ah menjadi dua oleh Imam Syafi'i ini disepakati oleh para ulama setelahnya dari seluruh kalangan ahli fikih empat madzhab, para ahli hadits, dan para ulama dari berbagai disiplin ilmu. Di antara mereka adalah para ulama terkemuka, seperti al-‘Izz ibn Abd as-Salam, Imam an-Nawawi, Ibn ‘Arafah, al-Haththab al-Maliki, Ibn ‘Abidin dan lain-lain. Dari kalangan ahli hadits di antaranya Ibn al-'Arabi al-Maliki, Ibn al-Atsir, al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafzih as-Sakhawi, al-Hafzih as-Suyuthi dan lain-lain. Termasuk dari kalangan ahli bahasa sendiri, seperti al-Fayyumi, al-Fairuzabadi, az-Zabidi dan lainnya.
Ketika mengomentara pendapat al-Imam asy-Syafi’i, al-Qurthubi berkata: “Menanggapi ucapan ini (ucapan asy-Syafi’i tentang pembagian bid’ah), saya katakan bahwa makna Hadits Nabi SAW yang berbunyi ‘Seburuk-buruk perkara adalah hal yg baru, semua hal yang baru adalah Bid’ah, dan semua Bid’ah adalah sesat’ bermaksud hal-hal yang tidak sejalan dengan al-Qur’an, Sunnah Rasul SAW dan perbuatan Sahabat Rasul.
Sesungguhnya hal ini telah diperjelas oleh Hadits lainnya, yaitu “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yg mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya.”. Hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai terbaginya Bid’ah pada Bid’ah yang baik dan Bid’ah yang sesat”.[ Tafsir al-Imam al-Qurthubi, II : 87.]
Al-Imam Abu Umar Yusuf bin Abdilbarr Al-Namiri Al-Andalusi, hafizh dan faqih bermadzhab Maliki. Beliau membagi bid’ah menjadi dua. Hal ini dapat kita lihat dengan memperhatikan pernyataan beliau:وَأَماَّ قَوْلُ عُمَرَ نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ فِيْ لِسَانِ الْعَرَبِ اِخْتِرَاعُ مَا لَمْ يَكُنْ وَابْتِدَاؤُهُ فَمَا كَانَ مِنْ ذَلِكَ فِي الدِّيْنِ خِلاَفاً لِلسُّنَّةِ الَّتِيْ مَضَى عَلَيْهَا الْعَمَلُ فَتِلْكَ بِدْعَةٌ لاَ خَيْرَ فِيْهَا وَوَاجِبٌ ذَمُّهَا وَالنَّهْيُ عَنْهَا وَاْلأَمْرُ بِاجْتِنَابِهَا وَهِجْرَانُ مُبْتَدِعِهَا إِذَا تَبَيَّنَ لَهُ سُوْءُ مَذْهَبِهِ وَمَا كَانَ مِنْ بِدْعَةٍ لاَ تُخَالِفُ أَصْلَ الشَّرِيْعَةِ وَالسُّنَّةِ فَتِلْكَ نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ
“Adapun perkataan Umar, sebaik-baik bid’ah, maka bid’ah dalam bahasa Arab adalah menciptakan dan memulai sesuatu yang belum pernah ada. Maka apabila bid’ah tersebut dalam agama menyalahi sunnah yang telah berlaku, maka itu bid’ah yang tidak baik, wajib mencela dan melarangnya, menyuruh menjauhinya dan meninggalkan pelakunya apabila telah jelas keburukan alirannya. Sedangkan bid’ah yang tidak menyalahi dasar syariat dan sunnah, maka itu sebaik-baik bid’ah.” (Al-Istidzkar, 5/152).
Al-Imam Al-Nawawi juga membagi bid’ah pada dua bagian. Ketika membicarakan masalah bid’ah, dalam kitabnya Tahdzib Al-Asma’ wa al-Lughat (3/22), beliau mengatakan:هِيَ أَيِ الْبِدْعَةُ مُنْقَسِمَةٌ إِلَى حَسَنَةٍ وَقَبِيْحَةٍ
“Bid’ah terbagi menjadi dua, bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah qabihah (buruk)”.
Al-Imam Al-Hafizh Ibn Al-Atsir Al-Jazari, pakar hadits dan bahasa, juga membagi bid’ah menjadi dua bagian; bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah sayyi’ah (buruk). Dalam kitabnya, Al-Nihayah fi Gharib Al-Hadits wa Al-Atsar, beliau mengatakan:
الْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ بِدْعَةُ هُدًى وَبِدْعَةُ ضَلاَلٍ فَمَا كَانَ فِيْ خِلاَفِ مَا أَمَرَ اللهُ بِهِ وَرَسُوْلِهِ فَهُوَ مِنْ حَيْزِ الذَّمِّ وَاْلإِنْكَارِ وَمَا كَانَ وَاقِعًا تَحْتَ عُمُوْمٍ مِمَّا نَدَبَ اللهُ إِلَيْهِ وَحَضَّ عَلَيْهِ اللهُ وَرَسُوْلُهُ فَهُوَ فِيْ حَيْزِ الْمَدْحِ وَمَا لَمْ يَكُنْ لَهُ مِثَالٌ مَوْجُوْدٌ كَنَوْعٍ مِنَ الْجُوْدِ وَالسَّخَاءِ وَفِعْلِ الْمَعْرُوْفِ فَهُوَ فِي اْلأَفْعَالِ الْمَحْمُوْدَةِ وَلاَ يَجُوْزُ أَنْ يَكُوْنَ ذَلِكَ فِيْ خِلاَفِ مَا وَرَدَ الشَّرْعُ بِهِ
“Bid’ah ada dua macam; bid’ah huda (sesuai petunjuk agama) dan bid’ah dhalal (sesat). Maka bid’ah yang menyalahi perintah Allah dan Rasulullah, tergolong bid’ah tercela dan ditolak. Dan bid’ah yang berada di bawah naungan keumuman perintah Allah dan dorongan Allah dan Rasul-Nya, maka tergolong bid’ah terpuji. Sedangkan bid’ah yang belum pernah memiliki kesamaan seperti semacam kedermawanan dan berbuat kebajikan, maka tergolong perbuatan yang terpuji dan tidak mungkin hal tersebut menyalahi syara’.”
Al-Imam Al-Qadhi Abu Bakar Ibn Al-‘Arabi Al-Maliki, seorang hafizh, mufassir dan faqihmadzhab Maliki, juga membagi bid’ah menjadi dua bagian. Dalam kitabnya ‘Aridhat Al-Ahwadzi Syarh Jami’ Al-Tirmidzi, X : 146-147., beliau berkata:
“Ketahuilah bahawa Bid‘ah (al-muhdatsah) itu ada dua macam: Pertama, setiap perkara baru yang diadakan yang tidak memiliki landasan agama, melainkan mengikut hawa nafsu sesuka hati, ini adalah Bid’ah yang sesat. Kedua, perkara baru yang diadakan namun sejalan dengan apa yang sudah disepakati, seperti yang dilakukan oleh para Khulafa’urrasyidin dan para Imam besar, maka hal tersebut bukanlah bid‘ah yang keji dan tercela. Ketahuilah, sesuatu itu tidak dihukumi bid’ah hanya karena ia baru. Allah SWT berfirman:مَا يَأْتِيْهِمْ مِنْ ذِكْرٍ مِنْ رَبِّهِمْ مُحْدَثٍ إِلاَّ اسْتَمَعُوْهُ وَهُمْ يَلْعَبُوْنَ
“Tidak datang kepada mereka suatu ayat al-Qur`an pun yang baru (muhdats) dari Tuhan mereka, melainkan mereka men-dengarnya, sedang mereka bermain-main” (QS. al-Anbiya`: 2).
Dan perkataan Sayyidina `Umar RA: “Alangkah bagusnya bid‘ah ini!” Kesimpulannya, Bid‘ah tercela hanyalah perkara baru yang bertentangan dengan Sunnah, atau perkara baru yang diadakan dan membawa kita pada kesesatan.”
Ketika mengulas masalah penambahan ‘titik’ pada huruf ayat-ayat al-Qur’an, al-Imam al-Ghazali berkata: “Hakikat bahwa ia adalah perkara baru yang diadakan tidaklah menghalanginya untuk dilakukan. Banyak sekali perkara baru yang terpuji, seperti sembahyang Terawih secara berjama’ah, ia adalah “Bid‘ah” yang dilakukan oleh Sayyidina`Umar RA, tetapi dipandang sebagai Bid’ah yang baik (Bid‘ah Hasanah). Adapun Bid’ah yang dilarang dan tercela, ialah segala hal baru yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah SAW atau yang bisa merubah Sunnah itu. [Al-Ghazzali, Ihya’ `Ulumiddin, I : 276.]
Al-Imam Badruddin Mahmud bin Ahmad Al-‘Aini, hafizh dan faqih bermadzhab Hanafi membagi bid’ah menjadi dua bagian. Beliau mengatakan:
وَالْبِدْعَةُ فِي اْلأَصْلِ إِحْدَاثُ أَمْرٍ لَمْ يَكُنْ فِيْ زَمَنِ رَسُوْلِ اللهِ ثُمَّ الْبِدْعَةُ عَلَى نَوْعَيْنِ إِنْ كَانَتْ مِمَّا يَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِي الشَّرْعِ فَهِيَ بِدْعَةٌ حَسَنَةٌ وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا يَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِي الشَّرْعِ فَهِيَ بِدْعَةٌ مُسْتَقْبَحَةٌ
“Bid’ah pada mulanya adalah mengerjakan sesuatu yang belum pernah ada pada masa Rasulullah. Kemudian bid’ah itu ada dua macam. Apabila masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap baik oleh syara’, maka disebut bid’ah hasanah. Dan apabila masuk di bawah naungan sesuatu yang dianggap buruk oleh syara’, maka disebut bid’ah tercela.” (‘Umdat Al-Qari, 11/126).
ar-Rabi`juga meriwayatkan dari al-Imam asy-Shafi`i bahwa beliau berkata: “Perkara baharu yang diada-adakan itu ada dua macam: Pertama, perkara baru yang bertentangan dengan al-Qur’an, Sunnah, atsar Sahabat atau ijma’ ulama’, maka bid‘ah itu adalah sesat (fa hadhihil-bid‘atu dalalatun). Kedua, perkara baru yang diadakan dari segala kebaikan (ma uhditsa min al-khair) yang tidak bertentangan dengan hal yang disebutkan, yang ini bukan bid‘ah dicela (wa hadhihi muhdatsatun ghairu madzmumah).[ Diriwayatkan dari al-Rabi` oleh al-Bayhaqi didalam al-Madkhal dan Manaqib asy-Syafi`I, I : 469 dengan sanad shahih dan dishahihkan juga oleh Ibnu Taimiyyah dalam Dar’u Ta`arud al-`Aqli wan-Naqli, hal. 171 dan melalui al-Baihaqi oleh Ibn `Asakir dalam Tabyin Kadzib al-Muftari, hal. 97. Dinukilkan oleh adz-Dzahabi dalam Siyar, VIII : 408, Ibnu Rajab dalam Jami` al-`Ulum wal-Hikam, II : 52-53, Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari, XIII : 253.]
Ibn Hazm al-Zahiri berkata: “Bid‘ah dalam agama adalah segala hal yang datang pada kita dan tidak disebutkan didalam al-Qur’an atau Hadits Rasulullah SAW. Ia adalah perkara yang sebagiannya memiliki nilai pahala, sebagaimana yang diriwayatkan dari Sayyidina`Umar RA: “Alangkah baiknya bid‘ah ini!.” Ia merujuk pada semua amalan baik yang dinyatakan oleh nash (al-Qur’an dan Hadits) secara umum, walaupun amalan tersebut tidak ddijelaskan dalam nas secara khusus. Namun, Di antara hal yang baru, ada yang dicela dan tidak dibolehkan apabila ada dalil-dalil yang melarangnya. [Ibnu Hazm, al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, I : 47.]
- Al-Imam Izzuddin bin Abdissalam
Bahkan Al-Imam Izzuddin bin Abdissalam membagi bid’ah menjadi lima bagian. Dalam pandangan beliau bid’ah itu terbagi menjadi lima bagian; bid’ah wajibah, bid’ah mandubah (sunnat), bid’ah mubahah, bid’ah makruhah dan bid’ah muharramah (haram). Dalam hal ini beliau mengatakan:
اْلبِدْعَةُ فِعْلُ مَا لَمْ يُعْهَدْ فِيْ عَصْرِ رَسُوْلِ الله وَهِيَ مُنْقَسِمَةٌ إِلَى: بِدْعَةٍ وَاجِبَةٍ، وَبِدْعَةٍ مُحَرَّمَةٍ، وَبِدْعَةٍ مَنْدُوْبَةٍ، وَبِدْعَةٍ مَكْرُوْهَةٍ، وَبِدْعَةٍ مُبَاحَةٍ، وَالطَّرِيْقُ فِيْ مَعْرِفَةِ ذَلِكَ أَنْ تُعْرَضَ الْبِدْعَةُ عَلَى قَوَاعِدِ الشَّرِيْعَةِ: فَإِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاعِدِ اْلإِيْجَابِ فَهِيَ وَاجِبَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاعِدِ التَّحْرِيْمِ فَهِيَ مُحَرَّمَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاعِدِ الْمَنْدُوْبِ فَهِيَ مَنْدُوْبَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاِعِد الْمُبَاحِ فَهِيَ مُبَاحَةٌ. وَلِلْبِدَعِ الْوَاجِبَةِ أَمْثِلَةٌ:أَحَدُهَا: اْلاِشْتِغَالُ بِعِلْمِ النَّحْوِ الَّذِيْ يُفْهَمُ بِهِ كَلاَمُ اللهِ وَكَلاَمُ رَسُوْلِهِ وَذَلِكَ وَاجِبٌ لأَنَّ حِفْظَ الشَّرِيْعَةِ وَاجِبٌ وَلاَ يَتَأَتَّى حِفْظُهَا إِلاَّ بِمَعْرِفَةِ ذَلِكَ، وَمَالاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ.الْمِثالُ الثاَّنِيْ: الْكَلاَمُ فِيْ الْجَرْحِ وَالتَّعْدِيْل لِتَمْيِيْزِ الصَّحِيْحِ مِنَ السَّقِيْمِ.وَلِلْبِدَعِ الْمُحَرَّمَةِ أَمْثِلَةٌ: مِنْهَا مَذْهَبُ الْقَدَرِيَّةِ، وَمِنْهَا مَذْهَبُ الْجَبَرِيَّةِ، وَمِنْهَا مَذْهَبُ الْمُرْجِئَةِ، وَمِنْهَا مَذْهَبُ الْمُجَسِّمَةِ. وَالرَّدُّ عَلىَ هَؤُلاَءِ مِنْ البِدَعِ الوَاجِبَةِ.وَلِلْبِدَعِ الْمَنْدُوْبَةِ أَمْثِلَةٌ: مِنْهَا: إِحْدَاثُ الْمَدَارِسِ وَبِنَاءُ الْقَنَاطِرِ، وَمِنْهَا كُلُّ إِحْسَانٍ لَمْ يُعْهَدْ فِي الْعَصْرِ اْلأَوَّلِ، وَمِنْهَا صَلاَةُ التَّرَاوِيْحِ..وَلِلْبِدَعِ الْمَكْرُوْهَةِ أَمْثِلَةٌ: مِنْهَا زَخْرَفَةُ الْمَسَاجِدِ، وَمِنْهَا تَزْوِيْقُ الْمَصَاحِفِ.وَلِلْبِدَعِ الْمُبَاحَةِ أَمْثِلَةٌ: مِنْهَا التَّوَسُّعُ فِي اللَّذِيْذِ مِنَ الْمَآكِلِ وَالْمَشَارِبِ وَالْمَلاَبِسِ وَالْمَسَاكِنِ، وَلُبْسِ الطَّيَالِسَةِ، وَتَوْسِيْعِ اْلأَكْمَامَ.."أ. هـ
“Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah . Bid’ah terbagi menjadi lima; bid’ah wajibah, bid’ah muharramah, bid’ah mandubah, bid’ah makruhah dan bid’ah mubahah. Dan jalan untuk mengetahui hal itu adalah dengan membandingkan bid’ah pada kaedah-kaedah syariat. Apabila bid’ah itu masuk pada kaedah wajib, maka menjadi bid’ah wajibah. Apabila masuk pada kaedah haram, maka bid’ah muharramah. Apabila masuk pada kaedah sunat, maka bid’ah mandubah. Dan apabila masuk pada kaedah mubah, maka bid’ah mubahah.
- Bid’ah wajibah memiliki banyak contoh. Salah satunya adalah menekuni ilmu nahwu sebagai sarana memahami Al-Quran dan Sunnah Rasulullah . Hal ini hukumnya wajib, karena menjaga syariat itu wajib dan tidak mungkin dapat menjaganya tanpa mengetahui ilmu nahwu. Sedangkan sesuatu yang menjadi sebab terlaksananya perkara wajib, maka hukumnya wajib. Kedua, berbicara dalam jarh dan ta’dil untuk membedakan hadits yang shahih dan yang lemah.
- Bid’ah muharramah memiliki banyak contoh, di antaranya bid’ah ajaran orang-orang Qadariyah, Jabariyah, Murji’ah dan Mujassimah. Sedangkan menolak terhadap bid’ah-bid’ah tersebut termasuk hukumnya wajib.
- Bid’ah mandubah memiliki banyak contoh, di antaranya mendirikan sekolah-sekolah dan setiap kebaikan yang pernah dikenal pada abad pertama, dan di antaranya shalat tarawih.
- Bid’ah makruhah memiliki banyak contoh, di antaranya memperindah bangunan masjid dan menghiasi mushhaf Al-Quran.
- Bid’ah mubahah memiliki banyak contoh, di antaranya menjamah makanan dan minuman yang lezat-lezat, pakaian yang indah, tempat tinggal yang mewah, memakai baju kebesaran dan lain-lain.” (Qawa’id Al-Ahkam fi Mashalih Al-Anam, 2/133)
Pandangan Al-Imam Izzuddin bin Abdissalam ini yang membagi bid’ah menjadi lima bagian dianggap sebagai pandangan yang final dan diikuti oleh mayoritas ulama terkemuka dari kalangan fuqaha dan ahli hadits.
Al-Imam Ibn Hajar Al-‘Asqalani, hafizh dan faqihbermadzhab Syafi’i. Beliau membagi bid’ah menjadi dua, bahkan menjadi lima bagian. Dalam kitabnya Fath Al-Bari, beliau mengatakan:
وَالْبِدْعَةُ أَصْلُهَا مَا أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ وَتُطْلَقُ فِي الشَّرْعِ فِيْ مُقَابِلِ السُّنَّةِ فَتَكُوْنُ مَذْمُوْمَةً وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِي الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِي الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ وَإِلاَّ فَهِيَ مِنْ قِسْمِ الْمُبَاحِ وَقَدْ تَنْقَسِمُ إِلَى اْلأَحْكَامِ الْخَمْسَةِ.
“Secara bahasa, bid’ah adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh sebelumnya. Dalam syara’, bid’ah diucapkan sebagai lawan sunnah, sehingga bid’ah itu pasti tercela. Sebenarnya, apabila bid’ah itu masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap baik menurut syara’, maka disebut bid’ah hasanah. Bila masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap buruk menurut syara’, maka disebut bid’ah mustaqbahah (tercela). Dan bila tidak masuk dalam naungan keduanya, maka menjadi bagian mubah (boleh). Dan bid’ah itu dapat dibagi menjadi lima hukum.” (Fath Al-Bari, 4/253).
Al-Imam al-Muhaddits al-Hafizh Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi berkata: Bid‘ah -menurut syari‘at- adalah segala sesuatu yang tidak pernah ada pada zaman Rasulullah SAW. Bid’ah terbagi menjadi dua, baik dan buruk.”
Beliau melanjutkan: “Para pemuka umat dan Imam kaum muslimin yang ilmunya sudah diakui, seperti Abu Muhammad Abdul Aziz bin Abdissalam menyebut di akhir buku beliau, al-Qawa`id (al-Kubra): “Bid‘ah itu terbagi pada perkara-perkara wajib (wajibat), haram (muharramat), sunnah (mandubat), makruh (makruhat) dan boleh (mubahat). Seharusnya, cara menilai suatu Bid‘ah itu dengan melihat kaidah syari’at (qawa‘id syari‘ah). Jika ia masuk dalam kategori kewajiban (ijab) maka jadilah ia Wajib, jika ia termasuk dalam keharaman maka jadilah ia Haram, jika ia termasuk hal yang mendatangkan keutamaan, maka jadilah ia disukai, apabila ia termasuk hal yang buruk maka jadilah ia makruh dan seterusnya. Selebihnya adalah bid’ah yang boleh.” [An-Nawawi, Tahdzib al-Asma’ wal-Lughat, III : 20-22.]
Al-Imam Muhammad bin Isma’il Al-Shan’ani, muhaddits dan faqih bermadzhab Zaidi, juga membagi bid’ah menjadi lima. Dalam kitabnya Subul Al-Salam Syarh Bulugh Al-Maram, beliau mengatakan:
الْبِدْعَةُ لُغَةً: مَا عُمِلَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ، وَالْمُرَادُ بِهَا هُنَا: مَا عُمِلَ مِنْ دُوْنِ أَنْ يَسْبِقَ لَهُ شَرْعِيَّةٌ مِنْ كِتَابٍ وَلاَ سُنَّةٍ وَقَدْ قَسَّمَ الْعُلَمَاءُ الْبِدْعَةَ عَلَى خَمْسَةِ أَقْسَامٍ: وَاجِبَةٍ كَحِفْظِ الْعُلُوْمِ بِالتَّدْوِيْنِ وَالرَّدِّ عَلىَ الْمَلاَحِدَةِ بِإِقَامَةِ اْلأَدِلَّةِ، وَمَنْدُوْبَةٍ كَبِنَاءِ الْمَدَارِسِ، وَمُبَاحَةٍ كَالتَّوْسِعَةِ فِيْ أَلْوَانِ الطَّعَامِ وَفَاخِرِ الثِّيَابِ، وَمُحَرَّمَةٍ وَمَكْرُوْهَةٍ وَهُمَا ظَاهِرَانِ؛ فَقَوْلُهُ: «كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ» عَامٌّ مَخْصُوْصٌ
“Bid’ah menurut bahasa adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh sebelumnya. Yang dimaksud bid’ah di sini adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa didahului pengakuan syara’ melalui Al-Quran dan Sunnah. Dan ulama telah membagi bid’ah menjadi lima bagian: 1) bid’ah wajib seperti memelihara ilmu-ilmu agama dengan membukukannya dan menolak terhadap kelompok-kelompok sesat dengan menegakkan dalil-dalil, 2) bid’ah mandubah seperti membangun madrasah-madrasah, 3) bid’ah mubahah seperti menjamah makanan yang bermacam-macam dan baju yang indah, 4) bid’ah muharramah dan 5) bid’ah makruhah, dan keduanya sudah jelas contoh-contohnya. Jadi hadits “semua bid’ah itu sesat”, adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya.” (Subul Al-Salam, 2/48).
Kesimpulan:
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa para ulama terkemuka dalam setiap kurun waktu mulai dari Al-Imam Al-Syafi’i, Ibn Abdilbarr, Ibn Al-‘Arabi, Ibn Al-Atsir, Izzuddin bin Abdissalam, Imam An-Nawawi, Al-Hafizh Ibn Hajar, Al-‘Aini, Al-Shan’ani, dan masih banyak ulama-ulama lain yang tidak dikutip di sini, membagi bid’ah menjadi dua bagian, yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah madzmumah. Dan bahkan lebih rinci lagi, bid’ah itu dapat dibagi menjadi lima bagian sesuai dengan jumlah hukum-hukum yang berlaku dalam agama.
Demikianlah pendapat para imam besar yang telah terekam dalam berbagai kitab turats (klasik). Masih banyak lagi yang tidak sempat terekam pendapatnya, karena memang ketika itu penulisan kitab tidak semudah sekarang. Setidaknya, ketika mereka diam berarti mereka setuju, karena kalau memang mereka menganggap pendapat asy-Syafi’i sebagai kesesatan, maka tidaklah mungkin mereka diam saja tanpa menulis buku kritikan. Pendapat asy-Syafi’i diterima oleh ulama di zaman beliau hingga ulama berikutnya. Barulah pada abad akhir ini muncul segolongan orang yang menyalahkan pendapat para Imam besar hujjatul-Islam tersebut, bahkan berani menganggap pendapat imam imam besar tersebut sesat.
Saudaraku, Ketika kita sama-sama berguru dan berpendapat menurut guru, maka bersyukurlah karena kita berguru pada Imam-imam besar seperti asy-Syafi’i sang perintis madzhab, an-Nawawi sang ahli Hadits penulis Syarah Shahih Muslim, al-Ghazali sang Hujjah penulis Ihya Ulumiddin, al-Baihaqi sang ahli dan perawi Hadits, as-Suyuthi sang pakar berbagai disipliln Ilmu Islam, Ibnu Hajar al-Asqalani sang ahli Hadits penulis Syarah Shahih al-Bukhari, al-Qurthubi sang pakar dan penulis kitab Tafsir, al-Qusthallani sang ahli Hadits penuli Syarah Shahih al-Bukhari dan sebagainya.
"Kalaulah guru-guru kita itu dianggap sesat. Lalu siapa ulama yang bisa dibanggakan oleh umat Islam."
Mereka yang dianggap sesat itu telah mengharumkan nama Islam dengan pemikiran dan karya-karya mereka. Coba kita tanyakan pada hati kita, seandainya kita harus memilih, siapa yang sebaiknya tidak pernah hidup di dunia ini, apakah asy-Syafi’i dan sebagainya atau ulama abad ini yang menganggap asy-Syafi’i sesat? Apa yang kita miliki kalau kita mencoret nama-nama mereka dan membuang karya-karya mereka dari rak buku kita.
Apa yang tersisa dari khazanah keilmuan Islam kalau kita membuang kitab-kitab asy-Syafi’i, Syarah Shahih Muslim (an-Nawawi) kitab Ihya’ Ulumiddin, Fathul Bari, Irsyadussari, Syarah Muwattha’ (az-Zarqani), Syarhul-Misykah dan sebagainya.
"Kalau mereka dianggap sesat dan karya-karya mereka dicekal, maka yang tersisa dari kekayaan umat Islam adalah ulama pencaci maki dan buku-buku yang dipenuhi dengan cacian kepada ulama salaf.”
Bahkan menurut sebagian saudara kita dari kelompok yang mengharamkan takwil ayat-ayat sifat dan mensesatkan aqidah asy’ariyyah:
- seagung imam Bukhari pun dianggap kafir saat MENTAKWIL ayat "wajah" bagi Allah dengan "kekuasaan", sedangkan saudara kita yang satu ini selalu membawa hadist-hadist riwayat imam Bukhari dalam taklim dan ceramahnya.
La hawla wala quwwata illa billah.
- pembesar ulama hadist sekelas imam Nawawi serta imam Ibnu Hajar al Asqolani pun dianggap kafir dan sesat karena beraqidah ASY’ARIYYAH.
Wednesday, October 7, 2015
Tanggapan Syeikh Mutawalli asy-Sya'rawi tentang Ziarah Kubur
"Bagaimana tentang ziarah ahlul bayt dan para wali, yang merupakan kebiasaan orang-orang Mesir, khususnya orang-orang dari dusun yang mengambil berkah dari mereka?"
"Kami juga besar sebagai orang dusun. Selama hidup, kami tinggal di lingkungan ahlul bayt dan para wali. Orangtua-orangtua kami, datuk-datuk kami, ibu-ibu kami, dan saudara-saudara kami, semuanya tinggal di serambi para wali. Kami tidak melihat kebaikan kecuali dari mereka. Kami tidak mengetahui ilmu kecuali di tempat-tempat mereka. Kami juga tidak mengenal keberkahan kecuali dengan mencintai mereka. Kami mencintai mereka karena mereka berhubungan dengan Allah. Kebaikan datang kepada kami dari orang-orang yang sangat kami yakini bahawa mereka berhubungan dengan Allah. Mereka tidak dikenal kecuali oleh orang-orang yang jiwanya menerima manhaj (syariat) Allah.
Bagaimana mungkin mereka membolehkan berziarah ke kuburan orang-orang muslim awam tetapi mengharamkan menziarahi mereka-mereka yang dikenal sebagai orang shalih. Ziarah kubur itu diperintahkan. Jika hal itu telah dilakukan untuk orang-orang muslim awam, apakah orang-orang yang telah dikenal atau orang yang baik dikecualikan dari hal itu, lalu diharamkan menziarahi kuburnya karena ia orang baik? Pendapat ini sungguh tidak masuk akal! Anggap sajalah itu seperti kubur-kubur yang lain dan berdzikirlah kepada Allah di tempatnya. Kita tidak menentang ziarah. Yang kita tentang adalah hal-hal yang tidak benar yang terjadi di dalamnya. Orang-orang yang meminta sesuatu dari mereka dapat kita katakan berbuat syirik. Tetapi jika ia meminta kepada Allah di makam-makam mereka, apa yang harus dilarang? Demi Allah, seandainya dalam berziarah itu tidak ada hal lain yang didapatkan selain sekadar pertemuan dengan orang-orang yang tunduk di hadapan Allah, itu sudah cukup bagi saya. Seandainya tidak ada yang saya dapatkan di sana selain bertemu orang-orang yang menggunakan dirinya kembali kepada Allah, itu sudah cukup. Saya akan pergi untuk bertemu orang-orang yang meninggalkan dunia dan makan sekali saja dalam sehari. Orang-orang yang menziarahi Imam Husain, Sayyidah Nafisah, Sayyid Ahmad al-Badawi atau Ibrahim ad-Dasuqi, akan malu melakukan maksiat setelah itu. Mungkin juga perasaan malu itu akan terus menyertainya sepanjang hayatnya." MasyaAllah Tabarakallah!
*Dikutip dari majalah alKisah
Wednesday, September 30, 2015
Benarkah Perbedaan Pendapat Ulama Madzhab Hanya Menyusahkan dan Membingungkan?
Telah hadir seorang hamba Allah kepada Tuan Guru Maulana Hussein Abdul Kadir Yusufi dan berkata ia, "banyak pendapat ulama ni, menyusahkan dih..banyak mazhab ni, menyusahkan dih.."
Tuan Guru Maulana Hussein Abdul Kadir Yusufi menjawab, "kenapa kamu tak salahkan Allah (Subhanahu wata'ala) terus? atau pun tak salahkan Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wa alihi wasahbihi wasallam) terus?"
terkejut dia mendengar jawapan itu, dan berkata, "kenapa kata gitu?"
Tuan Guru Maulana Hussein Abdul Kadir Yusufi menjawab,
ada ayat al-Quran itu, Allah Subhanahu wata'ala datangi ia dengan kalimah bahasa arab yang apabila diterjemahkan keluar lebih daripada satu makna, seperti:
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
"Dan isteri-isteri yang diceraikan itu hendaklah menunggu dengan menahan diri mereka (iaitu dalam iddah) selama tiga qurru."
daripada kalimah ثَلاَثَةَ قُرُوَءٍ ini, Imam Syafie dan Imam Hanafi telah berbeza dalam menafsirkannya, Imam Syafie menafsirkannya dengan makna "3 kali suci", manakala Imam Hanafi menafsirkanya dengan makna "3 kali haid"..
apabila di tafsirkanya berbeza, maka hukumnya berbeza..
3 kali suci maknanya ;
haid datang : tak kira,
suci dari haid : 1 qurru,
haid datang : tak kira,
suci dari haid : 2 qurru,
haid datang : tak kira,
suci dari haid : 3 qurru,
ini pendapat Imam Syafie dalam menafsirkan ia dengan makna 3 kali suci, barulah seseorang wanita itu habis iddahnya..
ada pun Imam Hanafi pula ;
haid datang : 1 qurru,
suci dari haid : tak kira,
haid datang : 2 qurru,
suci dari haid : tak kira,
haid datang : 3 qurru.
apabila makna ini berbeza bagi Imam Syafie dan Imam Hanafi, maka daripada makna berbeza ini keluar daripadanya 8 hukum hanya berkisah tentang ini sahaja..maka kamu nak salah kat siapa sekarang ini? kamu nak salahkan Imam Syafie dan Imam Hanafi yang menafsir berbeza ke? kenapa tak salahkan Allah yang datangkan ayat al-Quran dengan kalimah bahasa Arab yang memberi makna lebih daripada satu? kalau Allah datangkan ayat al-Quran dengan maknanya satu sahaja, jelas maknanya, maka tak berbezalah pendapat banyak ni, jadi kenapa tak salahkan Allah?"
terdiam pucat lelaki itu..
Tuan Guru Maulana Hussein Abdul Kadir Yusufi menyambung,
"kamu salahkan para Imam Mazhab kerana banyak pendapat tentang sesuatu hukum, kamu katakan mereka menyusahkan, kenapa kamu tak salahkan juga Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wa alihi wasahbihi wasallam)?
ada perbuatan yang Rasulullah buat, tetapi kemudian Rasulullah larang..ada perbuatan yang Rasulullah larang, tetapi kemudian Rasulullah buat..ada perbuatan yang para sahabat buat dan Rasulullah tak pernah lakukannya, tetapi Rasulullah tak larang dan tak suruh..dan lain-lain lagi..
jadi daripada perbuatan Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wa alihi wasahbihi wasallam) dan para sahabat ini, maka para Imam Mazhab, para ulama yang ada ilmunya, mereka berbeza pendapat di dalam memahaminya dan menyatakan sesuatu hukum tentangnya..
lalu kamu nak salah kat siapa sekarang ni? kat Imam Mazhab? kat ulama?
kenapa tak salahkan Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wa alihi wasahbihi wasallam) yang buat perbuatan berbeza beza? kenapa Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wa alihi wasahbihi wasallam) tak buat satu perbuatan sahaja untuk sesuatu ibadat? kan senang, tetapi kenapa Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wa alihi wasahbihi wasallam) buat begitu? kenapa tak salahkan baginda Nabi?"
bertambah terdiam pucat lelaki itu..
Tuan Guru Maulana Hussein Abdul Kadir Yusufi menyambung lagi,
"para Imam Mazhab, para ulama yang ahlinya ini, mereka ini dah memudahkan kita, mereka telah berusaha siang dan malam mengkaji ayat al-Quran dan hadits bagi menyatakan sesuatu hukum, menyusun sesuatu ibadat itu..untuk siapa? untuk kita, sepatutnya kita mengucapkan terima kasih kepada mereka..tetapi kita pula marah kepada mereka, kita pula salahkan mereka.."terdiam seketika lelaki itu, dan berkata, "ya, saya salah dalam hal ini.."
Tuan Guru Maulana Hussein Abdul Kadir Yusufi berkata lagi,
"sepatutnya kamu tak boleh cakap macam tu, kamu tak faham pendapat ulama berbeza itu kerana kamu tak berusaha belajar tentangnya, kalau kamu belajar tentangnya, baru lah kamu faham betapa adanya pendapat mereka ini memudahkan kehidupan kita, perbezaan pendapat itu nampak zahirnya seperti rumit dan menyusahkan, tetapi jika kita mempelajarinya dengan betul betul, kita akan dapati perbezaan pendapat itu lagi memudahkan kita, ada gunanya dan ada hikmahnya.."
wallahua'lam..
Mengenal Maulana Hussain Abdul Qadir Yusufi
Beliau mahir 7 Bahasa : Burma, English, Arab, Parsi, Urdu, Melayu, Thailand.
Kepakaran :
- Syarahan Kitab Hadis (Muwatha' Imam Malik, Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasaie, Ibnu Majah).
- Fiqh mazhab Hanafi & mazhab Syafie.
- Berkemahiran dalam ilmu usuluddin, segenap ilmu hadis, kepelbagaian fiqh, tafsir, tasawuf dan banyak lagi yang tidak dapat disebutkan disini.
- Selepas tamat persekolahan peringkat menengah, beliau mula menceburi bidang agama di مدرسة مظاهر العلوم selama 4 bulan pengajian sahaja (namun ianya bersamaan dgn tiga tahun pengajian biasa)
- Kemudian beliau menyambung pengajian di مدرسة اسعدية yang diasaskan oleh Maulana Yusuf Al-As'adi selama dua tahun.
- Seterusnya beliau menangguhkan pengajian beliau di madrasah tersebut untuk mencedok ilmu di مدرسة اشاعة العلوم selama dua tahun.
- Akhir sekali, beliau menamatkan pengajian beliau di مدرسة اسعدية iaitu madrasah utama beliau.
- Di Malaysia, beliau berguru dengan Tuan Guru Haji Abdul Rahman di Pondok Sungai Durian dengan mengikuti kelas khusus bagi bekas murid-murid Tuan Guru yang memegang jawatan Imam dan tenaga pengajar.
- Maulana Hussein juga pernah berguru dengan Tuan Guru Haji Harun Pauh Lima, Pondok Moden Kandis.
- Maulana Hussein juga mengikuti kelas khusus untuk mengajar SMU@STU di bawah Yayasan Islam Kelantan di Nilam Puri Kota Bharu dibawah pimpinan Guru-Guru Pondok berpengalaman tinggi.
- Maulana Yusuf Al-As'adi hafizhohullah
- Maulana Mustafa Al-Nadwi hafizhohullah
- Maulana Ubaidullah hafizhohullah
- Maulana Alauddin Al-Afghani hafizhohullah
- Dan lain-lain Muhadithin yang mempunyai sanad bersambung kepada Nabi Muhammad s.a.w.
- Mempunyai sanad hadis melalui Maulana Salimullah Khan hafizhohullah (penuntut hadis pasti mengetahui darjat sanad beliau)
- Tertumpu di pondok2 dan masjid2 sekitar Kelantan
- Singapura
- Sabah
- Selangor
- Johor
- Universiti Kebangsaan Malaysia
Pada kali ini, saya mahu menumpukan kepada GELARAN beliau iaitu Maulana Hussein Abdul Kadir Yusufi
- Jika kita perhatikan nama sebenar guru kita yang mulia ini ialah Hussein Bin Abdul Kadir.
- Soalnya daripada mana datang 'Yusufi' pada belakang nama beliau?
- Kebiasaan ulama atau muhadith akan menisbahkan nama beliau kepada tempat lahir @ tempat belajar @ nama madrasah.
- Hal yang berbeza berlaku kepada Maulana Hussein kerana gelaran 'Yusufi' ialah dinisbahkan kepada nama gurunya iaitu Maulana Yusuf Al-As'adi
- Maulana Yusuf Al-As'adi sendiri yang memberikan gelaran itu kepada Maulana Hussein. Hal ini kerana beliau ialah murid kesayangan dan murid yang paling banyak berkhidmat kepada Maulana Yusuf.
- Maulana Asadullah hanya memberikan gelaran 'Al-As'adi' kepada murid kesayangannya dan murid yang paling banyak memberi khidmat kepadanya iaitu Syeikhul Hadis Maulana Yusuf Al-As'adi
- Maulana Yusuf Al-As'adi juga merupakan murid Syeikhul Hadis Maulana Zakariyya Al-Kandahlawi dan sahabat karib kepada Maulana Yunus Jounpori
~ Manakala Syeikhul Hadis Maulana Yusuf Al-As'adi merupakan murid kesayangan Syeikhul Hadis Al-Nazim Maulana Asadullah (Mudir/Nazim Madrasah Mazhahir Al-Ulom).
=> kata Maulana Hussein:
- "Ketika itu, di antara muhadithin yang paling alim di India ialah Maulana Zakariyya dan Maulana Asadullah."
- "Maulana Zakariyya membimbing Maulana Yunus Jounpori lebih kepada kepandaian ilmu-ilmu hadis sebagai penganti beliau"
- "Maulana Asadullah pula membimbing Maulana Yusuf Al-As'adi lebih kepada fiqh dan fatwa sebagai penganti beliau"
- Muhadith Hind Syeikhul Hadis Maulana Yunus Jounpori
- Mufti Myanmar Syeikhul Hadis Maulana Yusuf Al-As'adi
- Maulana Hussein Abdul Kadir Yusufi
"Sekarang, nilailah pada diri sendiri"
oleh: Hafiz al Za'farani
Monday, September 28, 2015
Ijmak Ulama membenarkan beramal dengan Hadith Dhoief
Beberapa ulama menyebutkan bahwa penyandaraan pendapat yang menolak hadits dhaif untuk fadhail terhadap Imam Bukhari adalah kurang tepat, karena beliau juga menjadikan ∙hadits∙ dhaif untuk hujjah. Ini dapat dilihat dari kitab beliau Al Adab Al Mufrad, yang bercampur antara ∙hadits∙ shahih dan dhaif. Dan beliau berhujjah dengan∙hadits∙ itu, mengenai disyariatkannya amalan-amalan. Ini boleh dilihat dari judul bab yang beliau tulis.
Syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah :
Beliau telah menulis masalah ini dalam komentar beliau terhadap kitab Dhafar Al Amani, karya Imam Al Laknawi (hal. 182-186), dengan merujuk kitab Fadhullah As Shamad fi Taudhih Al Adab Al Mufrad, karya Syeikh Fadhlullah Al Haidar Al Abadi Al Hindi, ulama hadits dari India yang wafat pada tahun1399 H.
Tidak hanya dalam Al Adab Al Mufrad, dalam Shahihnya pun perkara hampir serupa terjadi. Ibnu Hajar Al Asqalani menyebutkan dalam Hadyu As Sari (2/162), saat menyebutkan perawi bernama Muhammad bin Abdurrahman At Tufawi, yang oleh Abu Zur’ah dikatakan “mungkarul ∙hadits∙” beliau mengatakan bahwa dalam Shahih Al Bukhari ada 3 ∙hadits∙ yang diriwayatkan oleh perawi tersebut dan semuanya dalam masalah riqaq (∙hadits akhlak dan motivasi), dan ini tergolong gharaib dalam Shahih Al Bukhari, hingga Ibnu Hajar mengatakan,”Seolah-olah Bukhari tidak memperketat, karena termasuk ∙hadits∙ targhib wa tarhib”.
2. Imam Muslim
Adapun perkataan Imam Muslim dalam muqadimah As Shahih, tidak boleh diertikan sebagai larangan mutlak atas penggunaan hadits dhaif dalam fadhail. Imam Muslim mengatakan dalam muqadimah Shahih beliau,”
Dan ketahuilah-wafaqakallah-bahwa wajib bagi siapa saja untuk membezakan antara shahih riwayat dan saqimnya, serta orang-orang tsiqah yang menukilnya daripada mereka yang tertuduh (memalsukan). Tidak meriwayatkan darinya (periwayatan), kecuali yang diketahui keshahihan outputnya dan yang terjaga para periwatnya, serta berhati-hati terhadap periwayatan mereka yang tertuduh, dan para ahli bid’ah yang fanatik.”
(Muslim dengan Syarh An Nawawi (1/96))
Syeikh Dr. Mahmud Said, ulama hadits dari Mesir mengomentari perkataan Imam Muslim di atas. Dalam At Ta’rif (1/99) beliau mengatakan,”maknanya, wajib bagi siapa saja yang ingin menyendirikan hadits shahih dan mengetahui perbezaan antara shahih…” Artinya, himbauan Imam Muslim di atas untuk mereka yang ingin menyendirikan hadits shahih.
Beliau juga memandang bahwa tidak seorang hafidz pun yang telah melakukan rihlah (mencari ∙hadits∙) meninggalkan periwayatan para perawi dhaif, hatta Imam Muslim. Karena itu, Imam Muslim memasukkan perawi lemah dan matruk, yang menurut Muslimatergolong jenis khabar kelompok ketiga, ke dalam Shahih Muslim untuk mutaba’ah dan syawahid. Dengan demikian, pernyataan Muslim di atas tidak berlaku mutlak.
Ibnu Taimiyah berkata dalam Majmu Fatawanya:
"Dan (hadits) dho'if: yang diriwayatkan oleh orang yang belum diketahui kebenarannya (kejujuran), baik itu karena buruk hafalannya atau karena diduga (berdusta), akan tetapi mungkin juga dia benar (jujur) di situ, karena orang yang fasik adakalanya jujur dan orang yang keliru adakalanya hafaz."
3. Imam Suyuthi berkata dalam Tadribur Rowi tentang hadits ghair maqbul (tidak diterima):
"Maknanya: tidak shahih sanadnya berdasarkan syarat yang telah disebutkan, bukan berarti ia adalah kedustaan secara nyata, karena masih ada peluang kejujuran seorang pendusta dan kebenaran orang yang sering salah."
4. Imam Nawawi berkata dalam Al-Majmu' (3/226)
Dalam Mawahib Al-Jalil (1/17) disebutkan:
6. Ibnu Hajar Al Haitami berkata:
Ia juga berkata:
“Jika anda bertanya: hadits tersebut sanadnya dhoif, bagaimana dijadikan hujjah? Maka saya jawab: Yang menjadi ketetapan para imam kita baik dari kalangan Fuqoha, Ushuliyin dan Huffazh yaitu hadits dhoif hujjah dalam hal manaqib (biografi) sebagaimana ia juga hujjah dalam hal keutamaan amal menurut ijma para ulama. Jika telah tetap bahwa ia hujjah dalam hal itu, tidak tersisa lagi syubhat bagi orang yang menentang atau hujatan bagi orang yang hasad. Bahkan wajib bagi setiap orang yang memiliki keahlian mengakui kebenaran ini sesuai kadarnya.”